◀ | Jilid : 5 Juz : 3 | Al-Baqarah : 262 | ▶ |
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لَا يُتْبِعُونَ مَا أَنْفَقُوا مَنًّا وَلَا أَذًى ۙ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Kemenag RI 2019 : Orang-orang yang menginfakkan harta mereka di jalan Allah, kemudian tidak mengiringi apa yang mereka infakkan itu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), bagi mereka pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih.Ayat ke-262 ini tentunya masih merupakan lanjutan yang tidak terpisahkan dari ayat sebelumnya.
Kalau pada ayat sebelumnya mereka yang berinfaq di jalan Allah telah dijanjikan dengan mendapat hasil yang dikali lipat sampai tujuh ratus kali, maka di dalam ayat ini orang-orang yang berinfaq untuk kepetingan perang di jalan Allah juga diberikan pahala khusus dari sisi Allah.
Kemudian kepada mereka diberikan janji bahwa mereka tidak akan merasakan takut dan tidak akan bersedih nanti di hari kiamat.
Penggalan ayat ini benar-benar pengulangan dari ayat sebelumnya, yaitu orang-orang yang telah menginfaqkan hartanya di jalan Allah.
Timbul pertanyaan, apa hikmah di balik pengulangan teks yang nyaris sama persis dengan ayat sebelumnya?
Jawabannya tentu saja adalah karena kemulian kedudukan mereka, sehingga disebut-sebut hingga dua kali. Tidak cukup rasanya kalau hanya disebut dengan sekali saja, harus dua kali disebutkan.
Namun ada juga yang mengatakan ada pengulangan karena objek infaqnya berbeda. Untuk ayat ke-262 ini infaq di jalan Allah adalah membiayai perang bagi orang lain, sedangkan pada ayat sebelumnya yaitu ayat ke-261 adalah berinfaq bagi dirinya sendiri untuk berjihad di jalan Allah.
Lafazh tsumma (ثُمَّ) artinya kemudian. Menarik mengapa Allah SWT tidak menggunakan huruf wawul-‘athaf (وَ) tetapi malah menggunaan tsumma (ثُمَّ). Lantas apa makna di balik pilihan diksi “kemudian”?
Karena mungkin saja ketika berinfaq awalnya masih belum mengungkit dan menyakiti orang yang diberi. Saat itu mungkin saja memberikan infaq secara tulus, bahkan mungkin rahasia. Tetapi beberapa lama kemudian dia menceritakan pemberiannya kepada orang lain yang mengakibatkan yang diberi merasa malu atau tersinggung perasaannya.
Sedangkan lafazh laa yutbi’una (لَا يُتْبِعُونَ) artinya tidak mengikuti, lalu makna maa anfaqu (مَا أَنْفَقُوا) adalah apa-apa yang diinfaqkan. Lafazh manna (مَنًّا) diartikan menyebut-nyebut atau membangkit-bangkitkan. Sedangkan makna adza (أَذًى) menyakiti perasaan yang menerima.
Sebagian mufassir mengatakan bahwa kata al-mannu (المَنُّ) secara bahasa bisa punya dua makna yang berbeda. Pertama, berasal dari kata al-in’am (الإنْعامِ), yaitu memberikan kenikmatan. Kedua, bermakna (النَّقْصُ مِنَ الحَقِّ والبَخْسُ لَهُ) yaitu mengurangi nilai kebenaran dan menyepelekannya. Dasarnya adalah firman Allah SWT berikut ini :
وَإِنَّ لَكَ لَأَجْرًا غَيْرَ مَمْنُونٍ
Dan sesungguhnya engkau akan memperoleh pahala yang tidak terputus." (QS. Al-Qalam: 3)
Maksudnya, tidak terputus dan tidak terlarang. Dari sinilah kematian dalam bahasa Arab disebut al-manun (المَنُوْن) karena mengurangi umur dan memotong alasan. Dan dari sini pula ada kata al-minnah al-mazhmumah (المِنَّة المذْمُومَة) yang tercela, karena mengurangi nikmat dan membuatnya keruh. Orang Arab memuji orang yang meninggalkan "minnah" atas nikmat.
Prof. Dr. Quraish Shihab menjelaskan tentang makna al-mannu (المَنُّ) yaitu menyebut-nyebut nikmat kepada yang diberi serta membanggakannya. Kata ini pada mulanya berarti memotong atau mengurangi. Dalam konteks ayat ini, menyebut-nyebut pemberian dinamai demikian karena ganjaran pemberian itu-dengan menyebut-nyebut-menjadi berkurang atau terpotong dan hubungan baik yang tadinya terjalin dengan pemberian itu terpotong sehingga tidak bersambung lagi.
Sedangkan al-adza (الأذي) menurut Beliau bermakna gangguan. Sebenarnya menyebut-nyebut nikmat pun merupakan gangguan, tetapi kalau kata mann adalah menyebut-nyebutnya di hadapan yang diberi, kata adza adalah menyebut-nyebutnya kepada orang lain sehingga yang diberi merasa malu dan hilang air mukanya.[1]
Kalau melihat syarat infaq yang tidak boleh disertai dengan mengungkit-ungkit serta menyakiti perasaan orang yang diberi infaq, maka kajiannya menjadi kajian masalah movitasi dalam berinfaq dan bukan hanya sekedar fadhilah berinfaq semata.
