![]() |
USTADZ MENJAWAB1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | CariRingkas | Rinci |
Suami Mentalak Istri Dengan Tegas Tapi Kok Bisa Dibatalkan Oleh Pengadilan Agama? |
PERTANYAAN Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Semua kitab fiqih mengajarkan bahwa ketika suami mentalak istrinya, maka jatuhlah talak itu. Tetapi di negeri kita, kenapa Pengadilan Agama tidak membenarkan talak yang sudah jatuh itu? Mengapa talak harus dilakukan di Pengadilan Agama? Ada teman saya yang sudah tegas-tegas menjatuhkan talak kepada istrinya. Istrinya pun paham dan tahu konsekuensinya, maka dia pun menjalanni masa iddah selama 3 kali haidh, kurang lebih sekitar 3 bulanan. Namun ketika mereka ingin mendapatkan legalitas atas talak itu di Pengadilan Agama, ternyata talak yang dijatuhkan suami dianggap tidak sah, kecuali harus dijatuhkan di depan saksi di depan hakim Pengadilan Agama. Pertanyaannya : 1. Lalu bagaimana dengan hukum fiqih yang sudah kita kenal selama ini? Apakah bisa seorang hakim di Pengadilan Agama membatalkan sebuah talak yang sah dan sharih sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah? 2. Kalau memang ada kewenangan itu, kira-kira dalil apa yang dijadikan dasar bagi seorang hakim untuk tidak mengakui talak suami kepada istrinya? Adakah ayat atau hadits yang menjelaskan tentang hal itu? Sebelumnya saya ucapkan terima kasih. Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabakatuh. |
JAWABAN Assalamu 'alaikum warhamatullahi wabarakatuh Pertanyaan Saudara memang termasuk pertanyaan saya juga, dan selama puluhan tahun saya sendiri pun kebingungan, bagaimana mungkin hukum-hukum fiqih yang kita pelajari tiba-tiba dilanggar oleh Pengadilan Agama kita sendiri? Terus terang saya cukup lama mencari informasi dan literatur tentang masalah ini. Alhamdulillah ada beberapa masukan dan informasi dari beberapa teman yang memberikan jejak informasi yang bisa ditelurusuri. Memang benar bahwa dalam sistem hukum agama di Indonesia yang umumnya menggunakan Kompilasi Hukum Islam (KHI), hakim di Pengadilan Agama biasanya tidak mengesahkan talak yang sudah dijatuhkan suami kepada istrinya, kecuali talak itu harus diulangi lagi di depan hakim. Ketentuan ini tentu aneh dan membingungkan, khususnya bagi mereka yang tekun belajar hukum talak dalam fiqih Islam. Sebab yang sudah jadi kesepakatan adalah bila suami mengucapkan talak, bahkan hanya main-main saja, atau tidak sengaja, maka sudah jatuh talak. Lalu mengapa justru di Pengadilan Agama NKRI malah semua itu dimentahkan? Suami dan istri sudah sama-sama sepakat bercerai dan tidak ada silang sengketa, tetap saja hakim di Pengadilan Agama menganggap ucapan talak suami kepada istrinya tidak sah, alias belum jatuh talak. Seolah-olah talak itu hanya sah bila dilakukan di depan hakim dalam sebuah pengadilan agama. Lalu apa kira-kira pemikiran yang mendasari ‘ijtihad’ mereka? Dan ada semacam kesepakatan di semua Pengadilan Agama untuk menganut ‘mazhab’ ini? Jawaban singkatnya begini : Ada pemikiran yang berbeda dengan apa yang selama ini sudah ditetapkan para ulama dalam kitab-kitab fiqih, bahwa untuk