Tweet
Dalam menyampaikan ulang sebuah cerita, kita mungkin tidak begitu memperdulikan dengan cara apa cerita itu kita dapat. Kita tak pernah meributkan apakah sebuah cerita yang sampai kepada kita itu kita dapatkan dengan langung mendengar dari sumber pertamanya, ataukah kita hanya dapat cerita itu dari membaca sebuah tulisan.
Terlebih lagi, kita juga tak ambil pusing bagaimana dan dari mana sebuah cerita itu didapat oleh orang yang bercerita kepada kita, atau dari orang sebelumnya, dari orang sebelumnya dan seterusnya. Termasuk juga dalam menerima hadits Nabi.
Saat ini, ketika kita menerima suatu hadits kita cukup menyebutkan saja di kitab hadits apa sebuah hadits itu kita dapat. Kita memang tak terlalu membedakan antara ‘menceritakan, mengabarkan, mengatakan kepada kami, kami mendengar, saya mendengar, dll’. Tenyata para ulama dahulu membedakannya.
Hal itu berbeda dengan apa yang telah dilakukan para ulama dahulu dalam menerima sebuah informasi hadits. Ternyata ada shighat atau kata-kata khusus yang dipakai oleh para ulama, yang dari situ bisa digali informasi bagaimana seseorang itu mendapatkan kabar dari orang sebelumnya.
Dalam ilmu mushthalah hadits, ternyata para ulama telah mengidentifikasi shighat atau kata-kata khusus yang biasa digunakan dalam penyampaikan sebuah informasi hadits.
Pada tulisan sebelumnya, secara sekilas ada 8 cara dengan masing-masing shighat atau kata-kata khusus yang digunakan para ahli hadits dalam menyampaikan kembali sebuah hadits; seperti: as-sama’ min lafdz as-syaikh, al-qira’ah ‘ala as-syaikh, al-ijazah, al-munawalah, al-kitabah, al-i’lam, al-washiyyah, al-wijadah.
Awalnya dari kedelapan metode diatas, pada periode shahabat hanya yang pertama saja yang digunakan secara umum[1]. Para murid berada di sisi guru, melayaninya dan belajar darinya. Tak lama kemudian, metode yang paling umum digunakan adalah metode satu dan dua. Berikut penjelasan lebih detailnya:
Bentuk: Seorang guru membacakan hadits, sedangkan murid mendengarkannya. Baik guru itu membaca dari kitab ataupun dari hafalannya, baik murid hanya mendengarkan atau mencatatnya juga[2].
Tingkatan: Metode tahammul ini merupakan tingakat pertama dalam urutan tahammul hadits. Inilah pendapat Jumhur Ulama’[3].
Shighat Ada’: Sedangkan shighat yang digunakan dalam menyampaikan sebuah hadits yang didapatkan dengan metode ini adalah:
حدثني، أخبرني، أنبأني، سمعت فلانا يقول، قال لي فلان، ذكر لي فلان
Biasanya untuk meringkas tulisan, para Ulama’ hanya menuliskan (ثنا) untuk (حدثنا), dan (أنا) untuk (أخبرنا)[6].
Bentuk: Seorang murid membaca hadits dan guru mendengarkannya. Baik seorang murid itu membacanya sendiri atau orang lain yang membaca dan dia mendengarkan, baik membacanya dari tulisan ataupun dari hafalan. Begitu juga guru itu mengikuti bacaan murid dari hafalannya atau dia memegang sebuah kitab atau orang lain yang tsiqah[7].
Hukum Riwayat: Meriwayatkan hadits dengan metode ini adalah shahih dan bisa diterima.
Tingkatan: Ulama’ berbeda pendapat tentang tingkatan metode ini dalam tiga pendapat:
Imam Malik memberikan alasan bahwa, jika saja seorang guru salah atau lupa dalam menyampaikan suatu hadits, maka murid tidak bisa membetulkannya. Ada kalanya memang murid tersebut belum mengetahui haditsnya, atau karena keagungan gurunya, jadi murid enggan untuk mengoreksi.
Berbeda jika murid membacakan hadits di depan gurunya, maka gurunya akan bisa tahu jika murid lupa atau salah dalam membaca hadits[10].
Shighat Ada’:
Ulama’ tidak membolehkan mengganti shighat (أخبرنا) dengan (حدثنا) atau sebaliknya dalam kitab-kitab yang sudah ditulis[11].
Nampaknya, metode ‘ardh ini merupakan praktik yang paling umum sejak awal abad kedua[12]. Dalam praktik ini, salinan-salinan diberikan oleh guru sendiri, karena banyak dari mereka memiliki juru tulis (katib atau warraq) sendiri, atau merupakan milik murid yang menyalinnya lebih dahulu dari kitab asli.
Arti kata Ijazah dalam terminologi hadits adalah memberikan izin, baik dalam tulisan maupun hanya lafadz saja kepada seseorang untuk menyampaikan hadits atau kitab berdasarkan otoritas Ulama’ yang memberikan izin.
Ijazah ini bisa dengan musyafahah antara guru dan murid, atau pemberian izin dari guru dalam bentuk tulisan, baik murid ada atau tidak ada di depan guru[13].
Bentuk: Seorang guru berkata kepada muridnya, (أَجَزْتُ لك أن تروي عني صحيح البخاري), saya memberi ijin untukmu meriwayatkan dariku kitab Shahih Bukhari.
Macam-Macam Ijazah dan Hukumnya:
Ada beberapa macam Ijazah, tapi Ijazah yang diterima riwayatnya dan dipakai oleh Kebanyakan Ulama’ adalah jika Ijazah itu dari seorang guru kepada murid yang tertentu atas sesuatu yang tertentu pula. Misalnya: Saya mengijazahkan kepadamu kitab Shahih Bukhari.
Menurut imam Malik dan beberapa Ulama’, Ijazah seperti ini derajatnya sama dengan as-Sama’[14]. Disebutkan dalam kitab al-Ilma’[15] oleh al-Qadhi Iyadz (w. 544 H), sebuah riwayat sampai kepada Imam Malik bin Anas:
أخبرنا أبو طاهر الأصبهاني مكاتبة قال حدثنى أبو الحسين الطيورى أخبرنا أبو الحسن الفالى أخبرنا ابن خربان أخبرنا ابن خلاد أخبرنا أبو جعفر أحمد بن إسحاق بن بهلول أخبرنا إسماعيل بن إسحاق سمعت إسماعيل بن أبى أويس يقول سألت مالكا عن أصح السماع فقال قراءتك على العالم أو قال المحدث ثم قراءة المحدث عليك ثم أن يدفع إليك كتابه فيقول أرو عنى هذا.
Adapun Ijazah yang lain, misalnya Ijazah kepada orang yang tak tertentu, atau atas sesuatu yang tidak tertentu pula, misalnya: Seorang guru berkata, Aku mengijazahkan hafalanku, aku mengijazahkan kepada semua orang yang hidup di zamanku, maka para Ulama’ tidak mengambil riwayat dari hal tersebut. Meskipun ada pula yang membolehkan mengambil riwayat dari Ijazah seperti itu, tetapi pendapat ini adalah pendapat yang lemah.
Shighat Ada’:
al-Munawalah disini maksudnya adalah menyerahkan kepada seseorang bahan tertulis untuk diriwayatkan.
Bentuk: al-Munawalah terbagi menjadi dua:
Inilah bentuk Ijazah tertinggi, dimana seorang guru memberikan kitab kepada muridnya disertai izin untuk meriwayatkannya. Sebagaimana guru berkata kepada muridnya, Kitab ini saya meriwayatkannya dari guru saya, maka sekarang riawayatkanlah dari saya. Setelah itu, kitab menjadi milik murid atau guru hanya meminjamkan saja kitabnya untuk disalin[16].
Bentuknya adalah seorang guru memberikan kitab kepada muridnya. Hukum meriwayatkan hadits dengan al-Munawalah yang tidak disertai ijazah ini adalah tidak diterima, menurut pendapat yang shahih. Sedangkan al-munawalah yang disertai ijazah adalah diterima, dia berada dibawah as-Sama’ dan al-Qira’ah ala as-Syeikh.
Shighat ada’:
Bersambung ke:
Footnote:
[1] M. M. Azami, Ma, Ph.D, Memahami Ilmu Hadits, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2003), hal. 45
[2] Al-Qadhi Iyadh Abu al-Fadhl Iyadh bin Amrun bin Musa bin Iyadh as-Sibti al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, (Kairo: Dar at-Turats, 1970 M, tahqiq As-Sayyid Ahmad Shaqr, hal. 68
[3] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal. 69, Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, juz 2, hal. 8
[4] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 159
[5] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 159
[6] M. M. Azami, Ma, Ph.D, Memahami Ilmu Hadits, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2003), hal. 53
[7] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, juz 2, hal. 12
[8] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal. 71
[9] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 180
[10] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal. 74
[11] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, juz 2, hal. 22
[12] M. M. Azami, Ma, Ph.D, Memahami Ilmu Hadits, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2003), hal. 53
[13] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal. 88
[14] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal. 79
[15] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal. 88
[16] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 162
total 1820002 views
Jadwal Shalat DKI Jakarta6-12-2019Subuh 04:06 | Zhuhur 11:45 | Ashar 15:12 | Maghrib 18:02 | Isya 19:15 | [Lengkap]
|
Rumah Fiqih Indonesiawww.rumahfiqih.comJl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940 Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia Visi Misi | Karakter | Konsultasi | Pelatihan | Jadwal | Materi | Buku | PDF | Ustadz | Mawaris | Video | Quran | Radio | Jadwal Link Terkait : Sekolah Fiqih | Perbandingan Mazhab | img
|