![]() |
USTADZ MENJAWAB1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | CariRingkas | Rinci |
Qiyas dan Mazhab VS Hadits Shahih |
PERTANYAAN Assalamualaikum, Wr. Wb. Ustadz Ahmad, Rohimakumullah. Baru-baru ini ana menghadiri taklim mingguan di madjid kita di perumahan. Setelah menyimak apa yang disampaikan oleh guru atau penceramah waktu itu, ada sedikit pertanyaan/permasalahan yang mengganjal dalam hati ana. 1. Apa memang benar ada hadist Nabi, SAW yang melarang para ulama "ulama mazhab" untuk mengkiaskan suatu perkara dalam mentukan hukum syariah, sebagai mana disampaikan oleh seorang ustadz "A" dalam tasiahnya tersebut, Beliau mengutip hadist Nabi SAW, yang artinya kira-kira " Janganlah kalian mengiaskan suatu perkara dalam Islam, karena kias itu hanyalah bangkai", bagaimana ustadz?? 2. Beliau, ustadz tersebut juga melarang kita mengikuti ijtihad para ulama "termasuk ulama mazhab", sepanjang masih kita temukan hadits shoheh dalam perkara tesebut. Dengan alasan para Imam mazhab selalu mengatakan "apabila ada hadits shoheh itulah mazhabku, tinggalkan pendapatku." Ana jadi tambah bingung ustadz. Bukankah yang menyimpulkan suatu hadist itu shoheh atau dhoif adalah para ulama hadist yang merupakan hasil ijtihad mereka RA? Bagai menyikapinyaustadz?? Terimakasih. Wassalamualikum, Wr. Wb. |
JAWABAN
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Menarik sekali persoalan yang anda angkat ini dan memang sepanjang sejarah seolah telah menjadi bahan polemik berkepanjangan, antara 'kubu' ahli hadits dan 'kubu' ahli fiqih. Padahal sebenarnya kalau kita dudukkan secara seksama permasalahannya, tidak ada yang perlu diributkan. Metodologi Qiyas Qiyas adalah satu di antara empat sumber pengambilan hukum Islam yang telah disepakati oleh seluruh lapisan ulama sepanjang zaman. Dan qiyas ini juga diakui dan digunakan oleh para tokoh muhadditsin yang besar. Tidak ada satu pun ulama fiqih atau pun ulama hadits yang menentang kedudukan qiyas dalam agama, kecuali orang-orang zindiq atau musuh-musuh Islam. Atau kemungkinan besar yang terjadi hanyalah sekedar kesalahan dalam memahami istilah qiyas. Salah satu bukti bahwa qiyas telah digunakan dengan damai oleh seluruh lapisan umat adalah ketika kita mengeluarkan zakat fithr dengan beras atau uang. Dalam kasus itu, jelas sekali kita pakai qiyas. Sebab tidak ada satu pun nash baik Quran maupun sunnah dari Rasulullah SAW bahwa beliau dahulu mengeluarkan zakat dengan beras atau uang. Dalam hal ini, diakui atau tidak, sebenarnya qiyas sudah kita pakai dan kita dijalankan tanpa kita sadari. Dan diakui oleh semua kalangan ulama manapun. Dan kalau tidak digunakan qiyas, maka bangsa Indonesia terpaksa mengeluarkan zakat fithr dengan kurma atau gandum. Dan rasanya kami belum pernah melihat ada yang melakukannya di negeri kita. Lagian, siapa yang mau makan siang hanya kurma doang? Hakikat Qiyas Qiyas terjadi karena adanya kesamaan 'illat dalam dua kasus. Ada al-ashlu (pokok) yang sudah punya hukum karena ada nashnya, dan ada al-far'u (cabang) yang belum punya hukum karena tidak ada nashnya.Lalusetelah diteliti dengan seksama, didapat bahwa antara keduanya ada 'illat yang sama. Maka hukumnya perkara far'u pun diqiyaskan dengan hukum al-ashl. Dalam hal zakat fithr ini 'illat-nya adalah quth yaitu makanan pokok. Ganja tidak pernah diharamkan di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Yang disebutkan keharamnnya hanyalah khamar. Dan secara pisik, khamar dikenal sebagai minuman perasan buah anggur yang telah mengalami fermentasi tertentu. Sedangkan ganja bukan minuman, ganja adalah daun tanaman ganja yang dikeringkan dan dihisap asapnya.