jatuh talak itu sama sekali tidak membutuhkan saksi. Namun belakangan muncul pemikiran untuk mengharuskan adanya saksi untuk sahnya suatu talak. Sebenarnya para ulama fiqih klasik 4 mazhab dan juga para mufassirin sudah sepakat dan mencapai level ijma' bahwa talak itu tidak butuh saksi. Hal itu sebagaimana disebutkan oleh Asy-Syaukani (w. 1250 H) dalam kitabnya Nailul Authar menyebutkan bahwa tidak harus adanya saksi dalam talak adalah ijma’ ulama. وقد ورد الإجْماع على عدم وجوب الإشهاد في الطلاق، واتَّفقوا على الاستحباب"؛ أي: في الطَّلاقTelah ada ijma’ tentang tidak wajib keberadaan saksi dalam masalah talak. Para ulama sepakat hukumnya adalah istihbab saja, yaitu dalam talak. [1] Namun belakangan ada beberapa tokoh ulama kontemporer yang tidak bermazhab mencoba untuk menggagas pemikiran baru, yaitu mensyaratkan adanya saksi untuk talak yang dijatuhkan suami. Kalau tidak ada saksi, maka talak itu dianggap tidak sah. Oleh para tokoh agama di Indonesia, pemikiran ini kemudian diwujudkan menjadi keharusan talak dilakukan di Pengadilan Agama. Yang menarik adalah mereka menggunakan dalil zhahir nash ayat Al-Quran sebagai argumentasi, yaitu Surat At-Thalaq ayat 2, dimana Allah SWT berfirman : فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِApabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. (QS. Ath-Thalaq : 2) Berikut adalah detail siapa saya yang punya pemikiran itu disertai dengan dalil dan sumber rujukannya, semoga bermanfaat. 1. Pendapat Harus Adanya Saksi Salah satu alasannya karena Pengadilan Agama menggunakan pendapat yang mengharuskan adanya saksi. Bila suami mengucapkan talak tanpa saksi, maka dianggap belum sah. Oleh karena itulah maka Pengadilan Agama menetapkan bahwa talak itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan agar mendapatkan keabasahan secara hukum. Pendapat ini sebenarnya tidak mewakili mayoritas ulama, meski pun tetap ada tokoh tertentu yang menudukungnya. Di antaranya ada Ibnu Hazm, Syiah Imamiyah dan satu dua tokoh ulama kontemporer : a. Ibnu Hazm Ibnu Hazm (w. 456 H) adalah tokoh mazhab Zhahiri yang terkenal kontroversial dan menyalahi pendapat jumhur ulama dalam hampir semua pendapatnya. Dalam mentapa dasar pandangannya, Ibnu Hazm menggunakan makna zhahir dari ayat kedua Surat At-Thalaq. فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِApabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. (QS. Ath-Thalaq : 2) Kalau dilihat secara lahiriyah ayat ini memang ada perintah : persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil. Kalimat inilah yang digunakan Ibnu Hazm sebagai syarat sah talak di dalam kitabnya Al-Muhalla bil Atsar. وكان مَن طلَّق ولم يُشْهِد ذَوَي عدل أو راجَعَ ولم يُشْهِد ذوي عدل - متعدِّيًا لحدود الله تعالى وقال رسول الله صلَّى الله عليْه وسلَّم: "مَن عمِل عملاً ليْس عليه أمرُنا فهو ردOrang yang mentalak istri atau merujuk istri tanpa disaksikan dua orang saksi yang adil termasuk menentang ketentuan Allah. Padahal Rasulullah SAW bersabda,”Siapa yang melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan kami, maka perbuatannya tertolak.