Kondisi hamil dan menyusui merupakan kondisi yang cukup berat dan melelahkan bagi wanita. Dalam surah Luqman ayat 14, Allah menceritakan hal tersebut:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14)
Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu . (QS.Luqman: 14)
Karena kondisi hamil dan menyusui yang berat ini, Allah meskipun tidak menyebutkan langsung dalam Al-Qur’an bahwa mereka mendapat keringanan puasa, tapi di dalam hadisnya rasulullah menyebutkankan:
«إن الله عز وجل وضع عن المسافر الصوم وشطر الصلاة، وعن الحبلى والمرضع الصوم»
Sesungguhnya Allah memberikan keringanan bagi orang musafir berpuasa dan shalat, dan bagi wanita hamil dan menyusui berpuasa. (HR. Ahmad)
Berdasarkan hadis di atas para ulama fiqih semuanya sepakat bagi wanita hamil ataupun menyusui yang kesulitan atau berat untuk berpuasa, boleh berbuka atau tidak puasa Ramadhan. Tapi ada kewajiban yang dibebankan kepada mereka, sebagai ganti dari puasa yang mereka tinggalkan. Dan dalam kewajiban apa yang harus dilakukanbagi wanita hamil dan menyusui ini nantinya mereka berbeda pendapat. Ada yang mewajibkan qadha saja, ada juga yang mewajibkan fidyah.
Wahbah Az-Zuhaili dalam bukunya Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh menyebutkan:[1]
الحمل والرضاع: يباح للحامل والمرضع الإفطار إذا خافتا على أنفسهما أو على الولد، سواء أكان الولد ولد المرضعة أم لا، أي نسباً أو رضاعاً، وسواء أكانت أماً أم مستأجرة، وكان الخوف نقصان العقل أو الهلاك أو المرض، والخوف المعتبر: ما كان مستنداً لغلبة الظن بتجربة سابقة، أو إخبار طبيب مسلم حاذق عدل
ودليل الجواز لهما: القياس على المريض والمسافر، وقوله صلّى الله عليه وسلم: «إن الله عز وجل وضع عن المسافر الصوم وشطر الصلاة، وعن الحبلى والمرضع الصوم» (1) ويحرم الصوم إن خافت الحامل أوالمرضع على نفسها أو ولدها الهلاك.
وإذا أفطرتا وجب القضاء دون الفدية عند الحنفية، ومع الفدية إن خافتا على ولدهما فقط عند الشافعية والحنابلة، ومع الفدية على المرضع فقط لا الحامل عند المالكية
Dibolehkan bagi wanita hamil dan meyusui tidak berpuasa; kalau dia khawatir kondisinya akan lemah atau kondisi bayinya. Terlepas apakah bayi yang disusui anak kandungnya sendiri ataukah anak susuannya. Apakah dia ibu kandung atau ibu susuan.
Kekhawatirannya berdasarkan pengalaman yang ada, dari diagnosa dokter terpercaya, yang menyatakan besar kemungkinan puasanya menyebabkan kelemahan akal, atau akan membawa kepada kebinasaan (kematian) atau sakit.
Dan dalil yang membolehkan bagi keduanya untuk tidak berpuasa adalah qiyas. Mereka diqiyaskan kepada orang yang sakit dan musafir. Serta hadis nabi SAW:
«إن الله عز وجل وضع عن المسافر الصوم وشطر الصلاة، وعن الحبلى والمرضع الصوم»
Sesungguhnya Allah memberikan keringanan bagi orang musafir berpuasa dan shalat, dan bagi wanita hamil dan menyusui berpuasa. (HR. Ahmad dan ashhabu sunan)
Dan puasa terkadang menjadi haram bagi wanita hamil dan menyusui jika dikhawatirkan puasa tersebut dapat menyebabkan kematian bagi sang ibu atau anaknya.
