![]() |
USTADZ MENJAWAB1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | CariRingkas | Rinci |
Manual Menjalankan Agama Islam di Jepang |
PERTANYAAN Assalamu 'alaikum, ustadz Kami mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya atas kedatangan ustadz ke Jepang, sungguh begitu banyak persoalan fiqih yang selama ini kami hadapi dan alhamdulillah dengan kedatangan ustadz, kami lebih tercerahkan. Namun kalau kami perhatikan, di antara kendala masalah syariah yang paling berat kami hadapi justru datang dari kami sendiri. Ternyata kami yang muslim dari Indonesia ini datang dari latar belakang pemahaman syariah yang berbeda-beda. Sehingga terkadang yang terjadi justru kami ini yang bertengkar urusan halal dan haram. Sebagai gambaran, ada teman-teman yang sedemikian ekstrem, sehingga dalam memilih makanan, mereka nyaris mengharamkan semua makanan yang tersedia. Disisi lain, ada teman yang justru terlalu memudah-mudahkan, seolah semua makanan di Jepang ini halal. Jadi kami mohon kepada ustadz sebagai ahli syariah yang sudah sering kami baca kajiannya di situs ini, untuk membuat semacam manual atau guide book yang secara khusus menyelesaikan perbedaan pendapat di antara kami. Agar kami bisa dengan mudah menjalani hidup secara syariah di negeri non Islam ini. Semoga Allah SWT memudahkan perjalanan ustadz selama di Jepang ini. Wassalam |
JAWABAN Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Sangat kami akui bahwa masalah fiqih di dalam kehidupan masyarakat Jepang sangat complicated. Mengingat bangsa Jepang memang secara mayoritas bukan beragama Islam, juga bukan pemeluk agama ahli kitab. Bahkan terkadang agak sulit juga memposisikan mereka, karena agamanya ternyata juga tidak jelas. Tentu saja semua akan berpengaruh kepada bentuk teknis dari kehidupan, mulai dari masalah kehalalan makanan dan minuman, sampai urusan muamalah ekonomi dan lainnya. Semua memang membutuhkan kajian yang mendalam, serta solusi yang komprehensip. Keberadaan buku manual Islami seperti yang anda usulkan itu mutlak diperlukan. Tentu saja kami akan sangat berbahagia bila dapat membantu terlahirkan buku manual seperti itu. Walau pun kami yakin bahwa buku seperti itu tidak mungkin dikerjakan oleh seseorang saja, tanpa melibatkan berbagai pihak. Sebenarnya yang bisa kami lakukan hanyalah sebatas memberikan penjelasan terkait dengan solusi syariah atas berbagai permasahalan menyangkut kehidupan di Jepang. Itu pun sebenarnya masih bisa didiskusikan lagi, sesuai dengan latar belakang manhaj fiqih yang memang beragam itu. Barangkali dengan sedikit tambahan di sana-sini tentang adanya beberapa variasi manhaj fiqih dari beberapa mazhab. Sebab kita memang harus akui bahwa ada beberapa perbedaan teknis dalam tiap mazhab saat memandang dan menginterpretasikan suatu hukum dari dalil-dali yang sebegitu banyak. Sehingga meski namanya buku manual, tetapi karakteristik fiqih yang selalu bisa multi-tafsir dan penuh dengan beragam pandangan, menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan. Dan realitas seperti itu bukan hanya karena kita hidup di masa modern ini saja. Bahkan sejak awal mula lahirnya fiqih Islam yang dibukukan, para mujtahid mazhab sudah merasakan hal yang sama. Fiqih Manual Book di Masa Imam Malik Itulah mengapa Al-Imam Malik rahimahullah menolak saat kitabnya yang legendaris itu diminta untuk dijadikan manual book resmi khilafah Islamiyah saat itu. Konon, sang Khalifah memandang akan jauh lebih baik apabila perbedaan-perbedaan pendapat yang berkembang di tengah umat diselesaikan dengan cara khilafah turun tangan untuk membuat satu pedoman. Biarla khalifah memilih satu kitab yang resmi dijadikan manhaj negara dalam berfikih. Dan pilihan itu jatuh pada kitab yang memang sangat fenomenal di masa itu, Al-Muwaththa' yang disusun oleh ulama tanpa tanding di zamannya, Al-Imam Malik rahimahullah. Sebenarnya sangat layak dan wajar serta memang masuk akal seandainya Al-imam Malik menerima tawaran itu. Bahkan tujuannya pun mulia, yaitu ingin menyatukan umat Islam agar tidak pecah belah. Dan tidak ada seorang pun yang menolak keulamaan dan kepakaran seorang Imam Malik. Beliau adalah imam dari penduduk Madinah, kota yang dahulu nabi Muhammad SAW pernah tinggal di dalamnya selama sepuluh tahun. Dan ilmu serta kapasitas beliau memang telah sampai kepada derajat mujtahid mutlak, yaitu derajat tertinggi dalam hirarki para mujtahid. Di masa beliau hidup, boleh dibilang hanya beliau seorang saja yang menduduki tempat itu, setelah sebelumnya Al-Imam Abu Hanifah yang tinggal di Kufah wafat pada tahun 150 masehi. Namun, Betapa agungnya