Terkadang kita menemukan ada pendapat ulama di dalam mazhab A atau B yang menurut pemahaman kita agak tidak sesuai dengan apa yang tertera dalam al-quran atau pun sunnah. Ketika al-Quran bilang A tapi kemudian ulama bilang B, ketika sunnah bilang C tiba-tiba ulama bilang D.
Bagi kita mungkin membingungkan, kok bisa-bisanya ulama meninggalkan al-Quran dan sunnah? Bagaimana mungkin kita mengikuti pendapat ulama yang tidak sejalan dengan al-Quran dan sunnah yang kita pahami? Siapa sebenarnya yang harus kita ikuti, nabi atau ulama?.
Kebingungan yang tergambar dari pertanyaan-pertanyaan di atas sebetulnya tidak akan muncul kalau kita cermati apa yang disampaikan oleh salah seorang ulama kenamaan mazhab hanbali, Ibnu Taimiyah (w. 728 H) di dalam kitab karyanya Raf’ul Malaam ‘an al-A’immah al-A’laam. Mari kita simak perkataan beliau berikut ini:
“Harus diketahui bahwa tidak ada satu pun ulama yang diterima oleh umat Islam secara umum, yang dengan sengaja menyelisihi sunnah Rasulullah ﷺ sedikit atau pun banyak. Karena mereka semua sepakat secara yakin bahwa wajib hukumnya mengikuti Rasulullah ﷺ dan bahwa setiap orang bisa diambil perkataannya atau ditinggalkan kecuali perkataan Rasulullah ﷺ. Akan tetapi jika ada pendapat salah satu ulama yang menyelisihi hadits shahih, maka pasti ada alasan yang dijadikan pertimbangan ketika meninggalkan hadits tersebut.”[1]
Kemudian beliau menuliskan setidaknya ada 10 alasan yang menjadi pertimbangan para ulama ketika memilih untuk tidak mengamalkan suatu hadits. Dari kesepuluh alasan itu, penulis merangkumnya menjadi 2 alasan yang dianggap representatif sebagai berikut:
Pertama, meyakini bahwa hadits yang ditinggalkannya tidak pernah diucapkan oleh Rasulullah ﷺ, hal ini terjadi ketika ulama tersebut menilai bahwa hadits itu dho’if sehingga tidak sah penisbatannya kepada Rasulullah ﷺ meskipun ulama lain menilainya sebagai hadits shahih.
Perbedaan di kalangan muhadditsin dalam menilai keshahihan suatu hadits memang suatu hal yang niscaya, mengingat praktek tersebut adalah hal ijtihadiyyah sebagaimana yang terjadi di kalangan fuqaha ketika melakukan istinbath hukum.
Perbedaan itu dianggap wajar karena dalam menilai keshahihan suatu hadits seringkali melibatkan subjektifitas dari muhaddits itu sendiri seperti ketika menimbang apakah perowinya dianggap tsiqoh atau tidak, tertuduh dusta atau tidak, hafalannya jelek atau tidak dan lain sebagainya.[2]
Kedua, meyakini bahwa hadits yang ditinggalkannya tidak memiliki dalalah terhadap makna yang dimaksud. Ketika hadits dinilai shahih, para ulama tidak kemudian berhenti sampai di situ. Masih ada pertimbangan lain untuk sampai pada kesimpulan hukum.
Pertimbangan itu di antaranya apakah hadits itu sudah memiliki penunjukkan lafadz (dalalah) terhadap makna atau hukum tertentu secara jelas atau tidak. Atau apakah makna lahir dari hadits itu masih mungkin ditakwil atau ditafsirkan dengan makna lain atau tidak. Sederhananya apakah betul maksud dari hadits itu adalah A, atau mungkin B, atau malah C.
Ketika dalalah hadits tersebut dianggap tidak secara tegas dan jelas menunjukkan makna atau hukum yang dimaksud, lalu kemudian dinilai bertentangan dengan ushul sang ulama, misalnya ketika dia menganggap bahwa ‘am makhshush bukan hujjah, atau redaksi perintah an sich (al-amr al-mujarrad) tidak dianggap menunjukkan kewajiban dan sebagainya.
Atau ketika dalalah hadits tersebut bertentangan dengan dalalah hadits yang lain seperti ketika ada pertentangan antara ‘am dan khas, muthlaq dan muqayyad, haqiqah dengan majaz dan lain sebagainya.[3]
Paling tidak dua alasan di atas menjadi celah bagi para ulama untuk tidak mengamalkan suatu hadits, meskipun hadits itu dianggap shahih. Tetapi tentu saja motivasinya bukan karena tidak ingin menjalankan sunnah nabi atau ingin berseberangan dengan sabda nabi.
Justru di sinilah poinnya, bahwa dengan kita mengetahui dan memahami pertimbangan-pertimbangan para ulama ketika tidak mengamalkan hadits, kita diharapkan tidak terjerumus pada perilaku vonis prematur dengan menyematkan istilah ulama anti sunnah, ulama bid’ah dan sebutan-sebutan lainnya.
