Fri 23 June 2017 15:13 | Puasa | 5.074 views | Kirim Pertanyaan : tanya@rumahfiqih.com
Assalamualaikum wr. wb.
Mohon izin saya mau bertanya tentang bagaimana Rasulullah SAW menjalani hari Lebaran atau Idul Fithri? Apakah beliau juga takbiran keliling kampung, silaturrahmi ke saudara dan tetangga, pulang mudik, bagi-bagi angpau, kirim-kirim parcel, saling bermaafan, ziarah ke kuburan, lalu mengadakan acara halal bi halal, sebagaimana yang biasa kita lakukan?
Kalau ternyata beliau tidak melakukannya, lalu apakah yang selama ini kita kerjakan termasuk bid'ah yang terlarang, ataukah boleh dilakukan karena tidak ada larangannya?
Mohon penjelasan dari ustadz, terima kasih.
Wassalam
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Sebenarnya kalau faktanya, lebaran yang dijalani secara khusus oleh Rasulullah SAW hanya tiga perkara saja, yaitu makan pagi, memberi zakat makanan dan shalat Idul Fithr plus khutbahnya.
Selebihnya seperti yang Anda sebutkan itu, tidak dilakukan beliau SAW secara khusus. Beliau tidak secara khusus di hari Raya Idul Fithri bermaaf-maafan, juga tidak silaturrahmi ke tetangga, saudara, orang tua atau mertua.
Jadi kalau lebaran kita ini harus persis apa adanya seperti lebarannya Rasulullah SAW, sungguh lebaran yang buat kita jadi 'lebaran yang nggak asik banget'. Bayangkan, sepulang shalat Idul Fithr kita tidak boleh melakukan apa-apa, alasannya karena Beliau SAW memang tidak memerintahkan atau mencontohkan secara khusus. Wah, kok jadi gini ya?
Kita tidak menemukan hadits yang menyebutkan beliau mudik ke Mekkah, sebagaimana juga tidak ada hadits yang menyebutkan beliau kirim-kirim kartu ucapan selamat lebaran, parcel, ataupun mengadakan ada kumpul-kumpul dengan shahabat yang disebut dengan halal bi halal.
Lalu kalau kita melakukannya, padahal Beliau SAW tidak melakukannya, apakah hukumnya jadi haram, bid'ah dan terlarang?
Jawabnya tentu saja tidak haram, tidak bid'ah dan juga tidak terlarang. Bahkan kalangan yang rajin menbid'ah-bid'ahkan orang lain, kalau sudah soal yang satu ini, mereka pun setuju tidak bid'ah.
Tenyata alasannya sederhana sekali, rupanya dia sendiri pun tidak bisa menahan hasrat untuk pulang mudik juga. Lho katanya kalau tidak ada contoh dari Nabi SAW hukumnya haram? Kok malah dikerjakan? Dia cuma bisa diam sambil bingung mau menjawab apa. Tumben.
1. Saat Lebaran Nabi SAW Tidak Pernah Cium Tangan dan Sungkem ke Orang Tua atau Mertua
Tidak pernah kita temukan hadits yang bercerita misalnya, bahwa Beliau SAW tiap lebaran datang ke rumah Abu Bakar dan Umar, dimana keduanya adalah mertuanya. Sebab puteri Abu Bakar yaitu Aisyah radhiyallahuanha adalah istri Nabi. Dan puteri Umar, yaitu Hafshah juga istri Nabi SAW.
Tetapi apa pernah diriwayatkan bahwa Beliau SAW kalau lebaran datang ke rumah Abu Bakar untuk sekedar silaturrahmi dan mencium tangan Abu Bakar sebagai mertuanya? Apa pernah Beliau saat lebaran datang ke rumah Umar untuk sungkem kepada mertua? Jelas tidak pernah dan tidak ada hadits yang kita dapati bercerita seperti itu. Tidak usah hadits yang shahih, yang palsu pun tidak ada juga.
Lalu bagaimana dengan yang kita lakukan?
Justru datang ke rumah orang tua atau mertua saat lebarang itulah yang secara rutin kita lakukan. Lebaran kok tidak datang ke rumah orang tua atau mertua? Pasti kita akan disebut 'anak durhaka' atau 'menantu kualat' dan sekian sebutan lainnya.
2. Saat Lebaran Nabi SAW Tidak Pernah Mudik
Tidak pernah kita temukan hadits yang bercerita bahwa Beliau SAW pulang mudik pada tiap Idul Fithr. Demikian pula para shahabat muhajirin. Padahal Beliau SAW dan para shahabat muhajirin punya kampung halaman tercinta, yaitu Mekkah Al-Mukarramah. Dan masih banyak famili serta keluarga yang beragama Islam dan tinggal di Mekkah. Namun tidak ada cerita Nabi SAW bermacet-macet naik onta rombongan pulang mudik ke Mekkah tiap lebaran.
Sementara yang kita lakukan justru sebaliknya. Mudik bagi kita seakan jadi sebuah tambahan rukun Islam yang keenam. Maksudnya seolah-olah kalau tidak mudik, rasanya seperti berdosa besar dan diancam masuk neraka. Maka semua umat Islam sibuk mudik saat lebaran, semua ikut sibuk, presiden sibuk, para menteri sibuk, pak polisi juga sibuk, termasuk kita yang tidak ikut pulang mudik juga ikut-ikutan sibuk memantau arus mudik.
