Sat 9 August 2014 04:00 | Qurban Aqiqah | 25.575 views | Kirim Pertanyaan : tanya@rumahfiqih.com
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Para ulama sepakat bahwa yang disunnahkan dalam menyembelih hewan aqiqah adalah para hari ketujuh, yaitu ketika seorang bayi telah berusia tujuh hari, terhitung sejak dia lahir pertama kali di dunia ini.
Dasarnya adalah beberapa hadits berikut ini :
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُسَمَّى فِيْهِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ
Dari Samurah bin Jundub radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Anak laki-laki tergadaikan dengan hewan aqiqahnya, maka disembelihkan untuknya pada hari ke tujuh, diberi nama lalu digunduli dan (HR. Abu Daud)عَقَّ رَسُولُ اللهِ عَنِ الحَسَنِ وَالحُسَيْنِ عَلَيْهِمَا السَّلاَمِ يَوْمَ السَّابِعِ وَسَمَّاهُمَا
Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa Rasulullah SAW menyembelihkan hewan aqiqah untuk Hasan dan Husain alaihimassalam pada hari ketujuh dan memberi nama keduanya. (HR. Al-Baihaqi)Namun para ulama berbeda pendapat tentang boleh atau tidak bolehnya menyembelih aqiqah bila waktunya bukan pada hari ketujuh.
Mazhab Al-Malikiyah menetapkan bahwa waktu untuk menyembelih hewan aqiqah hanya pada hari ketujuh saja. Di luar waktu itu, baik sebelumnya atau pun sesudahnya, menurut mazhab ini tidak lagi disyariatkan penyembelihan. Artinya hanya sah dilakukan pada hari ketujuh saja. [1]
Pendapat mazhab Asy-Syafi’iyah lebih luas, karena mereka membolehkan aqiqah disembelih meski belum masuk hari ketujuh. Dan mereka pun membolehkan disembelihkan aqiqah meski waktunya sudah lewat dari hari ketujuh.
Dalam pandangan mazhab ini, menyembelih hewan aqiqah pada hari ketujuh adalah waktu ikhtiyar. Maksudnya waktu yang sebaiknya dipilih. Namun seandainya tidak ada pilihan, maka boleh dilakukan kapan saja.[2]
Mazhab Al-Hanabilah berpendapat bahwa bila seorang ayah tidak mampu menyembelih hewan aqiqah pada hari ketujuh dari kelahiran bayinya, maka dia masih dibolehkan untuk menyembelihnya pada hari keempat-belas.
Dan bila pada hari keempat-belasnya juga tidak mampu melakukannya, maka boleh dikerjakan pada hari kedua-puluh satu. [3]
Ibnu Hazm menyebutkan bahwa tidak disyariatkan bila menyembelih hewan aqiqah sebelum hari ketujuh, namun bila lewat dari hari ketujuh tanpa bisa menyembelihnya, menurutnya perintah dan kewajibannya tetap berlaku sampai kapan saja.
Sekedar catatan, Ibnu Hazm termasuk kalangan yang mewajibkan penyembelihan hewan aqiqah. Sehingga karena dalam anggapannya wajib, maka bila tidak dikerjakan, wajib untuk diganti atau diqadha’. Dan qadha’ itu tetap berlaku sampai kapan pun.
Para ulama berbeda pendapat tentang kapan yang utama dilakukan penyembelihan hewan aqiqah.
Sebagian ada yang menqiyaskan dengan jam penyembelihan hewan udhiyah, yaitu pada waktu Dhuha. Sebagian lainnya ada yang mengatakan bahwa lebih utama dikerjakan pada saat matahari terbit.
Dan sebagian yang lain tidak terlalu mempermasalahkan tentang jam penyembelihan. Dalam pandangan mereka, hewan aqiqah silahkan dibolehkan dilakukan pagi hari di waktu Dhuha, siang, sore bahkan malam hari sekali pun juga boleh.
Pendapat yang terakhir ini barangkali yang lebih tepat, karena lebih meringankan, serta tidak dasarnya harus disamakan atau diqiyaskan dengan ketentuan yang berlaku pada penyembelihan hewan udhiyah.
