Thu 29 November 2012 07:23 | Hadits > Musthalah Hadits | 18.136 views
Jawaban :
الرُّؤْيَةُ وَالْمُجَالَسَةُ وَالْمُعَاشَرَةُ
Penglihatan, duduk bersama dan bergaul
Dan kata shahabat juga bisa diartikan sebagai shahabat, kawan atau teman. Namun secara istilah, kata ini dinisbatkan kepada para shahabat Nabi Muhammad SAW.
Dan para ulama mendefinisikan siapa saja yang dimaksud dengan shahabat Nabi SAW sebagai :
مَنْ لَقِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُؤْمِنًا بِهِ وَمَاتَ عَلَى الإْسْلاَمِ
Orang yang bertemu dengan Nabi SAW dalam keadaan mukmin dan meninggalkan dalam keadaan mukmin. Tidak semua orang yang pernah bertemu dengan Nabi SAW berhak disebut shahabat. Hanya mereka yang memenuhi ketentuan saja yang disebut shahabat, yaitu :
1. Bertemu Langsung
Pertemuan dengan Nabi SAW yang dimaksud adalah pertemuan langsung, wajah dengan wajah, dan bukan dalam wujud cahaya (nur), ruh, qarin, bayangan apalagi mimpi.
Maka mereka yang mengaku pernah bermimpi bertemu dengan nur, ruh, atau qarin dari Rasulullah SAW, atau bertemu dengan beliau dalam tidur (bermimpi), tidak boleh disebut sebagai shahabat Nabi.
2. Dalam Keadaan Muslim
Abu Jahal, Abu Lahab, Abu Thalib , ‘Uthbah dan banyak lagi yang lainnya, adalah orang-orang yang berkali-kali bertemu langsung dengan sosok Nabi Muhammad SAW.
Mereka bukan hanya bercakap-cakap secara langsung, berdiskusi, berdebat atau bersitatap, bahkan juga terlibat dalam berbagai perjanjian dan peperangan bersama dengan Rasulullah SAW.
Namun mereka tidak termasuk shahabat Nabi, karena mereka bukan muslim dan tidak bersyahadat, bahkan sampai mereka mati tidak pernah memeluk agama Islam.
Ada sebagian orang kafir yang pernah bertemu dengan Rasulullah SAW, lalu kemudian mereka memeluk Islam sepeninggal Rasulullah SAW. Mereka ini juga tidak terhitung sebagai shahabat Nabi SAW, karena detik-detik ketika mereka bertemu langsung dengan beliau, agama mereka bukan Islam.
3. Mati Dalam Keadaan Muslim
Ada sebagian orang yang pernah bertemu dengan Nabi SAW dalam keadaan muslim, namun sayangnya ketika meninggal dunia, mati dalam keadaan kafir dan murtad.
Mereka ini juga bukan termasuk para shahabat, karena mati bukan dalam keadaan muslim.
B. Pengertian Sifat Al-Adalah
Sifat al-'adalah kurang tepat kalau diartikan sebagai kata 'adil' sebagaimana yang kita kenal dalam bahasa Indonesia. Adil dalam bahasa Indonesia maksudnya adalah orang memutuskan perkara dengan cara yang adil. Sedangkan sifat al-'adalah yang dikaitkan dengan posisi para shahabat punya makna yang jauh berbeda.
1. Secara Bahasa
Secara bahasa, kata al-'adalah bermakna lurus atau istiqamah. Dan juga bermakna
المتوسط فى الأمور من غير إفراط فى طرفى الزيادة والنقصان
Pertengahan dalam suatu masalah, tanpa berlebihan pada salah satu sisi atau kekurangan
2. Secara Istilah
Sedangkan maknanya secara istilah cukup banyak dibuatkan definisinya oleh para ulama, namun pada akhirnya semua bermuara kepada satu pengertian, yaitu
صفة راسخة فى النفس تحمل صاحبها على ملازمة التقوى والمروءة
Sifat yang mendalam di dalam jiwa yang membawa pemiliknya untuk selalu berada dalam taqwa dan muru'ah.
Di dalam kitab Taudhiul Afkar karya Ash=Shan'ani disebutkan bahwa sifat al-adalah ini tidak akan terdapat pada diri seorang perawi hadits, kecuali bila minimal 5 sifat yang mengiringinya, yaitu : muslim, aqil, balig, selamat dari sifat fasik dan menjaga muru'ah.
