Tue 2 December 2014 11:03 | Dakwah > Belajar agama | 12.983 views
Jawaban :
Ust. Ahmad Sarwat, Lc., MA
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Setidaknya ada dua sisi utama yang harus diperhatikan dalam masalah ini. Pertama, ustadz yang mengajar memang seharusnya bersifat adil dan tidak memihak kepada kelompok tertentu. Kedua, pertimbangan kemampuan keilmuan sang ustadz juga penting sekali.
A. Masalah Keberpihakan
Sulit dipungkiri bahwa masyarakat kita ini adalah masyarakat yang heterogen, khususnya bila kita tinggal di perkotaan seperti Jakarta ini. Ada begitu banyak orang datang dari berbagai tempat dan daerah, masing-masing tentu membawa paham, mazhab, gaya dan aliran yang berbeda.
Tantangan bagi penyelenggara majelis taklim adalah bagaimana bisa menampung semua perbedaan ini. Apalagi buat nara sumber yaitu ustadz yang mengajar, tentu harus lebih bijak lagi.
1. Tidak Mengajak Kepada Ormas dan Partai
Sayang sekali kalau pengajian itu hanya mengajak kepada aliran tertentu saja, atau kepada kepentingan kelompok tertentu saja. Sebab masjid dan majelis taklim itu bukan milik kelompok tertentu, melainkan milik umat Islam secara bersama.
Silahkan saja pengurus atau ustadz itu berasal dari kelompok tertentu, tetapi ketika mengajar di majelis taklim, tidak perlu berkampanye mengajak jamaah untuk berpindah ke kelompoknya. Sebab majelis taklim itu bukan lapangan kampanye dimana para ustadz menjadi juru kampanye masing-masing kepentingan dan kelompok.
Silahkan saja para ustadz punya ormas dan partai, bahkan menjadi anggota atau malah menjadi pimpinan dari ormas atau partai masing-masing pun boleh. Tetapi begitu masuk masjid, apalagi menjadi ustadz nara sumber, semua baju ormas dan kepartaiaannya harus ditanggalkan 100%. Mengapa?
Karena seorang ustadz ketika mengajarkan ilmu agama, tentu misinya bukan untuk menjadi propagandis ormasnya. Tetapi untuk mengajarkan ilmu yang dimilikinya. Dan ilmu agama yang diajarkan di masjid atau di majelis taklim tentu bukan ilmu tentang keormasan atau kepartaian. Ilmu yang diajarkan adalah ilmu-ilmu keislaman yang kita wariskan dari Rasulullah SAW dan para ulama.
2. Tidak Menjelekkan Antara Pendapat Ulama
Selain harus netral dari sisi keormasan dan kepartaian, seorang ustadz pun juga harus adil dan proporsional dalam hal perbedaan pendapat para ulama. Masjid dan majelis taklim itu tempat belajar ilmu para ulama, bukan tempat untuk menhujat dan mencaci maki ulama yang tidak disukai, dan memuji setinggi lain ulama yang sesuai seleranya.
Porsi ilmu dari para ulama yang diajarkan harus adil. Kalau ada perbedaan pendapat, harus disampaikan apa adanya, jangan pendapat yang disetujui diangkat tinggi-tinggi, tetapi yang tidak disetujui dicoret dan dihilangkan, seolah-olah tidak pernah ada.
Tentu hal itu mencederai keilmuan itu sendiri, yang seharusnya adil dan seimbang. Seorang ustadz dituntut untuk menyampaikan ilmu secara apa adanya, tidak berart sebelah dan tidak berkhianat terhadap ilmu.
B. Masalah Keilmuan
Dari sisi pertimbangan keilmuan, maka setidaknya seorang ustadz yang akan dijadikan nara sumber dalam majelis taklim itu harus memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni, juga jelas disiplin ilmunya, serta jelas juga sanad keilmuannya.
1. Kapasitas Keilmuan
Bahan pertimbangan yang paling utama sosok ideal seorang ustadz adalah masalah kapasitas keilmuannya. Dinamakan majelis taklim atau majelis ilmu, karena di dalamnya disampaikan ilmu-ilmu keislaman. Maka narasumbernya haruslah seorang yang punya ilmu.
Kalau narasumbernya tidak punya ilmu, tentu namanya sudah bukan lagi majelis ilmu. Dan masalah kapasitas keilmuan ini sebenarnya ada ukurannya, persis sebagaimana yang kita kenal dalam dunia pendidikan tinggi. Ada jenjang D-1, D-2, D-3, S-1, S-2 dan S-3.
Secara umum, semakin tinggi jenang keilmuan seorang ustadz, tentu akan lebih baik. Setidaknya wawasannya akan jauh lebih luas, pengalamannya juga semakin banyak, dan jam terbangnya pun biasanya lebih panjang.
Namun tetap saja kapasitas keilmuannya harus disesuaikan dengan kapasitas para jamaah yang jadi murid. Kalau kapasitas muridnya baru selevel SD sedangkan gurunya selevel doktor, mungkin agak terlalu jauh jaraknya.
