![]() |
USTADZ MENJAWAB1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | CariRingkas | Rinci |
Bolehkah Merevisi Mahar Setelah Akad? |
PERTANYAAN Ustadz, saya punya seorang keponakan (perempuan) yang ketika dulu dilamar oleh suaminya (kini telah menikah), meminta mahar berupa seperangkat perhiasan dan hapalan Al-Quran surah An-Nisa. Permintaan ini disanggupi; untuk seperangkat perhiasan sudah lunas dibayar tunai, sedangkan hapalan surah An-Nisa dicicil sesudah menikah. Kini, setelah melewati usia 6 bulan pernikahan, keponakan saya melihat progress pelunasan hapalan surah An-Nisa itu berjalan menurun bahkan cenderung stagnan. Perlu diketahui bahwa suami keponakan saya ini sedang mengambil studi spesialis di dalam bidang kedokteran di Jepang (istrinya ikut ke sana). Suaminya berdalih bahwa dirinya memang amat sangat sibuk, sedangkan istrinya berpendapat kemauan suaminya yang kurang; karena menurut cerita keponakan saya, kadang-kadang suaminya masih sempat menulis blog, meng-update status di socmed, atau menonton TV. Yang ingin saya tanyakan, bagaimana sebaiknya untuk solusi masalah ini, Ustadz? Apakah boleh mahar itu direvisi setelah menikah? Atau sang suami tetap wajib mutlak memenuhi mahar hapalan surah An-Nisa itu, atau dengan kata lain berarti kemauannya yang harus ditingkatkan? Mohon pandangan dan masukannya, Ustadz. Syukron jazakumullah khayran.. |
JAWABAN Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Untuk menjawab masalah ini, menurut hemat saya ada dua hal yang penting untuk dibahas. Pertama, tentang hakikat mahar dalam syariat Islam. Kedua tentang hukum merevisi mahar itu sendiri. A. Hakikat Mahar Dalam Syariat Islam Pada hakikatnya yang disebut mahar atau maskawin itu adalah kewajiban suami untuk memberi harta atau nafkah kepada istri. Tidaklah mahar itu diterjemahkan menjadi mas kawin, kecuali karena sebenarnya bentuk asli dari mahar itu memang emas. Emas disini bukan sembarang emas, tetapi emas yang dimaksud adalah uang. Di masa lalu, orang-orang tidak mengenal uang dalam bentuk kertas yang dicetak di pabrik. Wujud fisik uang di masa lalu tidak lain adalah emas. Maka generasi sebelum kita sudah benar ketika menterjemahkan mahar dengan sebutan mas kawin. 1. Mahar Hafalan Al-Quran? Ada pun mas kawin dalam bentuk hafalan ayat Al-Quran, sebenarnya tidak ada rujukannya. Sebab pekerjaan menghafal ayat Al-Quran bukan termasuk harta. Kalau pun di masa Nabi SAW ada shahabat yang memberi mahar dalam bentuk bacaan Al-Quran, maksudnya bukan dia menghafalkan ayat Al-Quran. Justru dia sudah hafal ayat Al-Quran. Dan maksudnya juga bukan lantas istrinya itu dibacakan ayat-ayat Al-Quran. Sebab istrinya tidak dalam keadaan kesurupan, atau sakit keras hampir meninggal dunia, sehingga harus dibacakan ayat-ayat Al-Quran. Yang benar adalah shahabat itu adalah seorang yang punya ilmu tentang Al-Quran, termasuk menghafal ayat-ayatnya. Dan dia mampu mengajarkan ilmu-ilmu Al-Quran itu kepada orang, bahkan bisa menghasilkan harta. Silahkan perhatikan teks hadits berikut ini : Dari Sahal bin Sa'ad bahwa nabi SAW didatangi seorang wanita yang berkata,"Ya Rasulullah kuserahkan diriku untukmu", Wanita itu berdiri lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata," Ya Rasulullah kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya". Rasulullah berkata," Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar? dia berkata, "Tidak kecuali hanya sarungku ini" Nabi menjawab,"bila kau berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya sarung lagi, carilah sesuatu". Dia berkata," aku tidak mendapatkan sesuatupun". Rasulullah berkata, " Carilah walau cincin dari besi". Dia mencarinya lagi dan tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Nabi berkata lagi," Apakah kamu menghafal qur'an?". Dia menjawab,"Ya surat ini dan itu" sambil menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Nabi,"Aku telah menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan qur'anmu" (HR Bukhari Muslim). Dalam beberapa riwayat yang shahih disebutkan bahwa beliau bersabda,"Ajarilah dia Al-Quran". Maksudnya, maharnya adalah mengajarkan calon istrinya itu ilmu-ilmu Al-Quran. Dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa jumlah ayat yang diajarkannya itu adalah 20 ayat dan bukan keseluruhan ayat Al-Quran. Jadi jelas sekali bahwa yang dimaksud dengan mahar dalam bentuk membacakan ayat Al-Quran tidak lain adalah mengajarkan. Ya, mengajarkan ayat-ayat Al-Quran adalah sebuah kerja yang 'bisa diuangkan'. Sebab para dosen dan guru besar ilmu tafsir dan ilmu qiraat memang berhak untuk dibayar atas jasa mengajarkan ayat-ayat Al-Quran.Sekedar sebuah perbandingan, ketika ada orang-orang kafir yang dijadikan tawanan dalam perang Badar, maka Rasulullah SAW menawarkan tebusan mereka dalam bentuk jasa mengajarkan ilmu baca dan tulis. Bila berhasil mengajarkan baca dan tulis kepada 10 orang dari kaum muslimin, maka jasa mengajarnya itu setara dengan harga uang tebusan. Maka mereka dengan sendiri otomatis telah menebus dirinya dan akan menghirup udara kebebasan. Begitu juga dengan mengajar Al-Quran, juga merupakan jasa mengajar yang bisa dinilai secara nominal. Jadi ketika ada shahabat yang tidak punya uang untuk dijadikan pembayar mahar, tetapi dia punya ilmu yang terkait dengan pengajaran Al-Quran, maka jasa mengajar itulah yang dijadikan mahar. Tentu dalam hal ini harus ada dua syarat mendasar : Pertama, si suami memang seorang guru yang punya ilmu mendalam tentang Al-Quran. Kalau si suami bukan orang yang layak untuk mengajar, karena sebenarnya dia pun orang awam, maka mahar dalam bentuk mengajar menjadi tidak ada artinya. Masak sih orang bodoh disuruh mengajar? Apa yang mau diajarkan?. Kedua, si istri adalah orang yang tidak punya ilmu tersebut dan punya kebutuhan untuk mempelajari ilmu-ilmu Al-Quran. Kalau istrinya lebih pintar dan lebih mendalam ilmunya dibandingkan suaminya dalam masalah ilmu-ilmu Al-Quran, maka bukan pada tempatnya kalau dia belajar dari suaminya yang justru lebih bodoh dan lebih rendah ilmunya. 