3. Saat Lebaran Rasulullah SAW Tidak Bermaaf-maafan
Acara lebaran kita ini selalu dihiasi dengan ucapan selamat dan saling bermafaan, dengan keluarga, orang tua, shahabat, teman, dan lainnya. Yang jadi pertanyaan adalah apakah ini diperintahkan secara khusus oleh Nabi SAW? Atau adakah contoh dimana Beliau SAW melakukannya tiap lebaran?
Jawabannya pasti tidak ada. Bahkan hadits yang paslu sekalipun juga tidak ada yang bercerita demikian. Apa yang selama ini kita lakukan dengan saling bermafaan ini sesungguhnya sama sekali tidak ada dasar masyru'iyah atau contoh dari kehidupan beliau SAW.
Lalu apakah jadi terlarang, bid'ah dan haram?
Tentu tidak juga. Sebab secara umum yang namanya bermaafan itu perbuatan yang baik dan dianjurkan untuk kita saling memaafkan. Tetapi kalau secara khusus saat lebarang kita harus saling bermaafan, tentu tidak ada perintahnya.
4. Saat Lebaran Rasulullah SAW Tidak Ber-Halal bi Halal
Dan yang pasti Nabi SAW tidak pernah mengadakan acara yang kita sebut halal bi halal tiap lebaran. Tidak ada satu pun hadits, walaupun yang palsu sekalipun, yang menyebutkan bahwa para lebaran hari keberapa Beliau SAW kumpul-kumpul dengan warga Madinah untuk melaksanakan acara halal bi halal.
Bahkan istilah halal bi halal ini pun juga bukan bahasa Arab. Orang Arab bahkan tidak mengenal kosa kata ini. Semua kamus berbahasa Arab juga tidak pernah mencantumkan kata halal bi halal ini.
Rupanya istilah halal bi halal ini murni 100% istilah ciptaan bangsa Indonesia. Maka yang paling tahu artinya cuma bangsa kita saja. Intinya, ya sekedar kumpul-kumpul pasca Ramadhan, biasanya selalu ada makan-makannya. Kadang diselingi dengan ceramah agama, kadang arisan keluarga dan seterusnya. Pokoknya mana yang enak saja.
Lalu apakah halal bi halal ini jadi haram hukumnya gara-gara Nabi SAW tidak pernah mengerjakannya? Jawabannya tentu saja tidak.
Kaidah Ngawur dan Sesat
Lalu mengapa semua amalan yang tidak Nabi SAW kerjakan itu jadi halal dan boleh kita kerjakan?
Jawabannya karena kita sejak awal menolak tegas untuk menggunakan kaidah keliru dan ngasal yang bunyinya bahwa apabila suatu amal tidak dikerjakan oleh Nabi SAW, maka amal itu menjadi haram, bid'ah dan terlarang.
Kaidah seperti itu sebenarnya tidak pernah diajarkan oleh Nabi SAW, juga tidak diajarkan oleh para shahabat, atau bahkan para ulama.
Kaidah semacam itu sebenarnya kaidah tidak ada dasarnya. Pengarangnya lagi mimpi dan ngelindur, lalu menciptakan bid'ah terburuk yang pernah dilakukan manusia.
Dan pada gilirannya, orang yang mengarang-ngarang kaidah sesat itu akan terjebak atau termakan dengan kaidah yang dihayalkannya sendiri itu. Awalnya ingin menjustifikasi orang bersalah, tetapi ternyata dirinya sendiri yang terkena dengan kaidahnya sendiri. Ini namanya senjata makan tuan.
Bahwa Rasulullah SAW tidak melakukan suatu amal, tidak selalu menjadi haram, bid'ah dan terlarang. Sebab terlalu banyak amal-amal yang rutin kita lakukan, sementara beliau SAW malah tidak pernah melakukannya.
Dan sebaliknya, terlalu banyak amal yang dikerjakan oleh Nabi SAW, ternyata kita malah tidak pernah melakukannya. Lantas apakah kita jadi pendosa yang wajib masuk neraka? Jawabnya tidak juga.
Kita harus lihat dulu kasus per kasus dan secara cermat melihatnya dari sudut pandang yang adil, ilmiyah, komprehensif dan sejalan dengan fatwa para ulama.
Wallahu a'lam bishshawab, wssalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ahmad Sarwat, Lc.,MA
Kirim Pertanyaan : tanya@rumahfiqih.com
TOTAL : 2.302 tanya-jawab | 39,342,121 views
1. Aqidah | 25 subtema |
2. Quran | 8 subtema |
3. Hadits | 11 subtema |
4. Ushul Fiqih | 7 subtema |
5. Thaharah | 9 subtema |
6. Shalat | 28 subtema |
7. Zakat | 11 subtema |
8. Puasa | 15 subtema |
9. Haji | 12 subtema |
10. Muamalat | 17 subtema |
11. Nikah | 20 subtema |
12. Mawaris | 9 subtema |
13. Kuliner | 7 subtema |
14. Qurban Aqiqah | 3 subtema |
15. Negara | 11 subtema |
16. Kontemporer | 7 subtema |
17. Wanita | 8 subtema |
18. Dakwah | 5 subtema |
19. Jinayat | 7 subtema |
20. Umum | 23 subtema |
Jadwal Shalat DKI Jakarta12-12-2019Subuh 04:08 | Zhuhur 11:48 | Ashar 15:15 | Maghrib 18:05 | Isya 19:18 | [Lengkap]
|
Rumah Fiqih Indonesiawww.rumahfiqih.comJl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940 Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia Visi Misi | Karakter | Konsultasi | Pelatihan | Jadwal | Materi | Buku | PDF | Ustadz | Mawaris | Video | Quran | Radio | Jadwal Link Terkait : Sekolah Fiqih | Perbandingan Mazhab | img
|