![]() |
USTADZ MENJAWAB1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | CariRingkas | Rinci |
Tingkatan dan Jenis Hadits |
PERTANYAAN Assalamu'alaykum wrwb Pak ust sarwat, saya adalah pembaca setia Eramuslim sejak lama, khususnya untuk rubrik Ustadz Menjawab. Saya sangat terkesan dengan jawaban-jawaban ustadz yang sangat berimbang dari sisi penyajiannya, terutama menyangkut dengan pertanyaan seputar khilafiyah. Sementara banyak kita lihat ustadz-ustadz lain yang cendrung menjelaskan menurut pendapat ulama atau kelompoknya saja, tanpa mau melihat pendapat ulama lainnya. Selamat buat ustadz, semoga dakwah Anda melalui situs initetap terus exist dan diberkahi Allah, amin. Pertanyaan saya adalah mohon pak ustd jelaskan dan urutkan tingkatan dan jenis-jenis hadist yang ada. Terimakasih atas perhatiannya Wassalamu'alaikum wrwb |
JAWABAN Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Terima kasih atas dukungan moril dari anda sebagai pembaca setia Eramuslim dan penghargaan kepada kami. Tentu saja apa yang bisa kami sajikan bukan berarti selalu yang terbaik, sebab di sana sini tentu masih banyak kekurangan dan kelemahan. Tentang permintaan Anda masalah pembagian hadits, sebenarnya para ulama hadits memang telah membagi-bagi hadits berdasarkan banyak kriteria. Ada yang berdasarkan jumlah perawi, ada juga yang berdasarkan kekuatan dan kelemahan periwayatan. Dan masih banyak kriteria pembagian lainnya. Tapi yang paling terkait dengan pertanyaan anda barangkali adalah pembagian hadits berdasarkan kekuatan dan kelemahan periwayatanya. Maka izinkanlah kami sedikit terangkan masalah ini secara singkat dan sederhana. Klasifikasi Hadits berdasarkan pada Kuat Lemahnya Berita Berdasarkan pada kuat lemahnya hadits tersebut dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu hadits maqbul (diterima) dan mardud (tertolak). Hadits yang diterima terbagi menjadi dua, yaitu hadits yang shahih dan hasan. Sedangkan yang tertolak disebut juga dengan dhaif. 1. Hadits Yang Diterima (Maqbul) Hadits yang diterima dibagi menjadi 2 (dua): 1. 1. Hadits Shahih 1. 1. 1. Definisi: Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar, yang dimaksud dengan hadits shahih adalah adalah: Hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak janggal. Dalam kitab Muqaddimah At-Thariqah Al-Muhammadiyah disebutkan bahwa definisi hadits shahih itu adalah: Hadits yang lafadznya selamat dari keburukan susunan dan maknanya selamat dari menyalahi ayat Quran. 1. 1. 2. Syarat-Syarat Hadits Shahih: Untuk bisa dikatakan sebagai hadits shahih, maka sebuah hadits haruslah memenuhi kriteria berikut ini:
1. 2. Hadits Hasan 1.2.1. Definisi Secara bahasa, Hasan adalah sifat yang bermakna indah. Sedangkansecara istilah, para ulama mempunyai pendapat tersendiri seperti yang disebutkan berikut ini: Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar menuliskan tentang definisi hadits Hasan: Hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang muttashil (bersambung-sambung sanadnya), yang musnad jalan datangnya sampai kepada nabi SAW dan yang tidak cacat dan tidak punya keganjilan. At-Tirmizy dalam Al-Ilal menyebutkan tentang pengertian hadits hasan: Hadits yang selamat dari syuadzudz dan dari orang yang tertuduh dusta dan diriwayatkan seperti itu dalam banyak jalan. Al-Khattabi menyebutkan tentang pengertian hadits hasan: Hadits yang orang-orangnya