Para ulama sepakat bahwa waktu yang paling utama dan tidak ada perbedaan pendapat untuk menyembelih hewan aqiqah adalah hari ketujuh sejak kelahiran bayi. Namun mereka berbeda pendapat ketika menetapkan cara menghitungnya. Apakah hari kelahiran bayi ikut dihitung sebagai hari pertama, ataukah hitungan hari pertama jatuh pada hari berikutnya.
Al-Imam Malik menghitung hari pertama kelahiran bayi adalah keesokan harinya atau sehari setelah hari kelahiran. Misalnya, seorang bayi dilahirkan pada hari Selasa, maka hitungan hari pertama adalah Rabu, hari kedua Kamis, hari ketiga Jumat, hari keempat Sabtu, hari kelima Ahad, hari keenam Senin dan hari ketujuh adalah hari Selasa.
Tetapi ada sedikit catatan, yaitu bila bayi lahir lewat tengah malam sebelum terbit fajar, maka hari kelahirannya itu sudah mulai dihitung sebagai hari pertama. Misalnya bayi lahir hari Selasa dini hari jam 02.00. Maka hari Selasa itu sudah dianggap hari pertama, sehingga hitungan hari ketujuh akan jatuh di hari Senin dan bukan hari Selasa.
Pendapat Al-Imam Malik ini sejalan dengan pandanga para ulama lain seperti Al-Imam An-Nawawi dan Al-Buwaithi dari mazhab Asy-Syafi’iyah.
Sedangkan Ibnu Hazm berpendapat bahwa cara menghitungnya adalah dengan menjadikan hari kelahiran sebagai hari pertama. Sehingga bila ada bayi lahir di hari Selasa, maka hari pertama adalah Selasa, hari kedua Rabu, hari ketiga Kamis, hari keempat Jumat, hari kelima Sabtu, hari keenam Ahad, dan hari ketujuh adalah Senin.
Tabel
Untuk memudahkan kita memahami perbedaan cara perhitungan dari keduanya, silahkan lihat tabel di bawah ini :
HARI
|
Malikiyah |
Ibnu Hazm |
Selasa |
Hari 0 : LAHIR |
Hari 1 : LAHIR |
Rabu |
Hari 1 |
Hari 2 |
Kamis |
Hari 2 |
Hari 3 |
Jumat |
Hari 3 |
Hari 4 |
Sabtu |
Hari 4 |
Hari 5 |
Ahad |
Hari 5 |
Hari 6 |
Senin |
Hari 6 |
Hari 7 : AQIQAH |
Selasa |
Hari 7 : AQIQAH |
- |
Kedua pendapat itu muncul karena metode penghitungannya berbeda. Dan sayangnya tidak ada dalil yang qath'i dari Al-Quran dan As-Sunnah tentang contoh penghitungannya. Sehingga terjadi peluang perbedaan pendapat dalam cara penghitungannya.
Satu lagi yang penting dicatat bahwa inti ritual aqiqah bukan pada resepsi acaranya, melainkan pada penyembelihannya. Resepsi dan pesta terserah mau dilakukan kapan saja, yang penting penyembelihannya itu sendiri. Karena inti dari ritual aqiqah sebenarnya adalah menyembelih hewan dan bukan pesta.
[1] Hasyiyatu Al-Kharsyi, jilid 3 hal. 410
[2] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, jilid 9 hal. 489
[3] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 8 hal. 661
Kirim Pertanyaan : tanya@rumahfiqih.com
TOTAL : 2.300 tanya-jawab | 25,699,999 views
1. Aqidah | 205 |
2. Quran | 82 |
3. Hadits | 92 |
4. Ushul Fiqih | 88 |
5. Fiqih | 2 |
6. Thaharah | 110 |
7. Shalat | 292 |
8. Zakat | 87 |
9. Puasa | 112 |
10. Haji | 51 |
11. Muamalat | 134 |
12. Nikah | 230 |
13. Mawaris | 121 |
14. Kuliner | 66 |
15. Qurban Aqiqah | 60 |
16. Negara | 74 |
17. Kontemporer | 154 |
18. Wanita | 69 |
19. Dakwah | 36 |
20. Jinayat | 41 |
21. Umum | 194 |
TOTAL | 2300 |