Namun yang penting untuk diketahui bahwa sifat al-adalah ini bukan berarti seseorang makshum dan kebal dari kesalahan dan dosa. Bisa saja orang yang punya sifat al-adalah ini salah, keliru atau berdosa yang sifatnya manusiawi. Tetapi yang jelas, bukan pelaku dosa besar dan juga bukan orang yang berniat atau sengaja melakukannya untuk menentang agama.
Al-Imam Asy-Syafi'i mengatakan bahwa seandainya makna al-adalah itu adalah seseorang tidak punya dosa secuil pun, maka kita akan pernah menemukan orang itu. Maka orang yang adil adalah orang yang menjauhi dosa-dosa besar, dan kebaikannya lebih banyak dari keburukannya.
C. Maksud Sifat Al-Adalah Pada Diri Para Shahabat
Maka kalau para shahabat itu kita pastikan punya sifat al-adalah, maknanya bahwa mereka bukan lah orang yang sengaja berdusta tentang Rasulullah SAW. Sebab mereka adalah orang-orang yang secara resmi disebutkan di dalam Al-Quran punya iman yang kuat, berpegang teguh pada taqwa, menjaga muru'ah, serta berakhlaq yang agung.
Namun bukan berarti mereka orang yang ma'shum dan kebal dosa. Bisa saja para shahabat itu punya sifat manusiawi, karena pada hakikatnya mereka memang manusia. Jadi tidak tertutup kemungkinan mereka juga keliru, salah, berdosa bahkan saling berperang satu sama lain.
Namun harap diingat bahwa kalau pun ada kasus dimana ada shahabat yang melakukan dosa besar, mereka adalah orang yang dengan cepat langsung bertaubat. Selain itu jumlah shahabat itu terlalu banyak, jumlahnya mencapai 124.000 orang. Sedangkan yang tercatat pernah salah cuma beberapa gelintir orang saja. Maka generalisasi bahwa semua shahabat itu tukang bikin dosa, tentu sebuah kesimpulan yang salah kaprah.
Menambahi pengertian al-'adalah apa yang telah dikatakan oleh Al-Imam Al-Abyari :
وليس المراد بعدالتهم ثبوت العصمة لهم ، واستحالة المعصية عليهم ، وإنما المراد : قبول روايتهم من غير تكلف بحث عن أسباب العدالة وطلب التزكية ، إلا أن يثبت ارتكاب قادح ، ولم يثبت ذلك ولله الحمد
Keadilan para shahabat itu maksudnya bukan kemakshuman atau halalnya mereka dari perbuatan maksiat. Tetapi yang dimaksud adalah diterimanya periwayatan mereka tanpa harus dibebani dengan penyelidikan atas sebab sifat al-adalah mereka, juga tanpa membutuhkan rekomendasi (dari pihak lain). Dengan pengecualian bila memang ada kepastian dilakukannya dosa besar, namun hal itu tidak terjadi, walhamdulillah.
D. Mengapa Sifat Al-Adalah Para Shahabat Tidak Diperiksa Lagi?
Sebagai pamungkas dari tulisan singkat ini, mari kita jawab secara tegas saja pertanyaan di atas, yaitu kenapa kita tidak memberlakukan al-jarhu wa at-ta'dil kepada para shahabat. Alasannya adalah hal-hal berikut ini :
1. Allah SWT Langsung Yang Memastikan Mereka Bersifat Al-Adalah
Di dalam Al-Quran Al-Karim, Allah SWT beberapa kali di ayat yang berbeda memastikan bahwa para shahabat itu bersifat al-adalah. Misalnya :
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
Rasulullah SAW bersabda bahwa generasi yang terbaik adalah generasi dimana beliau hidup. Maksudnya berarti tidak lain adalah para shahabat.
خير الناس قرنى ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم
Manusia terbaik adalah mereka yang hidup di abadku, kemudian abad berikutnya dan berikutnya. (HR. Bukhari)
Hadits ini jelas sekali menyebutkan bahwa para shahabat adalah sebaik-baik manusia. Dan sifat al-adalah otomatis terdapat pada manusia-manusia terbaik.
إن الله اختار أصحابى على العالمين، سوى النبيين والمرسلين
Sesungguhnya Allah SWT telah memilih para shahabatku dari yang lain di alam ini, kecuali para nabi dan rasul. (HR. Al-Bazzar)
3. Sudah Merupakan Ijma' Para Ulama
Seluruh umat Islam sedunia sejak masa kenabian hingga masa sekarang ini telah berijma' bahwa para shahabat adalah orang-orang yang dipastikan punya sifat al-adalah. Tidak ada seorang ulama pun yang mengatakan sebaliknya. Oleh karena itu, siapa yang meragukan sifat ini atau malah meyakini bahwa para shahabat tidak berhak memilihi sifat al-adalah, sudah dianggap rusak aqidahnya, bahkan bisa sampai menggugurkan keislamannya.