2. Mahar Rasulullah SAW Sebaik-baik contoh dalam urusan agama, termasuk mahar, tentunya Rasulullah SAW. Pernahkah beliau SAW memberi mahar dalam bentuk dibacakan ayat Al-Quran? Jawabnya tentu saja tidak pernah. Lalu apa bentuk dan nilai mahar Rasulullah SAW kepada istri beliau? a. Mahar Khadijah Sebut saja mahar untuk istri pertama beliau, yaitu Khadijah radhiyallahuanha. Sebagian riwayat menyebutkan maharnya adalah 100 ekor unta. Sebagian lagi menyebutkan 10 ekor unta. Anggaplah kita pakai versi yang lebih murah, yaitu 10 ekor. Berapa nilai harga 10 ekor unta? Kalau sapi di negeri kita harganya 20 juta, anggaplah unta harganya 30 juta. Maka kalau 10 ekor unta, setidaknya harganya tidak akan kurang dari 300 juta. Sekedar catatan saja, mahar ini untuk Khadijah, dimana ketika menikahinya, saat itu usia Rasulullah SAW baru 25 tahun, belum jadi nabi dan belum jadi kepala negara. Masih bujangan ting-ting. b. Mahar Aisyah Dari dari Abi salamah berkata: Aku pernah bertanya kepada Aisyah: Berapakah mahar Rasulullah SAW? Ia menjawab: Adalah mahar kepada istri-istrinya itu dua belas setengah uqiyah. Aisya bertanya: Tahukah engkau apakah annasysyu, jadi seluruhnya yaitu lima ratus dirham”(HR Jama’ah kecuali Bukhari dan Tirmidzi) Dari riwayat diatas didapat bahwa mahar Rosul SAW itu nominalnya mencapai 500 dirham. Pada zaman itu jika kita asumsikan bahwa nilai 1 dirham itu setara dengan 10 dirham, maka akan didapat bahwa nilai nominal mahar Rosul mencapai angka 50 dinar. Angka yang cukup besar jika kita rupiahkan pada sa’at ini. Anggap saja nilai 1 dinar sa’at ini adalah Rp 2,000,000,-, maka nilai maharnya Rosul mencapai angka Rp100,000,000,-. Angka yang luar biasa. Asumsi perbandingan dinar dengan dirham dalam skala 1:10 di dapat dari hadits Rosul SAW tentang kewajiban membayar zakat harta. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ra, Rasulullah SAW bersabda: “Jika Anda memiliki dua ratus dirham dan telah berlalu waktu satu tahun, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebanyak lima dirham. Anda tidak mempunyai kewajiban apa-apa sehingga Anda memiliki dua puluh dinar dan telah berlalu waktu satu tahun, dan Anda harus berzakat sebesar setengah dinar. Jika lebih, maka dihitung berdasarkan kelebihannya dan tidak ada zakat pada harta sehingga berlalu waktu satu tahun” (HR. Abu Dawud). Dari sini didapat bahwa 20 dinar emas itu setara dengan 200 dirham, artinya rasio perbandingannya adalah 1:10. c. Ummu Habibah Dalam riwayat lain kita bahkan akan lebih tercengang lagi dengan mahar yang pernah Rosul SAW berikan kepada sebagian istrinya, simak saja riwayat berikut: “Dan dari “Urwah dari Umi Habibah, sesungguhnya Rasulullah saw. Telah mengawininya, sedang ia berada di Habasyah yang dinikahkan oleh Najasyi (raja Habasyah) dan ia memberi mahar empat ribu (dirham) serta memberi perbekalan dari dirinya sendiri, ia mengirimnya bersama Syurahbil bin Hasanah dan Rasulullah saw. tidak mengirim apapun kepadanya sedang mahar untuk istri-istrinya (yang lain) adalah empat ratus dirham” (HR Ahmad dan Nasai). Ternyata Rosul SAW pernah memberikan mahar kepada salah istrinya yang bernama Ummi Habibah sebesar 4000 dirham. Jika rasio perbandingan dinar dan dirham pada zaman itu adalah 1:10, maka kita akan mendapati bahwa mahar beliau seniai 400 dinar. Jika dinar sekarang mencapai angka Rp 2,000,000,- maka nilai mahar Rosul SAW mencapai Rp. 800,000,000,-. B. Merevisi Nilai Mahar Harta mahar telah ditetapkan dalam syariat bahwa 100% menjadi hak seorang wanita. Maka besar dan kecilnya nilai mahar, juga 100% terletak di tangan seorang wanita. Kalau dia mau mahar dengan nilai tertentu, maka suami harus