Melainkan kita yakini bahwa itu semua adalah proses ijtihad di mana ulama bisa salah dan bisa benar. Walaupun demikian mereka tetap mendapatkan pahala di sisi Allah ﷻ atas ijtihad yang dia lakukan. Jangan lantas kita benturkan perkataan nabi dengan perkataan ulama hanya atas dasar pemahaman kita yang tidak seberapa.
Wallahu a’lam
[1] Ibnu Taimiyah, Raf’ al-Malaam ‘an al-Aimmah al-A’laam, hlm. 8
[2] Lihat: Ibnu Taimiyah, Raf’ al-Malaam ‘an al-Aimmah al-A’laam, hlm. 18
[3] Lihat: Ibnu Taimiyah, Raf’ al-Malaam ‘an al-Aimmah al-A’laam, hlm. 30
Berilmu Sebelum Berutang
Muhammad Abdul Wahab, Lc | 27 August 2018, 08:40 | 10.286 views |
Fiqih Pinjam-meminjam
Muhammad Abdul Wahab, Lc | 23 August 2018, 21:49 | 143.519 views |
Qardh dan Dain, Jenis Utang yang Serupa Tapi Tak Sama
Muhammad Abdul Wahab, Lc | 30 August 2017, 11:29 | 17.692 views |
Bolehkah Melebihkan Pembayaran Utang dengan Alasan Inflasi?
Muhammad Abdul Wahab, Lc | 20 August 2017, 23:24 | 15.333 views |
Benarkah Go-Food Haram?
Muhammad Abdul Wahab, Lc | 16 July 2017, 22:27 | 49.348 views |
Ketika Ulama Tidak Mengamalkan Hadits
Muhammad Abdul Wahab, Lc | 26 December 2016, 13:20 | 5.061 views |
Ustadz Sunnah dan Ustadz Tidak Sunnah?
Muhammad Abdul Wahab, Lc | 8 December 2016, 09:00 | 10.146 views |
Bolehkan Berwasiat Untuk Ahli Waris?
Muhammad Abdul Wahab, Lc | 1 May 2015, 15:55 | 30.139 views |
Benarkah Tubuh Wanita Haid Itu Najis?
Muhammad Abdul Wahab, Lc | 16 February 2015, 00:01 | 18.436 views |
Satu Keluarga Meninggal Bersamaan, Bagaimana Cara Pembagian Warisnya?
Muhammad Abdul Wahab, Lc | 25 January 2015, 19:12 | 10.240 views |
Bagian Waris Anak Angkat
Muhammad Abdul Wahab, Lc | 28 November 2014, 17:35 | 8.177 views |
Islamisasi Atau Arabisasi?
Muhammad Abdul Wahab, Lc | 12 April 2014, 08:01 | 11.794 views |
Hadits-hadits Yang Saling Bertentangan
Muhammad Abdul Wahab, Lc | 6 April 2014, 12:00 | 29.949 views |
Ahmad Zarkasih, Lc | 106 tulisan |
Hanif Luthfi, Lc., MA | 66 tulisan |
Muhammad Saiyid Mahadhir, Lc, MA | 57 tulisan |
Ahmad Sarwat, Lc., MA | 48 tulisan |
Isnan Ansory, Lc, MA | 26 tulisan |
Firman Arifandi, Lc., MA | 23 tulisan |
Sutomo Abu Nashr, Lc | 20 tulisan |
Aini Aryani, Lc | 19 tulisan |
Galih Maulana, Lc | 15 tulisan |
Muhammad Abdul Wahab, Lc | 13 tulisan |
Ali Shodiqin, Lc | 13 tulisan |
Isnawati, Lc., MA | 9 tulisan |
Muhammad Ajib, Lc., MA | 9 tulisan |
Siti Chozanah, Lc | 7 tulisan |
Tajun Nashr, Lc | 6 tulisan |
Maharati Marfuah Lc | 5 tulisan |
Faisal Reza | 4 tulisan |
Ridwan Hakim, Lc | 2 tulisan |
Muhammad Aqil Haidar, Lc | 1 tulisan |
Muhammad Amrozi, Lc | 1 tulisan |
Luki Nugroho, Lc | 0 tulisan |
Nur Azizah, Lc | 0 tulisan |
Wildan Jauhari, Lc | 0 tulisan |
Syafri M. Noor, Lc | 0 tulisan |
Ipung Multinigsih, Lc | 0 tulisan |
Solihin, Lc | 0 tulisan |
Teuku Khairul Fazli, Lc | 0 tulisan |
Jadwal Shalat DKI Jakarta20-1-2021Subuh 04:29 | Zhuhur 12:05 | Ashar 15:29 | Maghrib 18:20 | Isya 19:32 | [Lengkap]
|
Rumah Fiqih Indonesiawww.rumahfiqih.comJl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940 Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia Visi Misi | Karakter | Konsultasi | Pelatihan | Materi | Buku | PDF | Ustadz | Mawaris | Video | Quran | Pustaka | Radio | Jadwal Link Terkait : Sekolah Fiqih | Perbandingan Mazhab | img
|