4. Para Shahabat Juga Merupakan Sumber Hadits
Isi matan suatu hadits itu tidak selalu melulu perkataan dan perbuatan Rasulullah SAW. Dan posisi para shahabat juga tidak selalu hanya semata-mata sebagai perawi yang fungsinya hanya sebagai penyampai jalur hadits.
Kalau kita teliti, seringkali kedudukan para shahabat Nabi ridhwanullahi 'alaihim justru merupakan sumber hadits itu sendiri. Coba perhatikan, betapa banyak hadits yang isinya sebenarnya merupakan perkataan dan perbuatan para shahabat, namun terjadinya di masa Rasulullah SAW dan tentu saja semua atas sepengetahuan beliau SAW.
Misalnya kita lihat hadits berikut ini :
كُنَّا نَتَكَلَّمُ فيِ الصَّلاَةِ يُكَلِّمُ الرَّجُلُ مِنَّا صَاحِبَهُ وَهُوَ إِلىَ جَنْبِهِ حَتَّى نَزَلَتْ: وَقُومُوا للهِ قَانِتِيْنَ فَأُمِرْناَ بِالسُّكُوتِ وَنُهِيْنَا عَنِ الكَلاَمِ
Dari Zaid bin Al-Arqam radhiyallahu ‘anhu berkata,"Dahulu kami bercakap-cakap pada saat shalat. Seseorang ngobrol dengan temannya di dalam shalat. Yang lain berbicara dengan yang disampingnya. Hingga turunlah firman Allah SWT "Berdirilah untuk Allah dengan khusyu". Maka kami diperintahkan untuk diam dan dilarang berbicara dalam shalat". (HR. Jamaah kecuali Ibnu Majah)
Hadits di atas itu menceritakan bagaimana kejadian di antara para shahabat, ketika mereka shalat sambil mengobrol dengan sesama jamaah. Lalu turun ayat yang melarang mereka. Di dalam hadits ini kita sama sekali tidak menemukan perkataan atau pembicaraan Nabi SAW, yang ada justru perbuatan para shahabat.
Selain itu memang Rasulullah SAW merekomendasikan kepada kita untuk mengambil sumber agama dari para shahabat beliau ridhwanullahi 'alaihi.m ajmain
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ المَهْدِيِّينَ الرَاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Wajiblah atas kalian untuk berpegang pada sunnahku dan sunnah para penggantiku yang lurus. Pegang erat sunnah itu dan gigitlah dengan geraham. (HR. Ahmad)
Maka tidak keliru kalau kita katakan bahwa kedudukan para shahabat itu seringkali malah sebagai sumber hadits, bukan semata-mata sebagai penyampai atau periwayat hadits Nabi.
Maka sebagai sumber hadits, kalau ada shahabat nabi yang dipemeriksa dengan menggunakan al-jahru wa at-ta'dil tentu tidak relevan. Karena ilmu itu berfungsi untuk memastikan kebenaran proses transfer informasi, bukan untuk mengadili sumber hadits itu sendiri. Maka proses transfer informasi atau jalur periwayatan itu dimulai dari perawi setelah shahabat, yaitu tabi'in, ke tabi'iut tabi'in dan seterusnya.
5. Para Shahabat Bukan Objek Penelitian
Ilmu Jarh wa Ta'dil itu tidak lahir kecuali dari kondisi dimana zaman sudah rusak, kejujuran menjadi sesuatu yang mahal, dan orang banyak memalsu hadits demi kepentingan tertentu.
Masa itu terjadi setelah lewat masa shahabat, yaitu mulai masa tabi'in, kemudian diteruskan pada masa-masa berikutnya lagi, sampai lima atau enam generasi, hingga sampai ke generasi para muhadditsin, yang melakukan penelitian atau melakukan al-jarhu wa at-ta'dil. Di masa itu masa hidup para ahli hadits seperti Al-Bukhari, Muslim, At-Timidzi dan seterusnya.
Kemudian pada generasi berikutnya lagi, setelah masa para ahli hadits sudah melakukan penelitan para perawi, nyaris sudah tidak ada lagi penelitian. Maksudnya, bila rangkaian periwayatan suatu hadits sudah berhenti sampai ke muhaddits seperti Bukhari misalnya, maka dari Bukhari ke perawi berikutnya sudah tidak dilakukan lagi al-jarhu wa at-ta'dil.
