![]() |
USTADZ MENJAWAB1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | CariRingkas | Rinci |
Menyambung Masalah Perbedaan |
PERTANYAAN Assalamualaikum Pak ustadz saya memahami mengenai segala jenis perbedaan dalam tubuh umat Islam dan saya sendiri tidak saklek dalam hal perbedaan ini. Contohnya walau saya tidak tahlilan tapi jika ada tetangga dekat mengundang saya akan hadir walau hanya sekadar duduk-duduk saja. Dan tetangga saya pun tidak begitu mempermasalahkan. Hanya yang jadi pemikiran saya yaitu apakah ini (perbedaan-perbedaan dalam agama) yang dikehendaki Rasul SAW? Apakah Rasul akan senang jika melihat kondisi umatnya sekarang yang selalu ribut karena perbedaan-perbedaan itu? Karena secara Sunnatullah perbedaan pasti membawa pada pertentangan. Kecil sekali prosentase ummat di mana perbedaan menjadi berkah. Lihat Indonesia, walau sudah 50 tahun lebih slogan Bhineka Tunggal Ika dikumandangkan tetap saja tawuran dan kerusuhan terjadi. Apakah ada cara untuk menyatukan perbedaan-perbedaan itu misalnya dengan KeKhalifahan? Terima kasih ya Ustadz. Mohon maaf jika saya terdengar lancang. Jazakumullah. |
JAWABAN Perbedanaan pandangan masalah fiqih adalah sesuatu yang sejak zaman nabi SAW sudah ada. Jadi justru akan tambah aneh kalau sekarang ini malah diributkan. Perbedaan pendapat itu boleh ada dan memang niscaya ada. Tapi yang haram adalah saling menghina dan saling caci karena perbedaan tersebut. Atau sampai saling mengkafirkan dan membid'ah, sampai tega-teganya tidak mau bertegur sapa. Sikap keras para ulama terdahulu sebenarnya bukan pada masalah khilafiyah, tetapi pada masalah yang memang secara ijma' telah disepakati sebagai perbuatan yang keluar dari agama Islam. Kami telah terangkan di rubrik ini beberapa kasus di mana para ulama memang bersikap sangat keras kepada suatu kelompok. Misalnya sampai perintah untuk memboikot, bahkan tidak mau menshalati jenazahnya. Sayangnya sikap keras itu kemudian oleh orang-orang yang tidak bertanggung-jawab, ditiru bukan pada tempatnya. Sikap keras itu malah dilakukan justru hanya karena sekedar ada sedikit perbedaan pendapat dalam urusan fiqhiyah, yang nyata tidak ada kaitannya dengan urusan penyimpangan akidah. Ketika Sufyan At-Tsauri melarang orang-orang menshalatkan jenazah seseorang yang mati, ternyata karena orang itu memang telah divonis kafir oleh Mahkamah Syar'iyah. Bukan karena orang itu sekedar punya pandangan yang berbeda karena memang ada urusan khilafiyah yang belum selesai. Sikap tegas ulama sekelas Sufyan At-Tauri itu amat wajar, karena seorang yang telah resmi divonis kafir oleh negara berarti dia memang telah resmi menjadi non muslim. Dan haram hukumnya menshalati jenazah non muslim. Siapapun yang pada hari ini telah murtad dan keluar dari agama Islam, kalau dia meninggal memang tidak perlu dishalatkan. Tapi kalau ada orang masih merayakan maulidan, karena dalam pandangannya bahwa maulidan itu tidak bid'ah dan tidak membuat dirinya kafir, bagaimana mungkin kita memutuskan untuk tidak menshalatkan jenazahnya. Mana mungkin kita mengatakan bahwa siapa saja yang merayakan maulid maka dia adalah ahli bid'ah dan masuk neraka, lalu jenazahnya tidak boleh dishalati? |
1. Aqidah |
2. Al-Quran |
3. Hadits |
4. Ushul Fiqih |
5. Thaharah |
6. Shalat |
7. Zakat |
8. Puasa |
9. Haji |
10. Muamalat |
11. Pernikahan |
12. Mawaris |
13. Kuliner |
14. Qurban Aqiqah |
15. Negara |
16. Kontemporer |
17. Wanita |
18. Dakwah |
19. Jinayat |
20. Umum |