2. Kejelasan Disiplin Ilmu
Ilmu-ilmu agama Islam itu sangat luas dan banyak bidangnya. Mulai dari ilmu Al-Quran, Tafsir, Hadits, Fiqih, Ushul Fiqih, Sirah Nabawiyah, Bahasa Arab, hingga merasuk ke semua jenis cabang ilmu teknis lainnya. Di masa lalu, umumnya para ulama menguasai banyak cabang ilmu. Sebut saja Ibnu Rusyd (w. 595 H) penulis kitab Bidayatul Mujtahid. Beliau bukan sekedar ahli fiqih tetapi juga seorang dokter kesehatan.
Namun di masa sekarang ini, sosok ulama yang menguasai semua cabang ilmu keislaman hampir sudah tidak ada lagi. Kebanyakan orang-orang di masa sekarang ini hanya belajar satu jenis ilmu, walaupun pernah juga belajar ilmu-ilmu yang lainnya. Namun dalam konsentrasi pendalaman ilmu, biasanya ada pengkhususan.
Oleh karena itu haruslah ditetapkan sejak awal, bidang ilmu apa saja yang akan diajarkan di majelis taklim itu. Dan tentunya harus dicarikan ustadz yang punya latar belakang pendidikan sesuai.
Misalnya, untuk mengajarkan ilmu tajwid dan tahsin at-tilawah, seharusnya ada ustadz khusus yang memang seorang ahli dalam masalah tajwid serta ilmu qiraat Al-Quran. Setidaknya dia mengerti perbedaan qiraat-qiraat yang mutawatir.
Demikian juga untuk materi pelajaran Tafsir, Hadits, Sirah Nabawiyah dan Bahasa Arab, ustadz yang mengajarkannya haruslah sosok yang setidaknya pernah kuliah di masing-masing fakultas yang sesuai. Mau mengajar bahasa Arab tentu harus mahir dan fasih berbahasa Arab. Minimal lancar berkomunikasi dengan orang-orang Arab, baik lisan ataupun tulisan.
Kalau yang diajarkan ilmu fiqih, maka setidaknya ustadz yang mengajar haruslah orang yang pernah belajar ilmu fiqih sesuai dengan jenjang pendidikan yang baku. Idealnya pernah duduk di bangku fakultas syariah, entah itu jenjang S-1, S-2 atau S-3.
3. Hati-hati Dengan Gelar
Di negeri kita memang ada semacam trend bahwa seorang ustadz itu harus bergelar Lc. Kesannya kalau seorang ustadz bergelar Lc, berarti beliau ada ulama besar dan tokoh ahli syariah.
Padahal gelar Lc ini sebenarnya gelar tidak resmi. Hanya kita orang Indonesia saja yang menggunakannya secara tidak resmi. Biasanya gelar Lc ini disematkan buat siapa saja yang pernah kuliah di Timur Tengah atau minimal lulusan LIPIA Jakarta. Padahal sebenarnya kampus-kampus di Arab sana sama sekali tidak pernah memberikan gelar ini kepada lulusan S-1. Bahkan lulusan S-2 pun tidak diberi gelar MA. Hanya lulusan jenjang S-3 saja yang secara resmi diberi gelar Doktor.
Lucunya gelar Lc ini dipakai oleh semua orang Indonesia yang lulus S-1 disana, apapun fakultasnya. Semua pakai gelar Lc, walaupun fakultasnya bukan fakultas keislaman, seperti fakultas teknik, pertanian, mesin, elektro, kimia, ekonomi, perbankan, bahkan sejarah dan bahasa.
Salah seorang ustadz kondang yang saya kenal bergelar Lc, kemana-mana ceramah ilmu fiqih. Ternyata begitu ditanya dimana dulu kuliahnya, beliau menjawab sambil senyum-senyum bahwa dirinya kuliah jurnalistik. Pantas saja materi fiqihnya ngalor-ngidul tidak jelas jeluntrungannya. Lha wartawan kok bicara fiqih?
Kalau kuliahnya di ushuluddin, entah itu tafsir atau hadits mungkin masih agak nyambung-nyambung sedikit lah. Tetapi kuliah perminyakan lalu bicara fiqih dan bikin fatwa asal-asalnya sekenanya, tentu jadi runyam urusannya.
Kalau mau ideal, jangankan yang fakultas teknik, yang sama-sama fakultas agama saja pun masih belum tentu tepat untuk dicampur-campur. Yang diajarkan di fakultas ilmu tafsir itu bukan ilmu fiqih, begitu juga yang diajarkan di fakultas hadits itu juga bukan ilmu fiqih.
Maka kurang tepat kalau lulusan tafsir atau hadits diminta mengajar ilmu fiqih. Sebagaimana kurang tepat juga kalau lulusan fakultas syariah diminta mengajar tafsir atau hadits. Masing-masing fakultas ada kekhususan tersendiri.
Oleh karena itu, silahkan cek terlebih dahulu latar belakang pendidikan masing-masing calon ustadz, jangan terpesona hanya dengan gelar Lc dan sejenisnya.
