USTADZ MENJAWAB

1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | Cari

Ringkas | Rinci
Apa yang Harus Kita Lakukan dengan Film Fitna?

Apa yang Harus Kita Lakukan dengan Film Fitna?

PERTANYAAN

Kami belum pernah membaca tanggapan ustadz soal ramainya flm Fitna karya anggota parlemen belanda. Boleh dong ustadz kami tahu apa komentar dan tanggapan ustadz, kira-kira apa yang sebaiknya dilakukan oleh umat Islam?

Catatan penting apa saja yang sekirannya bisa kita simpulkan dalam masalah beredarnya film ini.

Jazakalallah

JAWABAN

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Memang ada beberapa catatan penting dari beredarnya film Fitna ini, setelah begitu banyak resksi keras yang dilakukan oleh sekian banyak elemen umat Islam yang kita saksikan.

Kami mencatat ada beberapa hal yang mungkin bisa digaris-bawahi dalam komentar kami terhadap film yang menggegerkan dunia Islam.

1. Dari segi judulnya, kata FITNA itu punya arti yang barangkali agak perlu diluruskan. Si Wilder itu menggunakan kata fitnah dalam arti yang sesungguhnya dalam bahasa arab, yaitu kekacauan, kekerasan atau kerusuhan.

Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata fitnah itu punya makna yang lain di luar arti yang sesungguhnya dalam bahasa Arab. Fitnah dalam bahasa Indonesia berarti menuduh orang lain melakukan sesuatu yang tidak dikerjakannya.

Kalau kata Fitnah itu dipahami dalam bahasa Indonesia, maka judul film itu memang benar-benar fitnah, dalam arti sebuah tuduhan keji kepada umat Islam.

Tentu bukan makna ini yang diinginkan di Wilder dengan kata Fitnah. Tapi si Wilder itu menginginkan makna fitnah dalam bahasa Arab, yaitu bahwa Islam adalah Ftinah, yaitu kekacauan, kerusuhan, kekerasan.

2. Kalau dilihat dari isi film itu, sebenarnya bahan-bahan yang dipakainya hanya dokumenter yang stockshotnya bisa didapat dari banyak sumber yang tersedia di banyak tempat. Baik dari rekaman TV, video atau pun juga dari hasil download di internet.

WIlder boleh dibilang nyaris tidak mengeluarkan biaya apa pun untuk shooting film itu, karena semua hanya dokumentasi dari berbagai siaran TV. Dia pun juga tidak perlu membayar artis atau para kru film.Dari segi teknik editing, juga mudah sekali membuatnya. Tidak butuh studio khusus, bahkan pakai PC kelas amatiran pun kita juga bisa membuatnya.

Intinya, untuk membuat film ini, Wilder nyaris tidak butuh dana milyaran sebagaiamana kalau kita umat Islam mau bikin proyek film Ayat-ayat Cinta.

3. Dari segi pemasaran, Wilder pun melakukannya dengan mudah dan gratis, karena dia cukup menguploadnya di sebuah situs yang memfasilitasi posting file-file film.

Meski film itu dilarang beredar oleh pemerintah Belanda, buktinya kita di Indonesia bisa mendownloadnya di Youtube. Dan kenyataannya film itu tetap beredar. Dan umat Islam yang dilarang-larang untuk melihatnya, justru semua pada ramai ikut mendown-loadnya.

Akibatnya, tetap saja film itu beredar di mana-mana. Rasanya malah tiap orang yang kami tanyai, pakaah sudah lihat film itu, ternyata kebanyakan menjawab sudah. Lho?

Dan rasanya sudah zamannya lagi kita main larang sebuah film, setelah kita hidup di zaman internet. Justru ketika sebuah film semakin dilarang, orang akan semakin mencarinya. Jadi larangan itu pada tingkat tertentu akan menjadi percuma, bahkan malah berdampak sebaliknya, justru malah jadi promosi gratis.

4. Lalu kita harus bagaimana? Apakah kita harus demo turun ke jalan mengepung kedutaan Belanda? Atau bikin aksi kemarahan dan kerusuhan?

Rasanya kok tidak pas juga. Sebab pemerintah Belanda memang melarang film itu, bahkan Duta Besarnya sudah berkali-kali mengatakan bahwa beliau tidak membenarkan film itu dan pemerintahnya sudah melarang Wilder untuk membuat film itu.

Pertemuan beberapa tokoh Islam dengan Dubes Belanda jelas menjadi sebuah momen bahwa mendemo pemerintah Belanda juga bukan sasaran yang tepat.

Jadi kemarahan umat dan keteringgungannya harus dilahirkan dalam bentuk apa? Apakah pernyataan keras dan kecaman? Ataukah ada hal lain?

Yang Bisa Kita Lakukan

Sebenarnya ada banyak yang bisa kita lakukan, tai lebih produktif dan juga lebih profesional. Misalnya, kenapa kita tidak membuat film 'tandingan' atau film 'jawaban' dari film Fitna itu?

Bukankah film itu bisa dibuat dengan nilai yang murah saja? Sebab stockshotnya memang bisa didapat dari mana-mana, bahkan karikatur nabi Muhammad SAW itu hasil bajakan dari media Denmark. Kono pelukis kartun itu malah menuntut si Wilder yang telah 'membajak' karyanya begitu saja.

Kenapa umat Islam tidak kreatif untuk membuat film yang 'menjawab' tuduhan keji si Wilder? Bukankah bahan-bahannya juga ada di internet? Bukankah software editing film juga ada di pasaran?

Kenapa sampai hari ini kita hanya bisa mengecam dan mengecam saja. Kenapa tidak muncul film-film tandingan dari tangan-tangan kreatif pemuda muslim? Mengapa tidak kita dapati di Youtube film jawaban itu?

Misalnya, kita kan bisa buat film dokumenter tandingan yang menggambarkan betapa Islam telah berhasil memajukan bangsa-bangsa. Atau bahwa Islam itu menjadi rahmatan lil 'alamin. Atau film yang menunjukkan bahwa seharusnya Eropa berterima kasih kepada Islam, karena lewat peradaban Islam lah Eropa bisa menemukan kejayaannya kembali.

Atau kenapa teman-teman muslim kita di Eropa tidak membuat video, walapun video amatir, yang menggambarkan betapa para muallaf Eropa itu masuk Islam secara sukarela dan sangat kooperatif dengan kebebasan, keadilan, kesetiakawanan, kebersamaan dan seterusnya?

Dalam pandangan kami, seharusnya kita pun kreatif. Kalau si Wilder itu 'menyerang' kita lewat pembentukan opini, maka seharusnya kita pun juga membalasnya dengan pembentukan atau pelurusan opini. Kalau Wilder bisa bikin film murah dengan durasi 11 menit, seharusnya umat Islam sedunia ini bisa bikin 100 biji film yang sama, tapi isinya justru meluruskan opini yang membela Islam.

Toh harganya murah saja. Dan mengedarkannya juga mudah, yaitu lewat internet.

Tapi ya itu tadi, kok kita belum melihat apa yang seharusnya dilakukan oleh 1, 5 milyar muslim di dunia ini? Kok belum ada yang memposting film 'jawaban' atas filmnya di WIlder itu ya?

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc