USTADZ MENJAWAB

1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | Cari

Ringkas | Rinci
Benarkah Orang Shalih Menjauhi Kekuasaan?

Benarkah Orang Shalih Menjauhi Kekuasaan?

PERTANYAAN

Assalamu 'alaikum wr. wb.

Ustadz Ahmad Sarwat yang dirahmati Allah.

Sungguh perih rasa di hati melihat carut-marut orang bertikai untuk memperbutkan kekuasaan dan jabatan. Sampai-sampai mereka rela kehilangan harta benda, kehormatan bahkan harga diri, yang penting bisa mendapatkan jabatan. Mohon ustadz sedikit memberikan pencerahan, apakah kita umat Islam ini memang dianjurkan untuk mengejar-ngejar jabatan, ataukah bagaimana?

Saya pernah mendengar bahwa para ulama di masa lalu -konon- berhamburan dan berlarian kalau diminta jadi pejabat. Bagaimana kisah mereka ustadz, mohon tetes embun di padang gersang dicurahkan.

Terima kasih

Wassalam

JAWABAN

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Benar sekali bahwa ada sebagian ulama yang shalih di masa lalu, meski mereka benar-benar ahli dalam hukum agama, namun sama sekali tidak tertarik ketika ditawarkan untuk menjadi pejabat negara, yang dalam hal ini untuk menjadi qadhi.

Al-Imam As-Suyuthi (w. 911 H) menuliskan dalam salah satu kitabnya yang judulnya Dzammul Qadha’ wa Taqallud Al-Ahkam bahwa pernah suatu ketika Khalifah Al-Manshur dari Khilafah Bani Abasiyah memanggil para ulama dan orang shalih untuk menjadi hakim.

Dan karena jabatan seperti ini tidak boleh diserahkan kepada sembarang orang, maka Khalifah selektif sekali dalam memilih siapa yang layak. Dari semua ulama yang ilmunya banyak itu, ternyata keluar nama-nama penting, antaranya ada Imam Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsauri, Mis’ar dan Syuraik.

Maka Khalifah pun mengutus para ajudannya untuk datang satu per satu menemui para ulama besar di Baghdad saat itu. Harapannya, kalau jabatan qadhi ini diserahkan kepada ulama yang benar-benar ahli di bidangnya, maka negara insyaallah akan jadi aman dan adil.

Tetapi apa yang terjadi sungguh sangat di luar perkiraan Khalifah. Alih-alih menerima tawaran jabatan sebagai qadhi, ternyata tidak satupun dari mereka yang mau memenuhi permintaan Khalifah. Padahal jabatan itu sangat penting dan sedemikian menjanjikan, baik untuk kemaslahatan agama atau pun juga dunia.

Satu per satu utusan itu pulang tanpa hasil dan kembali menghadap Khalifah. Laporan yang masuk menyebutkan bahwa Al-Imam Abu Hanifah tegas-tegas menolak tawaran jadi qadhi. Sedangkan Sufyan Ats-Tsauri yang juga ulama besar malah melarikan diri meninggalkan kota Baghdad demi untuk menghindari sekedar jabatan itu.

1. Abu Hanifah

Abu Hanifah yang sebenarnya seorang ulama ahli fiqih terbesar  di masanya saat itu menjawab sangat diplomatis :

أنا رجل مولى ولست من العرب ولا تكاد العرب ترضى بأن أكون عليهم مولى، ومع ذلك فإني لا أصلح لهذا الأمر فإن كنت صادقاً في قولي فلا أصلح له وإن كنت كاذباً فلا يجوز لك أن تولى كاذباً دماء المسلمين وفروجهم

Saya ini seorang keturunan budak dan bukan bangsa Arab. Bangsa Arab mana bisa menerima dipimpin oleh bukan Arab, lagi pula Aku bukan orang yang tepat untuk memegang jabatan ini. Meskipun Aku benar dalam perkataanku, tetap saja tidak sesuai bagi Arab. Apalagi bila Aku dusta, maka orang yang berdusta tidak layak jadi memimpin bertanggung-jawab atas darah umat Islam dan kehormatannya. [1]

Padahal semua orang tahu bahwa beliau orang yang paling layak untuk menjadi qadhi, karena paling tinggi derajat ilmunya dan paling mengerti Al-Quran dan Sunnah. Jabatan itu pun bukan diperebutkan macam pilkada atau pemilu di zaman sekarang, melainkan dimohonkan langsung oleh Khalifah. Beliau malah dipaksa untuk menjabat amanah yang sangat tepat baginya. Namun tetap saja menolak dengan seribu satu alasan.

2. Sufyan At-Tsauri

Yang lebih parah adalah kisah kaburnya Sufyan At-Tsauri dari jabatan. Beliau kabur dalam arti yang sebenarnya. Dikisahkan sampai di pinggir pantai dan melihat ada perahu nelayan, beliau pun  memaksa nelayan itu membolehkannya menumpang di perahunya, demi sekedar menghindari diri dari jabatan qadhi. Kepada nelayan itu, Sufyan Ats-Tsauri berkata :

إن مكنتني من سفينتك وإلا أذبح بغير سِكِّينٍ

Sembunyikan Aku dalam perahumu, kalau tidak nanti Aku disembelih tanpa pisau.

Ungkapan disembelih tanpa pisau beliau kutip dari hadits Nabi SAW yang menggambarkan bahwa seorang yang dijadikan qadhi itu ibarat orang yang disembelih tanpa pisau, sebagaimana hadits shahih yang nashnya sebagai berikut :

مَنْ جُعِلَ قَاضياً فَكَأَنَّماَ ذُبِحَ  بِغَيْرِسِكِّينٍ

Orang yang diangkat menjadi qadhi ibarat disembelih tanpa pisau. (HR. Ahmad)

Hadits ini dishahihkan oleh banyak ulama dan tidak ada masalah dengan peirwayatannya. Al-Imam Adz-Dzahabi dan Al-Imam Al-Baihaqi menshahihkannya. Hanya ada ungkapan yang menarik didiskusikan tentang ungkapan ‘disembelih tanpa pisau’. Dalam hal ini para ulama menyebutkan ada dua kemungkinan makna atas ungkapan tersebut.

Pertama : kemungkinan maksudnya hal yang dil uar kebiasaan. Dijadikan qadhi itu adalah peristiwa yang sangat bertentangan dengan adat dan kebiasaan. Dimana umumnya orang menyembelih hewan itu pakai pisau. Kalau sampai hewan disembelih tanpa pisau, berarti kejadian yang dahsyat, langka dan aneh. Maksudnya dijadikan qadhi itu adalah sesuatu yang dashyat di luar kebiasaan para ulama.

Kedua : kemunginan maksudnya sangat menyakitkan. Dan untuk menjelaskan betapa sangat menyakitkannya bila seorang ulama dijadikan qadhi, lalu dibuat perumpaan ibarat sakit yang dirasakan hewan ketika matinya tidak disembelih.

Matinya dengan cara dicekik, atau diplintir, atau bahkan dibanting dan diinjak-injak sampai mati. Sebuah bentuk penyiksaan yang tidak manusiawi meskipun dilakukan pada hewan.

Pelajaran

Kisah-kisah teladan seperti ini memang bisa jadi penyejuk dan tetes embun di padang gersang. Nampaknya di hari ini kisah-kisah semacam ini memang sudah nyaris kita pernah lagi kita dapatkan.

Selain langkanya para ulama yang ahli di bidang ilmu syariah seperti mereka, juga kebanyakannya malah senang sekali kalau bisa dipercaya untuk menjabat jabatan tertentu di pemerintahan. Bahkan tidak jarang mereka rela ikhlas menggelontorkan dana bermilyar untuk bisa mendapatkan jabatan itu.

Ternyata kita memang hidup di penghujung akhir dari zaman yang semakin jauh dari masa-masa keemasan dahulu.

Wassalamu 'alaikum warahmatulahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.,MA

[1] Al-Imam As-Suyuthi, Dzammul Qadha’ wa Taqallud Al-Ahkam, hal. 89