USTADZ MENJAWAB

1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | Cari

Ringkas | Rinci
Adegan Lesbianisme di Video Klip PADI

Adegan Lesbianisme di Video Klip PADI

PERTANYAAN

Assalamualaikm wr.wb

Saya suka mendengarkan musik, salah satunya adalah padi, saya pikir lagu ciptaan mereka bagus, akan tetapi setelah saya melihat salah satu video klip mereka, jadi agak kurang suka, karena dalam video tersebut mengambarkan seorang wanita sedang"bercinta"dengan wanita (lesbi).

Apakah mereka tidak tau klo gambaran tersebut sangat bertentangan dengan norma-orma yang berlaku, juga dengan norma agama?

Atau saya yang salah menafsirkan gambaran dalam video klip tersebut??

Yang ingin saya tanyakan adalah:

Apakah video klip juga termasuk yang disensor oleh lembaga sensor? Karena sekarang ini banyak sekali video klip yang tidak layak dilihat, terutama oleh anak kecil.

Adakah lembaga lain selain lembaga sensor yang menangani hal-hal tentang tontonan masayarakat?

Mohon maaf jika ada kata-kata yang tidak berkenan.

Wassalamualaikum wr.wb

JAWABAN

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Tugas lembaga sensor memang sangat berat, karena begitu banyak karya seni baik lagu, film maupun video klip yang sangat bertentangan dengan norma moral, akhlak, etika dan agama.

Pertarungan antara para seniman porno dan menyimpang melawan para penjaga moral umat adalah pertarungan yang sangat tidak seimbang. Ibarat David melawan Goliat.

Serbuan budaya bobrok produk barat telah membombardir bangsa kita ini 24 jam dalam sehari. Tak satu pun anak bangsa yang luput dari serangan habis-habisan ini, dengan jutaan produk budaya kafir barat. Dan semua berlangsung bertahun-tahun.

Akibatnya, anak-anak kita menjadi korban budaya hedonisme. Sampai kini mereka tumbuh dewasa menjadi ksatria-ksatria hedonisme itu. Jadi yang kita saksikan adalah panen raya generasi sakit yang telah ditanam bibitnya sejak puluhan tahun yang lalu.

Para insan seni dan film adalah korban produk serbuan budaya bejat, demikian juga para pemirsa perfilman. Jadi sama-sama korban serbuan budaya. Istilahnya, baik yang bikin maupun yang nonton, sama-sama rusak.

Membubarkan Lembaga Sensor

Para pejuang kebebasan berekspresi yang ingin membubarkan lembaga sensor ternyata tidak sedikit. Jumlah mereka cukup banyak, karena 'kaderisasi' mereka berjalan dengan sangat baik.

Sementara norma agama selama ini boleh dibilang sangat lemah. Orang sadar untuk beragama baru beberapa tahun terakhir ini saja. Fenomena artis ramai-ramai pakai jilbab pun adalah fenomena yang sangat baru.

Apalagi fenomena insan perfilman mau bikin film Islam, yah baru saja terjadi sejak suksesnya film Ayat-Ayat Cinta. Bahkan seorang Hanung Bramantio sendiri awalnya masih gamang ketika mau membuat film bertema Islam.

Hal itu wajar karena Hanung pun tidak bisa menafikan bahwa dirinya adalah produk generasi sekuler yang permisif dan hedonis. Atau secara bahasa sederhananya, tidak mewakili kalangan Islam. Hanung baru tersadar ketika fimnya AAC sukses di pasaran.

Tentu tidak sedikit kalangan insan perfilman yang tetap mencibir, mencemooh dan sinis dengan film Islam. Ungkapan sok suci, jangan munafik, aji mumpung, memanfaatkan kesempatan dan seterusnya, tetap mengalir dari barisan syahwat merdeka.

Sebab sistem yang telah melahirkan mereka telah mencetak otak kanan dan kiri mereka sekaligus, bahwa hidup itu harus hedonis, mengumbar syahwat adalah bagian dari ekspresi kebebasan manusia, sebagai hak yang paling asasi.

Dan jumlah insan perfilman yang model begini harus diakui, sangat banyak, kalau tidak mau dikatakan mayoritas. Dan nyalinya semakin hari semakin gede.

Dulu di zaman ORBA, lembaga sensor sangat ditakuti, karena punya wibawa dan insa perfilman tahu diri. Tapi sekarang, mereka walaupun masih muda, cuma punya nyali yang jauh lebih besar. Sampai punya keinginan kuat untuk membubarkan lembaga sensor.

Mengambil Alih Generasi

Selain melawan dengan membuat produk perfilman yang baik, seperti yang dilakukan oleh generasi film AAC dan nantinya diteruskan dengan produk susulannya, upaya lainnya adalah memotong regenerasi para kader gerakan syahwat merdeka.

Karena percuma saja orang-orang di lembaga sensor bekerja mati-matian, sementara para insan filmnya adalah bagaikan gelombang lautan yang menerpa tepian pantai dengan hempasan ombak yang tidak ada habisnya.

Yang perlu dilakukan adalah bagaimana mencetak insan perfilman yang punya sistem pandangan moral baik. Selama ini kita selalu bersikap masa bodoh dengan fenomena ini.

Pembinaan mahasiswa di IKJ sebagai contoh, rasanya sangat perlu dibantu. Sebab para sineas memang lahir dari institusi seperti ini. Kita pada da'i, ustadz, penceramah dan mereka yang punya potensi, perlu menggarap para mahasiswa IKJ ini secara lebih serius.

Biar bagaimana pun, para mahasiswa itu tetap perlu masukan nilai moral agama secara rutin. Mereka perlu konsumsi ruhani yang tebal. Bahkan mereka perlu pengajian yang intensif. Mereka butuh semua itu.

Sayangnya, sangat sedikit pihak-pihak institusi atau ormas Islam yang tergerak hatinya untuk menggarap mereka. Akibatnya, mereka tumbuh di luar jalur pembinaan keIslaman yang baik.

Jadi jangan salahkan siapa-siapa dulu, kalau begitu banyak produk seni dan film yang nyeleneh dan keluar dari jalur nilai moral. Jangan-jangan kita sendiri yang menjadi penyebab, karena membiarkan saja para mahasiswa film itu tumbuh di bawah bayang-bayang pola hidup permisif nan hedonis.

Almarhum Ustadz Rahmat Abdullah adalah salah satu ustadz yang dahulu sadar akan pentingnya 'menggarap' para mahasiswa IKJ ini. Beliau seringkali meluangkan waktu untuk keluar masuk kampus ini. Karena beliau sadar bahwa para seniman juga manusia, yang butuh maanan ruhani.

Bahkan lebih jauh lagi, beliau sadar bahwa bila para seniman ini tidak dibina oleh kalangan agamis, maka yang akan membina mereka adalah kalangan sekuler, atheis, hedonis dan para pemuja syahwat.

Sayangnya, yang nampak hari ini kemenangan memang masih di pihak kaum sekuler. Sebab kalangan Islamis masih agak malu-malu untuk menggarap para calon sines besar ini. Atau malah tidak punya waktu, karena sibuk membahas strategi pemenangan pilkada dan pemilu?

Maka adanya pihak yang mengingatkan seperti ini rasanya memang perlu. Ternyata tugas dan pe-er kita memang banyak. Jadi kita perlu sinergi dalam berdakwah, tidak mungkin semua potensi dihabiskan di satu titik saja.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc