◀ | Jilid : 3 Juz : 2 | Al-Baqarah : 149 | ▶ |
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۖ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Kemenag RI 2019 : Dari mana pun engkau (Nabi Muhammad) keluar, hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Sesungguhnya (hal) itu benar-benar (ketentuan) yang hak (pasti, yang tidak diragukan lagi) dari Tuhanmu. Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.Lafazh wa-min haitsu (وَمِنْ حَيْثُ) artinya : “dan dari manapun”, lafazh kharajta (خَرَجْتَ) artinya : “kamu keluar”. Para mufassir mengaitkan kata min haitsu kharajta yang bermakna “dari arah manapun kamu keluar” dengan kewajiban untuk menghadap kiblat ketika shalat, meskipun sedang dalam keadaan safar atau perjalanan ke luar kota.
Boleh jadi ayat-ayat yang terulang-ulang inilah yang melatar-belakangi para fuqaha’ di empat mazhab menegaskan bahwa menghadap kiblat itu menjadi bagian paling mendasar dalam ibadah shalat lima waktu. Bila sejak awal tidak menghadap kiblat maka shalatnya tidak sah.
Begitu juga bila di tengah-tengah shalat, seseorang berpindah arah atau bergeser badannya sehingga tidak lagi menghadap kiblat, maka shalatnya pun otomatis batal.
Namun entah bagaimana di masa sekarang ada beberapa orang yang mengajarkan shalat fardhu di atas kendaraan tanpa memperhatikan arah kiblat. Mereka berdalih dengan hadits yang menceritakan bahwa Nabi SAW pernah shalat di atas punggung unta tanpa menghadap kiblat. Padahal hadits itu sendiri menegaskan bahwa yang Nabi SAW kerjakan itu bukan shalat fardhu, melainkan shalat sunnah.
Bila datang waktu shalat fardhu, Beliau pun berhenti dan turun dari untanya, demi untuk bisa shalat dengan cara menghadap kiblat dengan tepat. Lagi pula ayat ini dengan sangat jelas dan terbuka mengaitkan kewajiban shalat menghadap kiblat bahkan meskipun dalam perjalanan di luar kota.
Namun entah mengapa kini malah banyak sekali yang mengajarkan cara shalat di atas kendaraan tanpa menghadap kiblat. Apakah mereka tidak pernah baca ayat ini?
Lafazh fa-walli (فَوَلِّ) adalah fi’il amr yang maknanya : “maka palingkanlah”, atau lebih enaknya : “hadapkanlah”. Lafazh wajha-ka (وَجْهَكَ) artinya : “wajah kamu”.
Lafazh syathr (شَطْرَ) diterjemahkan menjadi : “arah”, namun Buya HAMKA menerjemahkannya menjadi : pihak. Dan syathr (شَطْرَ) ini juga bisa bermakna bagian, sebagaimana hadits nabi berikut :
الطُّهُورُ شَطْرُ الْإِيمَانِ
Kesucian itu bagian dari iman (HR. Muslim)[1]
Namun dalam hal ini yang lebih tepat bukan bagian melainkan arah atau sisi. Adapun lafazh al-masjid al-haram (الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ) maksudnya Ka’bah.
Penggalan di ayat ke-149 ini nyaris sama persis dengan penggalan pada ayat ke-142 sebelumnya. Sehingga boleh dikatakan perintah untuk menghadap ke arah Masjid Al-Haram terulang lagi untuk yang kedua kalinya.
Dan sebenarnya nanti di ayat berikutnya yaitu ayat ke-150, akan terulang sekali lagi dengan lafazh yang sama persis. Sehingga secara keseluruhannya, perintah untuk memindahkan arah kiblat ke Masjid Al-Haram itu terulang tiga kali.
Lantas timbul pertanyaan yang cukup menggelitik, kenapa urusan memindahkan arah kiblat sampai harus terulang-ulang hingga tiga kali? Apakah semata-mata hanya sekedar ta’kid yaitu bahwa urusan shalat menghadap kiblat memang benar-benar penting sekali? Ataukah ada makna dan pesan yang lain?
Fakhruddin Ar-Razi dalam Mafatih Al-Ghaib menuliskan rinciannya, yaitu bahwa dari tiga kali perintah untuk menghadap kiblat itu masing-masing beda peruntukan sebagai berikut :[2]
Agak sedikit berbeda dengan pemaparan dari Fakhruddin Ar-Razi di atas, Al-Qurtubi di dalam Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran mengatakan rinciannya sebagai berikut :[3]
Sementara Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Quran Al-Azhim, setelah mengutip pendapat kedua mufassir besar di atas, juga memberikan penjelasannya, kurang lebih sebagai berikut :[4]
Ayat Pertama
Pada kali pertama ayatnya masih merupakan jawaban atas hasrat Nabi SAW yang merindukan bisa shalat menghadap Ka’bah. Itu diungkapkan lewat lafazh :
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا
Sungguh, Kami melihat wajahmu (Nabi Muhammad) sering menengadah ke langit. (QS. Al-Baqarah : 144)
Ayat Kedua
Pada kali kedua, ayatnya sudah lebih dari yang pertama, yaitu sudah menekankan bahwa pemindahan kiblat ini merupakan kebenaran yang datang dari Allah SWT. Penekanannya terdapat pada penggalan ayat berikut ini :
وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ
Sesungguhnya (hal) itu benar-benar (ketentuan) yang hak (pasti, yang tidak diragukan lagi) dari Tuhanmu. (QS. Al-Baqarah : 149)
Ayat Ketiga
Ayat yang ketiga lebih menekankan sisi hikmah dari pemindahan kiblat ini, dimana penekannya terdapat pada penggalan ayat berikut :
لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ
agar tidak ada alasan bagi manusia (untuk menentangmu), kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka. (QS. Al-Baqarah : 150)
[1] Muslim (w. 261 H), Shahih Muslim, (Beirut, Daru Ihya’ Atu-Turats Al-‘Arabi, Cet. 1, 1374 H-1955M) jilid 1 ha. 203
[2] Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H), Mafatih Al-Ghaib, (Beirut, Daru Ihya’ At-Turats Al-Arabi, Cet. 3, 1420 H), jilid 4 hal. 118
[3] Al-Qurthubi (w. 681 H), Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran, (Cairo - Darul-Qutub Al-Mishriyah –Cet. III, 1384 H- 1964 M), jilid 2 hal. 167
[4] Ibnu Katsir (w. 774 H), Tafsir Al-Quran Al-Azhim (Cairo, Dar Thaibah lin-Nasyr wa at-Tauzi’, Cet. 2, 1420 H – 1999 M), jilid 1 hal. 463
Lafaz wa-innahu (وَإِنَّهُ) artinya : “Dan sesungguhnya dia atau itu”. Yang lebih tepat dengan konteks ayat ini adalah itu, yaitu tentang pemindahan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Masjid Al-Haram.