Maka kalau kita bingung, kenapa para shahabat nabi tidak diperiksa dengan jarh dan ta'dil, jawabannya karena mereka memang dianggap bukan objek proses al-jarhu wa at-ta'dil. Memang kalau dilakukan proses ini secara ketat untuk tiap shahabat, bisa saja ada shahabat yang dihukumi sebagai perawi yang lemah.
Tetapi mengapa tidak ada proses al-jarhu wa at-ta'dil di level shahabat?
Ada banyak jawaban, tetapi salah satu yang terpenting adalah bahwa tujuan dari ilmu al-jarhu wa a-ta'dil itu memang bukan untuk menelanjangi para shahabat. Ilmu itu tercipta jauh setelah generasi shahabat berlalu. Dan tidak ada kepentingan sedikit pun untuk mencurigai para shahabat sebagai perawi yang lemah atau bermasalah.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Dzikir Dengan Suara Keras 28 November 2012, 07:30 | Shalat > Ritual Terkait Shalat | 28.615 views |
Mengapa Islam Turun di Arab? 27 November 2012, 08:45 | Ushul Fiqih > Syariah | 11.916 views |
Cara Berwudhu Wanita Berjilbab 27 November 2012, 06:02 | Thaharah > Wudhu | 11.173 views |
Batas Kebolehan Perbedaan Pendapat 26 November 2012, 05:14 | Ushul Fiqih > Ikhtilaf | 8.695 views |
Shalat Khusyu' Sesuai Rasulullah SAW 25 November 2012, 02:18 | Shalat > Ritual Terkait Shalat | 91.440 views |
Berdoa Agar PSSI Menang, Kok Nggak Menang-menang Juga? 24 November 2012, 09:46 | Kontemporer > Fenomena sosial | 8.729 views |
Bersalaman Seusai Shalat 22 November 2012, 17:01 | Shalat > Ritual Terkait Shalat | 10.355 views |
Bolehkah Merevisi Mahar Setelah Akad? 20 November 2012, 17:00 | Pernikahan > Mahar | 23.442 views |
Bolehkah Orang Kafir Masuk Masjid? 18 November 2012, 17:00 | Shalat > Masjid | 13.934 views |
Demokrasi Soal Aqidah atau Muamalah? 17 November 2012, 17:00 | Kontemporer > Perspektif Islam | 10.090 views |
Shalat Hadiah untuk Orang Tua Meninggal 16 November 2012, 00:45 | Shalat > Shalat sunah | 18.074 views |
Operasi Selaput Dara 15 November 2012, 17:00 | Wanita > Hukum | 8.137 views |
Dzikir Ratib Al Haddad 14 November 2012, 17:00 | Umum > Tasawuf | 71.405 views |
Hukum Wanita Haid Masuk Masjid 12 November 2012, 03:25 | Thaharah > Haidh Nifas Istihadhah | 42.445 views |
Wanita Haram Menjadi Imam Buat Laki-laki 7 March 2012, 17:00 | Shalat > Imam | 10.491 views |
Benarkah Wanita Boleh Jadi Imam Shalat Buat Laki-laki? 6 March 2012, 17:00 | Shalat > Imam | 6.408 views |
Mengulang-ulang Tayammum 4 March 2012, 17:00 | Thaharah > Tayammum | 6.282 views |
Benarkah Wanita Haid Boleh Tetap Puasa? 6 September 2008, 22:45 | Puasa > Puasa terlarang | 9.883 views |
Mimpi Basah Saat Ramadhan 6 September 2008, 22:44 | Puasa > Membatalkan Puasa | 7.397 views |
Perlukah Bersyahadat Lagi? 6 September 2008, 12:20 | Aqidah > Syahadat | 9.532 views |
TOTAL : 2.300 tanya-jawab | 43,867,809 views
Jadwal Shalat DKI Jakarta25-1-2021Subuh 04:31 | Zhuhur 12:06 | Ashar 15:29 | Maghrib 18:21 | Isya 19:33 | [Lengkap]
|
Rumah Fiqih Indonesiawww.rumahfiqih.comJl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940 Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia Visi Misi | Karakter | Konsultasi | Pelatihan | Materi | Buku | PDF | Ustadz | Mawaris | Video | Quran | Pustaka | Radio | Jadwal Link Terkait : Sekolah Fiqih | Perbandingan Mazhab | img
|