memenuhinya. Sebaliknya, kalau dia minta dengan nilai yang jauh lebih rendah, juga tetap merupakan haknya. a. Tidak Ada Ambang Batas Maksimal Di masa khalifah Umar, ada sedikit permintaan dari para laki-laki yang mengeluhkan betapa mahalnya tarif mahar para wanita di masa itu. Maka Umar berinisiatif untuk memberikan plafon atau angka tertinggi, yaitu 400 dirham. Sekedar perbandingan saja, harga seekor ayam di masa itu kurang lebih satu dirham. Jadi misalnya harga ayam di zaman kita 25 ribu, maka kira-kira 10 juta rupiah. Ini cuma angka kira-kira saja, sekedar bisa dibayangkan nilainya. وَإِنْ أَرَدتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنطَارًا فَلاَ تَأْخُذُواْ مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَاناً وَإِثْماً مُّبِيناً Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain , sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan dosa yang nyata? (QS. An-Nisa' : 20) Seketika Umar pun tersentak kaget dan berkata,"Allahumma afwan, ternyata orang -orang lebih faqih dari Umar". Kemudian Umar meralat ketetapannya dan berkata,"Sebelumnya aku melarang kalian untuk menerima mahar lebih dari 400 dirham, sekarang silahkan lakukan sekehendak Anda". Kebanyakan ulama juga tidak menetapkan batas minimal mahar, sehingga ada wanita di masa Nabi SAW yang rela tidak mendapatkan mahar dalam bentuk benda atau jasa yang bisa dimiliki. Cukup baginya suaminya yang tadinya masih non muslim itu untuk masuk Islam, lalu waita itu rela dinikahi tanpa pemberian apa-apa. Atau dengan kata lain, keIslamanannya itu menjadi mahar untuknya.
Dari Anas bahwa Abu Thalhah meminang Ummu Sulaim lalu Ummu Sulaim berkata," Demi Allah, lelaki sepertimu tidak mungkin ditolak lamarannya, sayangnya kamu kafir sedangkan saya muslimah. Tidak halal bagiku untuk menikah denganmu. Tapi kalau kamu masuk Islam, keislamanmu bisa menjadi mahar untukku. Aku tidak akan menuntut lainnya". Maka jadilah keislaman Abu Thalhah sebagai mahar dalam pernikahannya itu. (HR Nasa'i). Hadist ini menunjukkan bahwa boleh hukumnya bila seorang wanita tidak meminta mahar sedikit pun. c. Revisi Bentuk Mahar Maka kalau seorang istri merevisi mahar yang menjadi haknya, atau malah membatalkan sama sekali permintaannya, yang secara hukum syariat memang sudah menjadi haknya, tentu tidak ada larangan. Walau pun hal itu berbeda dengan kebiasaan orang pada umumnya. Dalam mazhab Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi'iyah disebutkan bahwa bila seorang wanita melepaskan haknya untuk menerima mahar dari suaminya, maka suaminya bebas dari kewajiban membayar mahar. Namun kalau mau ditukar menjadi bentuk yang lain, pada dasarnya juga tidak masalah. Misalnya, kewajiban menghafal Al-Quran itu diganti menjadi rumah kontrakan petak 20 pintu, atau 20 unit angkot, yang sifatnya memberikan passive income bagi istri, tentu akan jauh lebih bemanfaat, bahkan malah lebih sesuai dengan sunnah. Walalhu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc., MA |
1. Aqidah |
2. Al-Quran |
3. Hadits |
4. Ushul Fiqih |
5. Thaharah |
6. Shalat |
7. Zakat |
8. Puasa |
9. Haji |
10. Muamalat |
11. Pernikahan |
12. Mawaris |
13. Kuliner |
14. Qurban Aqiqah |
15. Negara |
16. Kontemporer |
17. Wanita |
18. Dakwah |
19. Jinayat |
20. Umum |