[2] Selain itu Ibnu Hazm juga menggunakan hadits nabawi dalam hujjahnya : سئل عن الرجُل يطلِّقُ المرأة ثمَّ يقع بِها ولَم يُشْهِد على طلاقِها ولا على رجْعَتِها فقال: طلَّقت لغير سنَّة ورجعتَ لغيْرِ سنَّة أشهِدْ على طلاقِها وعلى رجْعَتِها ولا تعُدْRasulullah SAW ditanya oleh seseorang yang mentalak istri lalu menyetubuhinya tanpa ada saksi, kemudian merujuknya tanpa ada saksinya. Beliau SAW menjawab,”Kamu mentalak tidak sesuai sunnah, kamu merujuk tidak sesuai sunnah. Datangkan saksi kalau kamu mentalak atau merujuk dan jangan ulangi. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah) b. Syiah Imamiyah Syiah Imamiyah juga tercatat sebagai kalangan yang mensyaratkan bahwa perceraian itu harus disaksikan agar menjadi sah dan mengikat secara hukum. Tidak cukup hanya diucapkan oleh suami tanpa ada saksi. [3] c. Ibnu Asyur Ibnu Asyur (w. 1393 H) salah satu ulama kontemporer dan termasyhur berkebangsaan Tunisia dalam kitab tafsirnya At-Tahrir wa At-Tanwir cenderung mensyaratkan adanya saksi dalam talak. وظاهر صيغة الأمر: الدلالة على الوجوب، فيتركب من هذين أن يكون الإشهاد على المراجعة وعلى بت الطلاق واجباً على الأزواجZhahirnya adalah shighat amr menunjukkan pada kewajiban. Maka adanya saksi pada rujuk dan juga pada talak merupakan kewajiban bagi suami.[4] d. Syeikh Ahmad Syakir Syeikh Ahmad Syakir (w. 1377 H) adalah salah satu tokoh ulama di Universitas Al-Azhar Mesir, beliau juga pernah menjadi hakim agama di Mesir tahun 1951 dan diangkat menjadi pimpinan Mahkamah Syar'yah Ulya di Mesir. Beliau termasuk salah satu tokoh yahng mewajibkan adanya saksi dalam talak. Kita bisa mendapatkan pemikiran dan gagasannya bahwa talak itu harus dengan adanya saksi kalau kita baca bukunya, Nizham Ath-Thalaq fil Islam. [5] e. Syeikh Abu Zahrah Syeikh Abu Zarhar adalah salah satu tokoh ulama Mesir kenamaan yang pernah menjadi pimpinan Universitas Al-Azhar di masanya, juga termasuk salah satu tokoh yang mewajibkan saksi dalam perceraian. Dalam kitabnya Ahwal Asy-Syakhisiyah, Beliau menuliskan sebagai berikut : وإنه لو كان لنا أن نختار للمعمول به في مصر لاخترنا ذلك الرأي، فيشترط لوقوع الطلاق حضور شاهدين عدلين، يمكنهما مراجعة الزوجين فيضيِّقان الدائرة، ولكيلا يكون الزوج فريسة لهواهKalau kami diminta memilih untuk dipraktekkan di Mesir maka kami memilih pendapat ini, yaitu disyaratkan agar talak itu jatuh harus dihadiri dua orang saksi yang adil, yang memungkinkan bagi keduanya untuk murajaah pasangan suami istri, sehingga syaratnya diperketat. Tujuannya agar suami tidak jadi korban keganasannya sendiri. [6] f. Tokoh Ulama Modern Dalam catatan Penulis ada beberapa tokoh ulama modern yang mewajibkan talak dengan adanya saksi antara lain Dr. Muhammad Yusuf Musa[7], Dr. Abdurrahman Ash-Shabuni, Dr. Muhammad Salam Madkur[8], Syeikh Muhammad Faraj As-Sanhuri dan lainnya. g. Qanun Mesir Atas rekomendasi dari beberapa kalangan, maka Pemerintah Mesir di masa Presiden Gamal Abdu An-Nashr tahun 1967 mengeluarkan undang-undang (qonun) dalam masalah Al-Ahwal Asy-Syakhsiyah oleh Lajnah di bawah pimpinan Syeikh Muhammad Faraj As-Sanhuri : لايقع الطلاق إلا بحضور شاهدين رجلين أو رجل وامرأتين(109) - Tidak jatuh talak kecuali dengan hadirnya dua orang