JAWABAN
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Berikut ini saya kutipkan beberapa ulama baik dari mazhab Al-Hanafiyyah, Maliki, Syafi`i dan juga Hambali memiliki beberapa pendapat yang perlu kita ketahui bersama. Antara lain:
A. Mazhab Al-Hanafiyyah
Para ulama mazhab Al-Hanafiyyah seperti Kasani dalam kitabnya Badai`u as-Shana`i, Ibu Hammam dalam Fathul Qadir, dan as-Sarakhsi dalam kitabnya al-Mabsuth tidak pernah menulis bahwa wanita boleh mengimami laki-laki.
Bahkan, jumhur ulama dari mazhab Al-Hanafiyyah mengatakan bahwa makruh hukumnya apabila wanita menjadi imam bahkan bagi para makmum sesama wanita. Maka, jika wanita dikatakan makruh untuk mengimami sesama wanita, maka mana mungkin mengimami laki-laki diperbolehkan.
Adapun Zufar yang dituduh membolehkan wanita mengimami laki-laki ternyata tidak terbukti secara valid, baik dari karya tulis yang beliau tulis sendiri atau dari kesaksian dari ulama lain. Zufar memang pernah berbeda pendapat dengan sesama ulama mazhab Al-Hanafiyyah dalam hal niat shalat jamaah laki-laki dan wanita.
Beliau mengatakan: ”Wanita boleh ber-iqtida` (mengikuti/bermakmum) pada laki-laki walaupun imam laki-laki itu tidak meniatkan diri menjadi imam atas makmum wanita yang kemudian bermakmum di belakangnya” . Hal ini berbeda dengan pendapat ulama mazhab Al-Hanafiyyah lainnya yang mengatakan bahwa shalat wanita yang bermakmum pada laki-laki tidak sah jika si imam tidak meniatkan untuk menjadi imamnya.
Dalam hal ini, Zufar berbeda pendapat mengenai sah atau tidaknya wanita sebagai makmum dari imam laki-laki, bukan mengenai pembolehan wanita untuk menjadi imam bagi laki-aki.
B. Mazhab Al-Malikiyyah
Imam Al-Qurthubiy (Al-Imam Abu Umar Yusuf Bin Abdil Barri an-Namiriy al-Qurthubiy) berpendapat bahwa laki-laki muslim tidak boleh bermakmum pada imam dari kaum wanita, atau kaum banci yang tidak jelas jenis kelaminnya, atau kaum kafir, atau orang gila, atau orang yang ummiy (tidak bisa baca dan tulis).
Imam as-Syaukani mengatakan bahwa pada masa Rasulullah SAW tidak pernah ditetapkan bolehnya wanita untuk menjadi imam bagi laki-laki. Hal ini juga tidak pernah terjadi di masa Rasulullah SAW, tidak pula di masa para sahabat dan tabi`in. Rasulullah telah menetapkan bahwa barisan shaf wanita adalah di belakang shaf kaum laki-laki, bukan sebaliknya.
Imam Abi Muhammad al-Bahlawiy al-Ummaniy mengatakan bahwa wanita tidak boleh menjadi imam bagi laki-laki, dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha mengenai hal ini.
Ibnu Rusyd al-Hafid menulis kan dalam kitabnya, Bidayatul Mujtahid, bahwa sudah menjadi sunnah bagi wanita untuk mengambil tempat di belakang kamu laki-laki, itu artinya kaum wanita tidak boleh berada di depan kaum laki-laki dalam barisan shaf shalat. Oleh karena itulah sebagian ulama membolehkan wanita untuk mengimami makmum dari sesama kaum wanita saja.
C. Mazhab as-Syafi`iyyah
Imam Syafi`i mengatakan dalam kitab fenomenalnya al-Umm : apabila wanita shalat kemudian di belakangnya ada makmum dari kaum laki-laki, kaum wanita dan anak-anak laki-laki, maka shalatnya kaum wanita tadi sah, sedangkan shalatnya kaum lelaki dan anak-anak laki-laki tadi tidak sah karena Allah SWT telah menjadikan kaum laki-laki pemimpin (qawwam) atas kaum wanita, maka tidaklah boleh bagi wanita untuk menjadi imam bagi kaum laki-laki dalam keadaan apapun selama-lamanya.
Imam Nawawi mengatakan bahwa wanita tdak boleh menjadi imam bagi laki-laki, baik laki-laki baligh maupun anak-anak. Beliau juga tidak membolehkan wanita untuk menjadi imam bagi kaum laki-laki, baik dalam shalat fardhu, shalat tarawih, dan seluruh shalat sunnah lainnya .
D. Mazhab Al-Hanabilah
Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa kaum wanita dan kaum banci tidak sah untuk menjadi imam kecuali bagi makmum dari kaum wanita saja. Demikian pula pendapat Ibnu Qudamah dalam kitabnya yang masyhur ‘al-Muqni`.
Demikianlah pemaparan para ulama yang faqih dan zahid yang mencurahkan jiwa dan raganya demi kepentingan ummat. Maka, dengan mengetahui semua pendapat para ulama di atas, mudah-mudahan para wanita masa kini tidak terjebak dalam perangkap kesalahan yang dibuat oleh kalangan feminis dan pemuja emansipasi wanita radikal, apalagi para kalangan liberalis pluralis yang menyesatkan.
Islam menempatkan shaf wanita di belakang kaum laki-laki bukan untuk menjadikan kaum wanita sebagai kaum marjinal apalagi menjadikan mereka sebagai kelas kedua dalam masyarakat, akan tetapi hal ini untuk dipahami secara positif sebagai perintah dan aturan yang Allah tentukan demi kemashlahatan bersama.
Wanita diposisikan dalam shaf di belakang laki-laki, salah satu hikmahnya adalah agar shalat jamaah berlangsung lebih sakral dan khusyu` serta menjauhkan wanita dari pandangan nakal mata kaum laki-laki yang tidak jarang mengundang nafsu.
Maka, penempatan wanita di shaf yang berada di belakang kaum laki-laki tidaklah untuk ditafsirkan sebagai marjinalisasi kaum wanita. Sebaliknya, justru dengan itulah martabat kaum wanita ditinggikan. Dengan berada di shaf belakang kaum laki-laki, wanita akan terhindar dari tatapan nafsu yang tidak halal dari kaum laki-laki.
Shalat adalah penghambaan yang serendah-rendahnya dan setunduk-tunduknya pada Sang Khaliq Yang Maha Kuasa. Maka, ritual suci ini hendaknya dilaksanakan dengan penuh khidmat dan khusyu`.
Wassalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
|