Dan ini senada dengan ayat lain yang juga menekankan sisi moral dari infaq, yaitu jangan dinodai dengan sikap-sikap sombong, arogan dan menyakiti.
قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَاللَّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ
Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. (QS. Al-Baqarah : 263)
[1] Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : pesan, kesan dan keserasian Al-Quran (Tangerang, PT. Lentera Hati, 2017), jilid 1 hal. 691
Lafazh lahum ajruhum (لَهُمْ أَجْرُهُمْ) artinya : bagi mereka pahala mereka, sedangkan ‘inda rabbihim (عِنْدَ رَبِّهِمْ) artinya : di sisi Tuhan mereka. Maksudnya adalah pemberian Allah SWT nanti di alam akhirat dan bukan di dunia ini. Sehingga keuntungannya memang ada dua, yaitu duniawi dan juga ukhrawi.
Lafazh walaa kahufun (وَلَا خَوْفٌ) artinya : tidak ada ketakukan, sedangkan makna ‘alaihim (عَلَيْهِمْ) artinya : atas mereka.
Lafaz khauf (خوف) berarti kondisi hati tidak tenang terkait dengan perkara di masa datang. Sebagian mufassir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tidak merasa takut adalah bahwa orang-orang beriman tidak akan menyaksikan huru-hara hari kiamat yang amat menakutkan.
Sebagian yang lain mengatakan bahwa mereka tidak merasa takut akan ancaman siksa di akhirat, karena sejak awal sudah mendapatkan kepastian tidak akan diadzab karena keimanan mereka. Dan keadaan ini terkonfirmasi dengan ayat lainnya :
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu". (QS. Fushshilat : 30)
Ibnu Abbas mengomentari ayat ini sebagi berikut :
فَلَا يَضِلُّ فِي الدُّنْيَا وَلَا يَشْقَى فِي الْآخِرَةِ
Mereka itu tidak sesat di dunia dan tidak kesusahan di akhirat.
Kata khauf, khasyyah dan taqwa memiliki kedekatan makna, namun tidak sama. Khasy-yah lebih tinggi tingkatannya dari khauf atau ketakutan yang sangat. Khasyyah adalah rasa takut karena kebesaran dan keagungan sesuatu yang ditokohkan, walaupun yang takut adalah juga yang kuat.
Sedangkan khauf terjadi karena lemahnya mental orang yang takut walaupun yang ditakuti adalah sesuatu yang sepele.
Menurut Ibnul Qayyim, orang yang mengalami khauf, merespon dengan lari dan menjauh dari obyek yang ditakuti, sedangkan orang yang mengalami khasyyah bereaksi dengan pengetahuan dan mendekat kepada obyek takut.
Seperti orang awam dan dokter, reaksi orang awam terhadap penyakit adalah lari dari penyakit, dan reaksi dokter mendekati penyakit dengan penelitian dan percobaan dengan menggunakan obat-obatan.
Lafazh yahzanun (يَحْزَنُونَ) dari akar kata (حَزِنَ - يَحْزَنُ) yang berarti sedih dan lawan dari bahagia. Sedih adalah kondisi hati tidak tenang berkaitan dengan perkara di masa lampau.
Kata khauf atau takut disebut secara beriringan dengan sedih dalam bentuk negatif sebanyak 16 kali, dan kesemuanya menjelaskan keadaan orang-orang mukmin yang beramal saleh di surga. Mereka tidak lagi merasa takut dan sedih seperti yang mereka alami di dunia.
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, bila Allah berjanji menghilangkan perasaan sedih dan takut dari orang sebagai balasan melakukan suatu perbuatan, maka janji ini menunjukkan legalitas perbuatan tersebut yang berkisar antara hukum wajib dan sunnah.
◀ | Al-Baqarah : 262 | ▶ |
TAFSIR KLASIK |
1. 310 H - Jami'ul Bayan : Ibnu Jarir Ath-Thabari |
2. 427 H - Al-Kasy wa Al-Bayan di Tafsir Al-Quran : Ats-Tsa'labi |
3. 450 H - An-Nukat wal 'Uyun : Al-Mawardi |
4. 468 H - At-Tafsir Al-Basith : Al-Wahidi |
5. 516 H - Ma'alim At-Tanzil : Al-Baghawi |
6. 538 H - Al-Kasysyaf : Az-Zamakhsyari |
7. 546 H - Al-Muharrar Al-Wajiz : Ibnu 'Athiyah |
8. 606 H - Mafatihul Ghaib : Fakhrudin Ar-Razi |
9. 681 H - Al-Jami' li-ahkamil Quran : Al-Qurtubi |
10. 745 H - Al-Bahrul Muhith : Abu Hayyan |
11. 774 H - Tafsir AlQuranil Azhim : Ibnu Katsir |
12. 911 H - Jalalain Mahali (864 H) Suyuthi (911 H) |
13. 911 H - Ad-Durr Al-Mantsur : As-Suyuthi |
14. 982 H - Irsyadul'Aqlissalim : Abu As-Su'ud |
15. 1250 H Fathul Qadir : Asy-Syaukani |
16. 1270 H - Ruhul Ma'ani : Al-Alusi |
17. 1393 H - Tahrir wa Tanwir : Ibnu 'Asyur |
18. 1436 H - Tafsir Al-Munir : Dr. Wahbah Az-Zuhaili |
19. 1401 H - Tafsir Al-Azhar : HAMKA |