saksi laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan. 2. Jumhur Ulama : Tidak Perlu Saksi Jumhur ulama 4 mazhab umumnya sepakat bahwa talak tetap jatuh meski tidak ada saksi. a. Mazhab Al-Hanafiyah Al-Jashshash (w. 370 H) salah satu ulama fiqih sekaligus ahli tafsir di kalangan mazhab Al-Hanafiyah menafsirkan surat Ath-Thalaq ayat 2 menjelaskan di dalam kitab tafsirnya Ahkam Al-Quran sebagai berikut : وَأَنَّ الْفُرْقَةَ تَصِحُّ وَإِنْ لَمْ يَقَعْ الْإِشْهَادُ عَلَيْهَا وَيُشْهِدُ بَعْدَ ذَلِكَ وَقَدْ ذَكَرَ الْإِشْهَادَ عَقِيبَ الْفُرْقَةِ ثُمَّ لَمْ يَكُنْ شَرْطًا فِي صِحَّتِهَاCerai itu sah meski tanpa saksi atasnya. Saksi baru ada sesudahnya dan disebutkan saksi seusai cerai. Tidak menjadi syarat atas sahnya cerai. [9] As-Syarakhsi (w. 483 H) salah satu ulama rujukan dalam mazhab Al-Hanfiyah menuliskan kitabnya Al-Mabsuth sebagai berikut : ثم الإشهاد على الفرقة وستحب لا واجب على الرجعةKemudian saksi atau percertaian itu hukumnya mustahab, bukan wajib.[10] Ibnu Abdin (w. 1252 H) termasuk salah satu tokoh ulama rujukan dalam mazhab Al-Hanafiyah juga tidak mewajibkan saksi dalam talak dan bahwa hukumnya sunnah. Hal itu bisa dikonfirmasi dalam kitabnya Rad Al-Muhtar 'ala Ad-dur Al-Mukhtar Syarah Tanwir Al-Abshar. [11] b. Mazhab Al-Malikiyah Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) salah satu ulama rujukan dalam mazhab Al-Malikiyah menyebutkan dalam kitabnya Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah sebagai berikut : والإشهاد على الطلاق ليس بواجب فرضا عند جمهور أهل العلم ولكنه ندب و إرشادPersaksian dalam talak itu bukan kewajiban atau fardhu menurut jumhur ahli ilmu, tetapi hukumnya nadb dan irsyad.[12] c. Mazhab Asy-Syafi’iyah Mazhab Asy-Syafi'iyah secara resmi menegaskan bahwa talak itu tidak membutuhkan saksi. Para ulama di kalangan mazhab ini telah menegaskan hal itu dalam beberapa kitabnya. Al-Qalyubi (w. 1069 H) dalam kitabnya Hasyiyatu Al-Qalyubi 'Ala Syarhi Jalaluddin Al-Mahalli 'Ala Minhaj Ath-Thalibin menegaskan bahwa keberadaan saksi hanyalah sunnah dan bukan syarat sah talak.[13] Al-Kiya Al-Harasi (w. 504 H) salah satu ulam ahli tafsir di kalangan mazhab Asy-Syafi’iyah menuliskan dalam kitab tafsirnya Ahkam Al-Quran surat Ath-Thalaq ayat 2 sebagai berikut : يدل على الإشهاد، إلا أن الإشهاد لا يظهر انصرافه إلى الطلاق الذي يستحق الزوج به أبدا من غير حاجة إلى فترة، والرجعة هي التي إذا تأخرت إلى انقضاء العدة امتنعت. فالظاهر رجوع قوله: (وَأَشْهِدُوا) إلى الرجعة لا إلى الطلاقAyat ini menunjukkan keharusan adanya saksi, namun saksi tidak relevan dalam masalah talaq. Yang diperlukan saksi justru pada rujuk dimana bila terlambat merujuknya menjadi tidak boleh merujuk lagi. Maka zhahirnya perintah (saksikanlah) itu untuk rujuk dan bukan untuk talal. [14] d. Mazhab Al-Hanabilah Ibnu Taimiyah (w. 728 H) menegaskan di dalam Majmu’ Al-Fatawa bahwa talak itu tidak memerlukan saksi, seraya menegaskan adanya sebagian kalangan yang keliru dalam memahami nash Al-Quran. وقد ظنَّ بعض النَّاس أنَّ الإشهاد هو الطَّلاق وظنَّ أنَّ الطَّلاق الذي لا يُشْهَد عليه لا يقع وهذا خِلاف الإجماع وخِلاف الكتاب والسنَّة ولم يقل أحدٌ من العلماء المشْهورين