Sebaliknyakalau kita tidak pakai qiyas, ganja tidak haram untuk digunakan. Sebab tidak ada satu pun nash baik di Quran maupun di Sunnah yang menyebutkan keharaman daun ganja. Maksud Larangan Menggunakan Qiyas Sebenarnya ketika ada larangan untuk menggunakan qiyas, yang dimaksud bukanlah qiyas yang dikenal dalam ilmu ushul fiqih. Tetapi maksudnya penggunaan akal atau logika padahal secara tegas dan jelas-jelas telah bertentangan dari nash Quran atau Sunnah, tanpa bisa ditafsiri lagi. Itulah maksud dari larangan, "Janganlah kalian mengiyaskan agama." Contoh sederhananya, ketika Allah SWT melarang kita makan babi, maka jadikanlah larangan dari Allah itu sebagai sebab dari kita tidak memakannya. Dan jangan mendahulukan logika dan menjadikan nash hanya sebagai isyarat keharaman. Misalnya, kita mengubah dasar pelarangan dari nash menjadi logika, lalu kita bilang bahwa haramnya babi karena binatang itu jorok, kotor dan mengandung cacing pita. Padahal ketika diharamkan, tidak ada keterangan sedikit pun bahwa penyebab haramnya semata-mata karena babi itu hewan yang jorok, kotor dan mengandung cacing pita. Dan cara itu justru akan jadi titik masalah sendiri, sebab sangat dimungkinkan ke depan orang bisa melakukan rekayasa genetika hewan babi dan menghasilkan varitasbabi yanghigienis, bulunya putih bersih, keringatnya wangi, tinggalnya di dalam rumah bukan dikandang, tiap hari creambath, pedikure, dan ditangani oleh para dokter ahli. Intinya, sama sekali jauh dari sifat kotor dan jorok. Bahkan teknologi pangan telah berhasil mematikan cacing pita, virus dan segala jenis penyakit di dalam daging babi, maka apakah saat itu babi menjadi halal dimakan? Jawabnya tetap tidak halal, karena nash Quran telah tegas menyebutkan bahwa babi itu haram dimakan. Haramnya bukan karena apa-apa, tetapi karena 'kebabian'-nya itu sendiri. Semata-mata karena nash Quran dan Sunnah yang mengharamkan, bukan sekedar akal manusia. 2. Tidak Mengikuti Ulama Mazhab dan Ikuti Hadits Shahih Ungkapan seperti ini ada sisi benarnya tapi juga ada sisi tidak benarnya. Sisi benarnya, kita memang harus mendahulukan hadits shahih dari pada perkataan manusia. Itu jelas dan tegas sekali, seterang matahari di siang bolong yang cerah. Tapi pernyataan itu akan jadi tidak benar kalau kemudian dipahami bahwa ulama mazhab itu tidak menggunakan hadits shahih. Ini adalah sebuah tuhmah (tuduhan) yang teramat keji kepada para ulama. Seolah-olah ulama mazhab itu goblok, bodoh dan tolol karena tidak paham membedakan mana hadits shahih dan dhaif. Rupanya di zaman sekarang ini ada oknum-oknum yang ingin menjatuhkan citra para ulama fiqih. Dan kemudian dikesankan kalau ulama fiqih itu tidak paham hadits, atau malah dituduh sebagai orang yang kerjanya memakai hadits yang dhaif. Semua Ulama Mazhab Mendahulukan Hadits Shahih Semua ulama mazhab sudah pasti mendahulukan hadits shahih. Bahkan para pendiri dan ulama seniornya banyak yangberkapasitas sebagai muhaddits. Tidak ada rumusnya kalau ada ulama, apalagi mujtahid mutlak semacam Imam Asy-Syafi'i misalnya, kok dibilang tidak mengerti hadits atau tidak mau menggunakan hadits shahih. Sementara jarak waktu yang memisahkan antara beliau dengan Rasulullah SAW hanya terpaut 140 tahun saja. Sementara era keemasan para muhadditsin seperti Al-Bukhari dan lainnya, baru dimulai 200 tahun sepeniggal Rasulullah SAW. Jadi era para imam mazhab yang empat itu lebih dekat ke Rasulullah SAW dari pada era para muhaddits besar. Secara nalar yang sederhana, kemungkinan keselamatan periwayatan akan lebih baik kalau sanadnya tidak terlalu panjang. Keshahihan Hadits: Khilafiyah Kalau di dalam ilmu fiqih kita mengenal istilah khilafiyah, maka di dalam ilmu kritik hadits kita juga mengenal kejadian yang sama. Ternyata para muhaddits itu pun tidak luput dari perbedaan pendapat. Makajangan dikira keshahihan suatu hadits adalah kebenaran yang mutlak dan satu. Tiap hadits yang dibilang shahih itu sebenarnya masih bersifat tentatif dan subjektif. Shahih menurut siapa dan dha'if menurut siapa? Kita ambil contoh sederhana, sebuah hadits yang dibilang shahih oleh seorang muhaddits, belum tentu dishahihkan oleh muhaddits lainnya. Belum tentu ketika Al-Bukhari menshahihkanhadits, lalu hadits itu dishahihkan juga oleh At-Tirmizy. Dan hal yang sama berlaku juga sebaliknya. Dan yang lebih ajaib, ada tokoh yang sering mengeluarkan statemen tentang keshahihan atau kedhaifan suatu hadits, terkadang dia mengoreksi lagi pernyataannya. Bahkan bukan mengoreksi tapi memang keluar dari kekurang-telitiannya dalam mengeluarkan statemen. Salah satu yang bisa kita sebut misalnya Syeikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah. Beliau banyak berjasa dalam meneliti hadits, sehingga kitab hadits yang enam itu beliau pilah lagi berdasarkan mana yang shahih dan mana yang tidak shahih. Sehingga jumlah jilidnya menjadi lebih tebal dan banyak, tentu saja harganya lebih mahal. Namun setelah diteliti, ternyata ada banyak juga muncul ketidak-konsistenan seorang Al-Albani. Di satu kitab, beliau menshahihkan suatu hadits, tapi hadits yang sama di kitab lainnya dibilangnya dhaif. Lalu mana yang benar? Wallahu a'lam. Hanya beliau dan Allah SWT saja yang tahu. Intinya, keshahihan suatu hadits sebenarnya juga masalah khilafiyah juga. Ketika ada seorang tokoh mengatakan bahwa suatu haditsi itu shahih, maka keshahihan hadits itu harus dipahami terbatas pada ijtihad dan pendapatnya. Belum tentu muhaddits lain mengatakannya shahih. Dan hal yang sama berlaku pula ke balikannya. Karena itulah ketika Al-Imam Asy-Syafi'i tetap mengatakan bahwa qunut pada shalat shubuh itu sunnah muakkadah, kita tidak bisa menuduh bahwa beliau sebagai ahli bid'ah, lantaran kita menganggap tidak ada hadits yang shahih tentang qunut shubuh. Meski para ulama lainnya banyak yang mendhaifkan hadits tentang qunut shalat shubuh, namun As-Syafi'i punya alasan tersendiri mengapabeliau bersikeras mengatakan bahwa hadits itu shahih. Dan beberapa ratus tahun kemudian, hadits itu dishahihkan oleh Imam Al-Baihaqi, muhaddits besar di era tahun 300-a hijriyah. Beliau lahir tahun 384 hijriyah. Kesimpulan Mazhab dan para ulamanya tidak bisa dijadikan tandingan hadits shahih, tetapi sebaliknya, semua mazhab dan ulamanya adalah para pembela hadits shahih. Salah besar kalau kita punya paradigma keliru seperti itu. Kalau ternyata pendapat ulama mazhab berbeda, harus diketahui bahwa pendapat para ulama hadits dalam menshahihkan hadits pun berbeda juga. Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc |
1. Aqidah |
2. Al-Quran |
3. Hadits |
4. Ushul Fiqih |
5. Thaharah |
6. Shalat |
7. Zakat |
8. Puasa |
9. Haji |
10. Muamalat |
11. Pernikahan |
12. Mawaris |
13. Kuliner |
14. Qurban Aqiqah |
15. Negara |
16. Kontemporer |
17. Wanita |
18. Dakwah |
19. Jinayat |
20. Umum |