Lafazh lal-haqqu (لَلْحَقُّ) diterjemahkan oleh Kemenag RI menjadi sesuatu yang pasti dan tidak diragukan lagi. Sementara Prof. Quraish Shihab menerjemahkannya menjadi sesuatu yang mantap lagi tidak mengalami perubahan dan atau diragukan.
Lafazh min rabbika (مِنْ رَبِّكَ) artinya dari Tuhanmu. Maksudnya perihal permindahan arah kiblat ini benar-benar ketetapan samawi yang sumbernya langsung dari Allah SWT.
Ini bukan keputusan yang dibuat secara sepihak oleh Nabi Muhammad SAW, juga bukan karena disebabkan demi untuk menyenangkan hatinya. Namun ini adalah sesuatu yang sejak awal sudah ada skenarionya. Sejak awal sudah ada blueprint-nya.
Memang pada akhirnya ketika Allah SWT berkehendak untuk menyempurnakan agama-Nya, ada begitu banyak penyesuaian demi penyesuaian yang dilakukan. Salah satunya adalah dikembalikannya kembali arah kiblat shalat ke arah kiblat pertama, yaitu Ka’bah Baitullah di Mekkah.
Lafazh ghafil (غَأفِل) artinya lengah. Lengah itu ada kemiripan dengan jahil (جَأهِل) namun sebenarnya ada perbedaan yang cukup prinsipil. Makna jahil adalah tidak tahu dalam arti keseluruhan, sedangkan lengah itu pada dasarnya sudah tahu secara umum, namun orang yang sudah tahu secara umum terkadang ‘lengah’ pada bagian tertentu atau pada waktu tertentu dan dalam kondisi tertentu.
Sedangkan lafazh maa ta’malun (ماَ تَعْمَلُون) artinya apa-apa yang kamu lakukan. Dalam hal ini maksudnya bahwa Allah SAW tidak lengah terhadap apa-apa yang kamu kerjakan.
Sedangkan siapakah kamu yang dimaksud dalam ayat ini, Ath-Thabari dalam Jami’ Al-Bayan menyebutkan bahwa mereka adalah orang-orang Yahudi Bani Israil yang tidak mau mengakui kenabian Muhammad SAW dan juga mengingkari ayat Al-Quran yang turun kepada Beliau SAW.[1]
Sedangkan yang Allah SWT awasi terus adalah perbuatan mereka yang selalu bikin ulah kepada Nabi SAW.
[1] Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan
◀ | Al-Baqarah : 149 | ▶ |
TAFSIR KLASIK |
1. 310 H - Jami'ul Bayan : Ibnu Jarir Ath-Thabari |
2. 427 H - Al-Kasy wa Al-Bayan di Tafsir Al-Quran : Ats-Tsa'labi |
3. 450 H - An-Nukat wal 'Uyun : Al-Mawardi |
4. 468 H - At-Tafsir Al-Basith : Al-Wahidi |
5. 516 H - Ma'alim At-Tanzil : Al-Baghawi |
6. 538 H - Al-Kasysyaf : Az-Zamakhsyari |
7. 546 H - Al-Muharrar Al-Wajiz : Ibnu 'Athiyah |
8. 606 H - Mafatihul Ghaib : Fakhrudin Ar-Razi |
9. 681 H - Al-Jami' li-ahkamil Quran : Al-Qurtubi |
10. 745 H - Al-Bahrul Muhith : Abu Hayyan |
11. 774 H - Tafsir AlQuranil Azhim : Ibnu Katsir |
12. 911 H - Jalalain Mahali (864 H) Suyuthi (911 H) |
13. 911 H - Ad-Durr Al-Mantsur : As-Suyuthi |
14. 982 H - Irsyadul'Aqlissalim : Abu As-Su'ud |
15. 1250 H Fathul Qadir : Asy-Syaukani |
16. 1270 H - Ruhul Ma'ani : Al-Alusi |
17. 1393 H - Tahrir wa Tanwir : Ibnu 'Asyur |
18. 1436 H - Tafsir Al-Munir : Dr. Wahbah Az-Zuhaili |
19. 1401 H - Tafsir Al-Azhar : HAMKA |