Jika keduanya berbuka atau tidak berpuasa, konsekuensinya adalah wajib qadha (mengganti puasanya di hari yang lain) menurut madzhab Hanafi, serta membayar fidyah juga kalau meninggalkan puasa karena semata-mata mengkhawatirkan kondisi bayinya menurut madzhab Asy-Syafi'i dan Hambali. Adapun menurut madzhab Maliki beserta fidyah bagi wanita menyusui, bukan wanita hamil.
Dan untuk lebih jelasnya berikut pendapat-pendapat ulama empat madzhab mengenai kewajiban tersebut.
A. Madzhab Hanafi
As-Sarakhsi (w.483H) salah seorang ulama Hanafiyah menyebutkan:
وإذا خافت الحامل، أو المرضع على نفسها أو ولدها أفطرت لقوله - صلى الله عليه وسلم - «إن الله تعالى وضع عن المسافر شطر الصلاة والصوم وعن الحامل والمرضع الصوم»؛ ولأنه يلحقها الحرج في نفسها أو ولدها، والحرج عذر في الفطر كالمريض والمسافر، وعليها القضاء ولا كفارة عليها
Ketika wanita hamil atau menyusui dia khawatir terhadap kondisi dirinya atau anaknya, maka boleh tidak berpuasa, sebagaimana hadis nabi Sesungguhnya Allah memberikan keringanan bagi orang musafir berpuasa dan shalat, dan bagi wanita hamil dan menyusui berpuasa.Karena kesulitan yang menimpa dirinya, maka kesulitan ini merupakan suatu udzur untuk tidak berpuasa, seperti halnya orang sakit dan musafir. Dan bagi si wanita ini hanya diwajibkan qadha saja tanpa fidyah. [2]
Menjadi pendapat resmi madzhab Hanafi, tidak diwajibkan bagi wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa, kecuali qadha saja.
B. Madzhab Maliki
Imam Malik (w.179H) yang merupakan pendiri madzhab Maliki, beliau menyebutkan dalam kitabnya Al-Mudawanah:
وَقَالَ مَالِكٌ : وإنْ كَانَ صَبِيُّهَا يَقْبَلُ غَيْرَ أُمِّهِ مِنْ الْمَرَاضِعِ وَكَانَتْ تَقْدِرُ عَلَى أَنْ تَسْتَأْجِرَ لَهُ أَوْ لَهُ مَالٌ تَسْتَأْجِرُ لَهُ بِهِ فَلْتَصُمْ وَلْتَسْتَأْجِرْ لَهُ، وَإِنْ كَانَ لَا يَقْبَلُ غَيْرَ أُمِّهِ فَلْتُفْطِرْ وَلْتَقْضِ وَلْتُطْعِمْ مِنْ كُلِّ يَوْمٍ أَفْطَرَتْهُ مُدًّا لِكُلِّ مِسْكِينٍ، وَقَالَ مَالِكٌ فِي الْحَامِلِ: لَا إطْعَامَ عَلَيْهَا وَلَكِنْ إذَا صَحَّتْ قَوِيَتْ قَضَتْ مَا أَفْطَرَتْ.
Jika bayi seorang wanita bisa menerima ASI dari selain ibunya, dan ibunya juga mampu menyewakan ibu susuan untuk sang anak, maka bagi ibu ini harus berpuasa dan menyewakan ibu susuan bagi bayinya. Tapi kalau sang anak justru tidak mau menerima ASI selain dari ibunya, maka sang ibu boleh berbuka, dimana dia harus mengqadha dan membayar fidyah dari setiap hari yang dia tidak berpuasa, yaitu satu mud untuk orang setiap orang miskin. Kemudian imam Malik menyebutkan: bagi wanita hamil tidak wajib membayar fidyah. Kalau dia telah sehat dan kuat, dia hanya wajib mengqadha puasa yang dia tinggalkan. [3]
Dalam Al-Mudawanah juga dijelaskan kenapa antara wanita hamil dan menyusui dibedakan dalam hal membayar fidyah. Hal tersebut karena wanita yang hamil dianggap sebagai wanita yang sakit, sedangkan wanita yang menyusui sebenarnya tidak lemah atau sakit seperti wanita hamil. Itu alasan mereka. Kemudian kenapa fidyah diwajibkan, karena alasan meninggalkan puasa adalah karena kondisi bayi yang mengharuskan ibunya berbuka, bukan karena fisik ibu yang tidak kuat berpuasa. [4]
C. Madzhab Asy-Syafi’i
An-Nawawi (w. 676 H) dalam kitab beliau Al-Majmu’ menyebutkan:
قَالَ أَصْحَابُنَا: الْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ إنْ خَافَتَا مِنْ الصَّوْمِ عَلَى أَنْفُسِهِمَا أَفْطَرَتَا وَقَضَتَا وَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهِمَا كَالْمَرِيضِ وَهَذَا كُلُّهُ لَا خِلَافَ فِيهِ وَإِنْ خَافَتَا عَلَى أَنْفُسِهِمَا وَوَلَدَيْهِمَا فَكَذَلِكَ بِلَا خِلَافٍ صَرَّحَ بِهِ الدَّارِمِيُّ وَالسَّرَخْسِيُّ وَغَيْرُهُمَا وَإِنْ خَافَتَا عَلَى وَلَدَيْهِمَا لَا عَلَى أَنْفُسِهِمَا أَفْطَرَتَا وَقَضَتَا بِلَا خِلَافٍ وَفِي الْفِدْيَةِ هَذِهِ الْأَقْوَالُ الَّتِي ذَكَرَهَا الْمُصَنِّفُ (أَصَحُّهَا) بِاتِّفَاقِ الْأَصْحَاب
Menurut para ulama kami, wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir terhadap kondisi fisik mereka dengan berpuasa, keduanya dapat berbuka dan mengqadha puansanya, tanpa membayar fidyah. Seperti halnya orang sakit. Dalam hal ini tidak terjadi khilaf. Begitu juga dia yang mengkhawatirkan kondisi fisiknya serta bayinya seperti yang dijelaskan oleh Ad-Darimi dan As-Sarakhsi dan selain keduanya. Adapun wanita yang khawatir terhadap bayinya, bukan fisik dianya, maka ketika dia tidak berpuasa, dia wajib mengqadha dan fidyah berdasarkan pendapat yang paling shahih yang disepakati oleh ulama (syafi’iyah). [5]
D. Madzhab Hambali
Ibnu Qudamah (w.620 H) dalam kitabnya Al-Mughni menyebutkan:
(والحامل إذا خافت على جنينها، والمرضع على ولدها، أفطرتا، وقضتا، وأطعمتا عن كل يوم مسكينا) وجملة ذلك أن الحامل والمرضع، إذا خافتا على أنفسهما، فلهما الفطر، وعليهما القضاء فحسب.
Bagi wanita hamil ketika mengkhawatirkan kondisi janinnya, ataupun wanita menyusui yang mengkhawatirkan kondisi bayinya, jika tidak berpuasa, wajib mengqadha dan membayar fidyah untuk orang miskin dari setiap hari yang ditinggalkan. Secara umum wanita hamil dan menyusui kalau keduanya mengkhawatirkan kondisi diri mereka, maka bagi keduanya boleh tidak puasa, dan cukup bagi keduanya mengqadhanya saja.[6]
Dari pendapat-pendapat di atas. Jika mau dipetakan sebagai berikut:
Ibu Hamil dan Meyusui: Qadha atau Fidyah?
Jenis Ibu |
Ibu Lemah |
Anak lemah |
Qadha |
Fidyah |
Madzhab |
Hamil |
Yes |
Yes |
Yes |
No |
Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali |
Yes |
No |
Yes |
No |
Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali |
|
No |
Yes |
Yes |
Yes |
Syafi’i, Hambali |
|
Menyusui |
Yes |
Yes |
Yes |
No |
Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hmabali |
Yes |
No |
Yes |
No |
Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali |
|
No |
Yes |
Yes |
Yes |
Maliki, Syafi’I, Hambali |
Wallahua’lam.