Kalau pun bukan dari jenjang pendidikan syariah yang formal di kampus, setidaknya seorang ustadz dalam ilmu fiqih pernah nyantri dan menjadi murid betulan dari guru-guru besar ilmu fiqih. Pesantren tempat dimana beliau belajar memang punya kiyai ahli fiqih, kitab-kitab yang dipelajarinya juga kitab-kitab fiqih, dan ilmu-ilmu yang diajarkan memang ilmu fiqih.
Parahnya, sang ustadz sendiri pun seringkali kurang sadar diri juga. Diminta pengurus untuk mengisi kajian yang judulnya sangat jauh berbeda dengan disiplin ilmu yang dipelajari pun mau saja. Padahal jelas-jelas dirinya bukan ahli di bidang materi yang dimintakan. Seolah-olah dirinya merasa sudah menguasai semua cabang ilmu agama.
Seharusnya dengan rendah hati permintaan semacam itu ditolak dengan berterus terang bahwa dirinya bukan ahli di bidang materi yang dimintakan. Silahkan minta ustadz lain yang memang ahli di bidangnya. Itu jauh lebih mulia dari pada berpura-pura pintar padahal tidak mampu dan tidak menguasai.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Bolehkah Kita Memakai Kartu Kredit? 1 December 2014, 08:30 | Muamalat > Kredit | 119.457 views |
Belajar Agama Lewat Internet Sesat Karena Tanpa Guru? 28 November 2014, 06:22 | Ushul Fiqih > Metode belajar | 82.566 views |
ISIS Penggal Kepala Manusia Dalam Perang, Bolehkah? 27 November 2014, 10:00 | Umum > Hukum | 17.639 views |
Melihat Calon Isteri Tanpa Jilbab 26 November 2014, 11:02 | Pernikahan > Pra nikah | 15.729 views |
Menitipkan Jualan di Koperasi, Apakah Riba? 24 November 2014, 21:00 | Muamalat > Riba | 10.853 views |
Membobol Bank Amerika Dengan Alasan Rampasan Perang 23 November 2014, 17:50 | Muamalat > Bank | 10.343 views |
Dosa Tidak Shalat Ashar Sama Dengan Meruntuhkan Ka'bah? 22 November 2014, 13:30 | Shalat > Shalat fardhu | 25.561 views |
Bolehkah Menjama' Shalat Jumat Dengan Shalat Ashar? 21 November 2014, 06:06 | Shalat > Shalat Jama | 39.158 views |
Mengubah Bentuk Tubuh Yang Dibolehkan Syariat 19 November 2014, 10:30 | Kontemporer > Perspektif Islam | 35.943 views |
Ayah Meninggal Dulu, Cucu Tidak Mendapat Warisan? 18 November 2014, 10:10 | Mawaris > kadar bagian ahli waris | 54.137 views |
Benarkah Jumatan di Kantor Tidak Sah Karena Bukan Penduduk Setempat? 17 November 2014, 06:30 | Shalat > Shalat Jumat | 33.551 views |
Hukum Menutup Jalan Untuk Pengajian dan Tabligh Akbar 16 November 2014, 05:20 | Umum > Hukum | 25.278 views |
Bagaimana Menentukan Arah Kiblat? 14 November 2014, 08:50 | Shalat > Arah Qiblat | 11.601 views |
Bolehkah Menunda Shalat Berjamaah Menunggu Jamaah Kumpul Semua? 13 November 2014, 11:20 | Shalat > Shalat Berjamaah | 30.623 views |
Benarkah Olahraga Renang Sunnah Nabi? 12 November 2014, 08:45 | Kontemporer > Perspektif Islam | 96.028 views |
Menggelar Resepsi Pernikahan Dengan Menutup Jalan 10 November 2014, 17:33 | Pernikahan > Walimah | 23.154 views |
Pembagian Waris Suami Istri 8 November 2014, 10:55 | Mawaris > Bagi waris berbagai keadaan | 18.555 views |
Sujud Syukur dengan Sujud Tilawah, Apa Bedanya? 7 November 2014, 06:15 | Shalat > Sujud | 22.557 views |
Seorang Wanita Naik Haji tanpa Suami 6 November 2014, 03:19 | Haji > Haji Berbagai Keadaan | 11.674 views |
Hanya Menggunakan Al-Quran karena Menganggap Hadits Banyak yang Palsu 5 November 2014, 03:37 | Hadits > Pengingkar hadits | 12.558 views |
TOTAL : 2.294 tanya-jawab | 48,973,268 views
Jadwal Shalat DKI Jakarta1-4-2023Subuh 04:40 | Zhuhur 11:58 | Ashar 15:14 | Maghrib 18:02 | Isya 19:09 | [Lengkap]
|
Rumah Fiqih Indonesiawww.rumahfiqih.comJl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940 Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia Visi Misi | Karakter | Konsultasi | Pelatihan | Buku | PDF | Quran | Pustaka | Jadwal | Sekolah Fiqih
|