dikenal, terkenal makhrajnya dan dikenal para perawinya. Yang dimaksud dengan makhraj adalah dikenal tempat di mana dia meriwayatkan hadits itu. Seperti Qatadah buat penduduk Bashrah, Abu Ishaq as-Suba'i dalam kalangan ulama Kufah dan Atha' bagi penduduk kalangan Makkah. Jumhur ulama: Hadits yang dinukilkan oleh seorang yang adil (tapi) tidak begitu kuat ingatannya, bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan matannya. Maka bisa disimpulkan bahwa hadits hasan adalah hadits yang pada sanadnya tiada terdapat orang yang tertuduh dusta, tiada terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya. 1.2.2. Klasifikasi Hadits Hasan Hasan Lidzatih Yaitu hadits hasan yang telah memenuhi syarat-syaratnya. Atau hadits yang bersambung-sambung sanadnya dengan orang yang adil yang kurang kuat hafalannya dan tidak terdapat padanya sydzudz dan illat. Di antara contoh hadits ini adalah: Seandainya aku tidak memberatkan umatku, maka pasti aku perintahkan untuk menggosok gigi setiap waktu shalat Hadits Hasan lighairih Yaitu hadits hasan yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur (tak nyata keahliannya), bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikan fasik dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain. Di antara contoh hadits ini adalah hadits tentang Nabi SAW membolehkan wanita menerima mahar berupa sepasang sandal: "Apakah kamu rela menyerahkan diri dan hartamu dengan hanya sepasang sandal ini?" Perempuan itu menjawab, "Ya." Maka nabi SAW pun membolehkannya.Hadits ini asalnya dhaif (lemah), karena diriwayatkan oleh Turmuzy dari 'Ashim bin Ubaidillah dari Abdullah bin Amr. As-Suyuti mengatakan bahwa 'Ashim ini dhaif lantaran lemah hafalannya. Namun karena ada jalur lain yang lebih kuat, maka posisi hadits ini menjadi hasan li ghairihi. Kedudukan Hadits Hasan adalah berdasarkan tinggi rendahnya ketsiqahan dan keadilan para rawinya, yang paling tinggi kedudukannya ialah yang bersanad ahsanu’l-asanid. Hadits Shahih dan Hadits Hasan ini diterima oleh para ulama untuk menetapkan hukum (Hadits Makbul). Hadits Hasan Naik Derajat Menjadi Shahih Bila sebuah hadits hasan li dzatihi diriwayatkan lagi dari jalan yang lain yang kuat keadaannya, naiklah dia dari derajat hasan li dzatihi kepada derajat shahih. Karena kekurangan yang terdapat pada sanad pertama, yaitu kurang kuat hafalan perawinya telah hilang dengan ada sanad yang lain yang lebih kuat, atau dengan ada beberapa sanad lain. * * * 2. Hadits Mardud (Tertolak) Setelah kita bicara hadits maqbul yang di dalamnya adahadits shahih dan hasan, sekarang kita bicara tentang kelompok yang kedua, yaitu hadits yang tertolak. Hadits yang tertolak adalah hadits yang dhaif dan juga hadits palsu. Sebenarnya hadits palsu bukan termasuk hadits, hanya sebagian orang yang bodoh dan awam yang memasukkannya ke dalam hadits. Sedangkan hadits dhaif memang benar sebuah hadits, hanya saja karena satu sebab tertentu, hadis dhaif menjadi tertolak untuk dijadikan landasan aqidah dan syariah. 2.1 Definisi: Hadits Dhaif merupakan hadits Mardud yaitu hadits yang tidak diterima oleh para ulama hadits untuk dijadikan dasar hukum. 2.2. Penyebab Tertolak Ada beberapa alasan yang menyebabkan tertolaknya Hadits Dhaif, yaitu: 2.2.1 Adanya Kekurangan pada Perawinya Baik tentang keadilan maupun hafalannya, misalnya karena:
2.2.2. Karena Sanadnya Tidak Bersambung