به فإنَّ الطَّلاق أذن فيه أوَّلاً ولم يأمر فيه بالإشهادSebagian orang menyangka bahwa saksi itu harus ada dalam talak dan bahwa talak tanpa saksi itu tidak jatuh. Padahal pemikiran seperti ini menyalahi ijma’ bahkan menyalahi Al-Quran dan Sunnah. Dan tidak ada satu pun ulama masyhur yang mengatakannya. Pertama bahwa talak itu diizinkan dan kedua tidak ada perintah untuk adanya saksi. [15] Al-Buhuti (w. 1051 H) salah satu tokoh ulama rujukan dalam mazhab Al-Hanabilah menegaskan dalam kitabnya Ar-Raudh Al-Murbi' Syarah Zad Al-Mustaqni' tentang tidak adanya keharusan talak dengan adanya saksi.[16] Kesimpulan : 1. Jumhur ulama klasik 4 mazhab telah ijma' bahwa untuk jatuh talak tidak dibutuhkan saksi. 2. Sebagian ulama kontemporer mengikuti pendapat Ibnu Hazm yang bermazhab Zhahiri yang mensyaratkan adanya saksi untuk jatuhnya talak. 3. Di Indonesia, tokoh agama memasukkan pemikiran Ibnu Hazm dan sebagain pendapat dari tokoh-tokoh ulama kontemporer itu ke dalam sistem hukum Islam di Pengadilan Agama secara resmi. 4. Meski demikian, para ulama fiqih di Indonesia masih tetap mengajarkan ilmu fiqih apa adanya sesuai dengan teks yang diwariskan dari para ulama klasik bahwa tidak disyaratkan adanya saksi dalam jatuhnya talak. 5. Para hakim agama di Pengadilan Agama terpecah dua, sebagian yang berasal dari kalangan santri dan mengaji ilmu fiqih menjadi bimbang dibuatnya, sebab hukum positif yang dia gunakan ternyata bertentangan dengan ilmu fiqih yang dipelajarinya selama ini. Namun sebagian yang tidak terlalu mendalam belajar ilmu fiqihnya, menjadi tidak terlalu meributkannya dan 100% menerapkan apa yang dianggapnya benar yaitu talak itu mewajibkan adanya saksi. Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahamtullahi wabarakatuh Ahmad Sarwat, Lc., MA REFERENSI : [2] Ibnu Hazm, Al-Muhalla, jilid 10 hal 17 [3] Ali Kasyif Al-Ghitha', Ashlu As-Syi'ah wa Ushuliha, jilid 119 [4] Ibnu Asyur, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 28 hal. 309 [5] Syeikh Ahmad Syakir, Nizham At-Thalak fil Islam, hal. 118 [6] Syeikh Abu Zahrah, Al-Ahwal Asy-Syakshiyah, hal. 368-371 [7] Dr. Muhammad Yusuf Musa, Al-Ahwal Asy-Syakhshiyah, Hal, 271 [8] Dr. Muhammad Salam Madkur, Ahkam Al-Usrah fil Islam, jilid 2 hal. 79-84 [9] Al-Jashshash, Ahkam Al-Quran, jilid 5 hal. 350 [10] As-Syarakhsi, Al-Mabsuth, jilid 6 hal. 23 [11] Ibnu Abdin, Rad Al-Muhtar 'ala Ad-dur Al-Mukhtar Syarah Tanwir Al-Abshar. [12] Ibnu Abdil Barr, Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah, jilid 6 hal. 23 [13] Al-Qalyubi, Hasyiyatu Al-Qalyubi 'Ala Syarhi Jalaluddin Al-Mahalli 'Ala Minhaj Ath-Thalibin, jilid 4 hal. 4 [14] Al-Kiya Al-Harasi, Ahkam Al-Quran, jilid 4 hal. 420 [15] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, jilid 33 hal. 33 [16] Al-Buhuti, Ar-Raudh Al-Murbi' Syarah Zad Al-Mustaqni' jilid 3 hal. 184 |
1. Aqidah |
2. Al-Quran |
3. Hadits |
4. Ushul Fiqih |
5. Thaharah |
6. Shalat |
7. Zakat |
8. Puasa |
9. Haji |
10. Muamalat |
11. Pernikahan |
12. Mawaris |
13. Kuliner |
14. Qurban Aqiqah |
15. Negara |
16. Kontemporer |
17. Wanita |
18. Dakwah |
19. Jinayat |
20. Umum |