akhlaq dan kerendahan hati seorang mujtahid mutlak yang satu ini. Alih-alih merasa pintar dan benar sendiri, justru beliau menolak dengan halus kalau kitabnya yang legendaris itu dijadikan manual book buat umat Islam sedunia. Beliau tetap menganggap bahwa apa yang ditulisnya di dalam kitab itu hanyalah hasil ijtihad, yang sementara beliau menganggapnya benar, namun punya ihtimal (kemungkinan) juga mengalami kesalahan-kesalahan. Subhanallah, seorang dengan level mujtahid mutlak ternyata masih juga tawaddhu' dengan ilmunya. Sungguh benar-benar sebuah teladan yang sulit kita temukan di zaman sekarang ini. Yang lebih sering kita saksikan justru sebaliknya, kumpulan orang-orang dengan ilmu yang terbatas, namun memposisikan dirinya sebagai orang yang ilmunya tidak pernah salah. Yang lebih sering kita baca justru orang-orang dengan wawasan terbatas, namun dengan sebegitu pe-denya, telah mengangkat dirinya sebagai mufti yang tidak pernah salah. Bahkan dalam fatwa-fatwanya, lebih sering menyalah-nyalahkan orang lain yang sekiranya tidak sepaham dengan dirinya. Lebih aneh lagi, kita malah lebih sering bertemu dengan para taqlider (tukang taklid) dari para mufti yang ilmunya terbatas ini. Kadang suara mereka jauh lebih keras dan kata-kata mereka jauh lebih tajam dari sebilah pedang. Dengan sadisnya, ditusukkannya pedang itu di dada setiap saudara muslim. Hatinya akan bahagia manakala hati saudara-saudara muslimnya itu tertusuk dengan lisan yang kotor dan wajah yang bengis. Wajahnya akan semakin menampakkan keriangan manakala telah berhasil melontarkan sumpah serapah dan tudingan bid'ah yang menempatkan saudaranya itu sebagai penduduk neraka jahannam, lantaran dianggapnya saudaranya itu telah melakukan bid'ah. Padahal yang diributkan sebagai bid'ah itu ternyata hanyalah wilayah khilafiyah yang sejak zaman dahulu sudah selesai disepakati oleh para ulama. Namun pemandangan buruk yang memilukan itu tidak kita temukan dari seorang Al-Imam Malik. Beliau menolak dengan halus tawaran agar kitab yang berisi pendapat beliau dijadikan manual book standar yang berlaku buat seluruh wilayah khilafah Islamiyah. Beliau masih sempat mengatakan bahwa selain dirinya, masih banyak para mujtahid lain yang punya kesimpulan hukum yang tidak sejalan dengan dirinya. Dengan segala kedalaan ilmu dan keluasan wawasan, beliau memberikan kesempatan kepada mujtahid lainnya untuk berpendapat yang sekiranya tidak sama dengan pendapat beliau. Alangkah indahnya, bila di masa sekarang ini, kita menemukan kembali sosok seperti Al-Imam Malik ini. Maka tawaran untuk membuat manual book khusus untuk kehidupan seorang muslim di Jepang ini bukannya kami tolak, namun barangkali istilahnya bukan manual book. Yah, sekedar sekelumit pendapat selintas yang sekiranya masih mungkin juga berubah. Sekedar sebuah logika alur berfikir fiqhiyah yang menjadi salah satu dari sekian banyak alternatif yang bisa disuguhkan. Sehingga kami agak kurang setuju seandainya dijadikan sebagai satu-satunya pedoman dalam berfiqih di Jepang. Dan kalau pun buku itu akhirnya tercetak pula, maka pasti isinya merupakan dialog dari berbagai manhaj dan mazhab fiqih. Isinya pasti bukan fatwa kaku yang tidak punya landasan alur logika. Sebaliknya, kami terbiasa membawakan berbagai macam pendapat dan dilengkapi dengan latar belakang istidlalnya. Itulah yang kami pelajari dari Dr. Salim Segaf Al-Jufri, MA dan para doktor syariah saat dahulu duduk di LIPIA sebagai mahasiswa fakultas Syariah S-1. Semoga keinginan atau tepatnya kebutuhan adanya sebagai guide book itu bisa terlaksana. Tentunya dengan bantuan semua pihak, wabil khusus para warga negara Indonesia di Jepang. Syukur kalau seandainya buku itu ada yang mensponsori sebagai buku wakaf fi sabililah. Sehingga tidak perlu dijual, tapi bisa didapat dengan mudah, misalnya di Kedutaan Besar Jepang di Jakarta. Sehingga siapa pun yang sedang mengurus visa ke Jepang, pasti bisa mendapatkannya dengan gratis atas wakaf dari para muhsinin. Ah, satu lagu peluang mendulang pahala di akhiratnya. Ayo, siapa lagi yang mau ke surga. Jadi ingat kondektur bus kota di Jakarta kalau menawarkan busnya di malam hari. Blok M..Blok M...kosong...kosong... Kita juga bisa melakukan hal yang sama, "Surga..surga..kosong...kosong.. bisa duduk..." Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc |
1. Aqidah |
2. Al-Quran |
3. Hadits |
4. Ushul Fiqih |
5. Thaharah |
6. Shalat |
7. Zakat |
8. Puasa |
9. Haji |
10. Muamalat |
11. Pernikahan |
12. Mawaris |
13. Kuliner |
14. Qurban Aqiqah |
15. Negara |
16. Kontemporer |
17. Wanita |
18. Dakwah |
19. Jinayat |
20. Umum |