2. 2. 3. Karena Matan (Isi Teks) Yang Bermasalah Selain karena dua hal di atas, kedhaifan suatu hadits bisa juga terjadi karena kelemahan pada matan. Hadits Dhaif yang disebabkan suatu sifat pada matan ialah hadits Mauquf dan Maqthu’ Oleh karenanya para ulama melarang menyampaikan hadits dhaif tanpa menjelaskan sanadnya. Adapun kalau dengan sanadnya, mereka tidak mengingkarinya 2.3. Hukum Mengamalkan Hadits Dhaif Segenap ulama sepakat bahwa hadits yang lemah sanadnya (dhaif) untuk masalah aqidah dan hukum halal dan haram adalah terlarang. Demikian juga dengan hukum jual beli, hukum akad nikah, hukum thalaq dan lain-lain. Tetapi mereka berselisih faham tentang mempergunakan hadits dha'if untuk menerangkan keutamaan amal, yang sering diistilahkan dengan fadhailul a'mal, yaitu untuk targhib atau memberi semangat menggembirakan pelakunya atau tarhib (menakutkan pelanggarnya). Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim menetapkan bahwa bila hadits dha'if tidak bisa digunakan meski hanya untuk masalah keutamaan amal. Demikian juga para pengikut Daud Azh-Zhahiri serta Abu Bakar Ibnul Arabi Al-Maliki. Tidak boleh siapapun dengan tujuan apapun menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah SAW, sementara derajat periwayatannya lemah. Ketegasan sikap kalangan ini berangkat dari karakter dan peran mereka sebagai orang-orang yang berkonsentrasi pada keshahihan suatu hadits. Imam Al-Bukhari dan Muslim memang menjadi maskot masalah keshahihan suatu riwayat hadits. Kitab shahih karya mereka masing-masing adalah kitab tershahih kedua dan ketiga di permukaan muka bumi setelah Al-Quran Al-Kariem. Senjata utama mereka yang paling sering dinampakkan adalah hadits dari Rasulullah SAW: Siapa yang menceritakan sesuatu hal dari padaku padahal dia tahu bahwa hadits itu haditsku, maka orang itu salah seorang pendusta. (HR Bukhari Muslim) Sedangkan Al-Imam An-Nawawi rahimahulah di dalam kitab Al-Adzkar mengatakan bahwa para ulama hadits dan para fuqaha membolehkan kita mempergunakan hadits yang dhaif untuk memberikan targhib atau tarhib dalam beramal, selama hadits itu belum sampai kepada derajat maudhu' (palsu). Namun pernyataan beliau ini seringkali dipahami secara salah kaprah. Banyak yang menyangka bahwa maksud pernyataan Imam An-Nawawi itu membolehkan kita memakai hadits dhaif untuk menetapkan suatu amal yang hukumnya sunnah. Padahal yang benar adalah masalah keutamaan suatu amal ibadah. Jadi kita tetap tidak boleh menetapkan sebuah ibadah yang bersifat sunnah hanya dengan menggunakan hadits yang dhaif, melainkan kita boleh menggunakan hadits dha'if untuk menggambarkan bahwa suatu amal itu berpahala besar. Sedangkan setiap amal sunnah, tetap harus didasari dengan hadits yang kuat. Lagi pula, kalau pun sebuah hadits itu boleh digunakan untuk memberi semangat dalam beramal, maka ada beberapa syarat yang juga harus terpenuhi, antara lain:
Demikian sekelumit informasi singkat tentang pembagian hadits, dilihat dari sudut apakah hadits itu bisa diterima ataukah hadits itu tertolak. Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc |
1. Aqidah |
2. Al-Quran |
3. Hadits |
4. Ushul Fiqih |
5. Thaharah |
6. Shalat |
7. Zakat |
8. Puasa |
9. Haji |
10. Muamalat |
11. Pernikahan |
12. Mawaris |
13. Kuliner |
14. Qurban Aqiqah |
15. Negara |
16. Kontemporer |
17. Wanita |
18. Dakwah |
19. Jinayat |
20. Umum |