[1] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh, Jilid.3, hal 1700,1701.
[2] As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, jilid 3, hal 99.
[3] Malik, Al-Mudawanah, jilid 1, hal 278
[4] Malik, Al-Mudawanah, jilid 1, hal 279
[5] An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, jilid 6, hal 267
[6] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 3, hal 149
Perbedaan Jual Beli Salam dan Ishtishna
Isnawati, Lc., MA | 16 March 2018, 12:08 | 97.576 views |
Bolehkah Aqiqah dengan Sapi?
Isnawati, Lc., MA | 26 August 2017, 14:35 | 26.162 views |
Bolehkah Qurban untuk Orang Tua yang Sudah Wafat?
Isnawati, Lc., MA | 24 August 2017, 03:35 | 19.903 views |
Apakah Dalil Adalah Nash Al-Quran dan Hadis?
Isnawati, Lc., MA | 22 July 2017, 11:57 | 19.230 views |
Konsekuensi Bagi Ibu Hamil dan Menyusui yang meninggalkan Puasa, Qadha atau Fidyah?
Isnawati, Lc., MA | 29 May 2017, 17:10 | 13.914 views |
Hukum Wanita Hadir Shalat Berjamaah di Masjid Menurut Ulama Empat Madzhab
Isnawati, Lc., MA | 19 May 2017, 05:18 | 72.506 views |
Haruskah Niat Puasa dengan Redaksi Khusus
Isnawati, Lc., MA | 18 May 2017, 13:23 | 6.419 views |
Bisakah Hafalan Al-Quran Dijadikan Mahar?
Isnawati, Lc., MA | 24 December 2016, 05:08 | 11.605 views |
Benarkah Madzhab Maliki Membolehkan Wanita Haidh Membaca Al-Quran?
Isnawati, Lc., MA | 6 December 2016, 11:05 | 16.881 views |
Ahmad Zarkasih, Lc | 106 tulisan |
Hanif Luthfi, Lc., MA | 69 tulisan |
Muhammad Saiyid Mahadhir, Lc, MA | 57 tulisan |
Ahmad Sarwat, Lc., MA | 48 tulisan |
Isnan Ansory, Lc, MA | 26 tulisan |
Firman Arifandi, Lc., MA | 23 tulisan |
Sutomo Abu Nashr, Lc | 20 tulisan |
Aini Aryani, Lc | 19 tulisan |
Galih Maulana, Lc | 15 tulisan |
Muhammad Abdul Wahab, Lc | 13 tulisan |
Ali Shodiqin, Lc | 13 tulisan |
Isnawati, Lc., MA | 9 tulisan |
Muhammad Ajib, Lc., MA | 9 tulisan |
Siti Chozanah, Lc | 7 tulisan |
Tajun Nashr, Lc | 6 tulisan |
Maharati Marfuah Lc | 5 tulisan |
Faisal Reza | 4 tulisan |
Ridwan Hakim, Lc | 2 tulisan |
Muhammad Aqil Haidar, Lc | 1 tulisan |
Muhammad Amrozi, Lc | 1 tulisan |
Muhammad Alfatih Mubarok | 1 tulisan |
Luki Nugroho, Lc | 0 tulisan |
Nur Azizah, Lc | 0 tulisan |
Wildan Jauhari, Lc | 0 tulisan |
Syafri M. Noor, Lc | 0 tulisan |
Ipung Multinigsih, Lc | 0 tulisan |
Teuku Khairul Fazli, Lc | 0 tulisan |
Jadwal Shalat DKI Jakarta29-5-2023Subuh 04:35 | Zhuhur 11:52 | Ashar 15:14 | Maghrib 17:47 | Isya 18:59 | [Lengkap]
|
Rumah Fiqih Indonesiawww.rumahfiqih.comJl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940 Copyright © by Rumah Fiqih Indonesia Visi Misi | Karakter | Konsultasi | Pelatihan | Buku | PDF | Quran | Pustaka | Jadwal | Sekolah Fiqih
|