![]() |
USTADZ MENJAWAB1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | CariRingkas | Rinci |
Apa Alasannya Semua Sahabat Dihukumi Adil dalam Hadits? |
PERTANYAAN Assalamualaikum wr wb, Pa ust yg saya hormati, Apa alasan atau dalilnya bahwa semua sahabat Rasul itu dihukumi adil dalam Jarh Wa Ta'dil? 1. Bukankah sesama sahabat juga ada yang bermusuhan, bahkan bisa jadi menganggap buruk satu sama lain, toh berperang saja terjadi,apalagi menilai buruk. Lalu darimana kita bisa menilai semua sahabat adil? 2. Bukankah sahabat ada yg imannya masih lemah, kuat, ada yg ilmunya masih sedikit, banyak, pasti ada juga yang hafalannya belum tentu kuat, bahkan ada banyak yang pernah berbuat dosa. Sedangkan perawi hadits non sahabat 'salah' sedikit saja sudah bisa dinilai dhaif. Mohon dijelaskan, syukron Jazakallah |
JAWABAN Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Pertanyaan ini sebenarnya bagus dan sangat menarik, karena memang sangat esensial dan fundamental. Namun di sisi lain juga harus berhati-hati. Sebab tema tentang sifat al-adalah dari para shahabat ini juga masuk ke dalam ruang lingkup aqidah yang fundamental, dimana bila kita punya persepsi yang keliru, urusannya bisa sampai menjadi salah satu penyebab gugurnya aqidah kita, dan juga menjadi salah satu dari dari penyebab kekafiran. Sebab para ulama ahlussunnah wal jamaah umumnya sudah berijma' bahwa siapa saja yang menentang atau menolak ekssitensi sifat al-'adalah bagi para shahabat, maka gugurlah keislamannya. Saya tidak mengatakan bahwa saudara penanya ini termasuk kelompok penentang, karena saya yakin pertanyaan ini tidak lahir dari sikap penentangan. Sebaliknya, pertanyaan ini lahir dari rasa ingin tahu dan penasaran serta ingin menambah ilmu dan wawasan, yang tentunya pertanyaan ini berhak untuk mendapatkan jawaban yang layak. Saya kira wajar saja kalau banyak orang awam masih agak kurang memahami secara detail duduk permasalahannya. Tidak sedikit dari kita yang bertanya-tanya, yaitu kenapa al-jarhu wa at-ta'dil tidak diterapkan kepada para shahabat. Padahal faktanya, para shahabat juga bukan orang yang makshum atau kebal dosa. Mereka kadang punya kesalahan, lupa, teledor, bahkan juga saling berperang dan berbunuhan satu dengan yang lain. Sebelum terlalu jauh kita membahas masalah ini, alangkah lebih baiknya bila kita bahas dulu siapakah yang dimaksud dengan para shahabat dan apa yang dimaksud dengan apa itu sifat al-'adalah. A. Pengertian Shahabat Nabi Istilah sahabat dalam bahasa Arab sebagaimana disebutkan dalam Al-Mishbah Al-Munir, bermakna : الرُّؤْيَةُ وَالْمُجَالَسَةُ وَالْمُعَاشَرَةُ Penglihatan, duduk bersama dan bergaul Dan kata shahabat juga bisa diartikan sebagai shahabat, kawan atau teman. Namun secara istilah, kata ini dinisbatkan kepada para shahabat Nabi Muhammad SAW. Dan para ulama mendefinisikan siapa saja yang dimaksud dengan shahabat Nabi SAW sebagai : مَنْ لَقِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُؤْمِنًا بِهِ وَمَاتَ عَلَى الإْسْلاَمِ Orang yang bertemu dengan Nabi SAW dalam keadaan mukmin dan meninggalkan dalam keadaan mukmin. Tidak semua orang yang pernah bertemu dengan Nabi SAW berhak disebut shahabat. Hanya mereka yang memenuhi ketentuan saja yang disebut shahabat, yaitu : 1. Bertemu Langsung Pertemuan dengan Nabi SAW yang dimaksud adalah pertemuan langsung, wajah dengan wajah, dan bukan dalam wujud cahaya (nur), ruh, qarin, bayangan apalagi mimpi. Maka mereka yang mengaku pernah bermimpi bertemu dengan nur, ruh, atau qarin dari Rasulullah SAW, atau bertemu dengan beliau dalam tidur (bermimpi), tidak boleh disebut sebagai shahabat Nabi. 2. Dalam Keadaan Muslim Abu Jahal, Abu Lahab, Abu Thalib , ‘Uthbah dan banyak lagi yang lainnya, adalah orang-orang yang berkali-kali bertemu langsung dengan sosok Nabi Muhammad SAW. Mereka bukan hanya bercakap-cakap secara langsung, berdiskusi, berdebat atau bersitatap, bahkan juga terlibat dalam berbagai perjanjian dan peperangan bersama dengan Rasulullah SAW. Namun mereka tidak termasuk shahabat Nabi, karena mereka bukan muslim dan tidak bersyahadat, bahkan sampai mereka mati tidak pernah memeluk agama Islam. Ada sebagian orang kafir yang pernah bertemu dengan Rasulullah SAW, lalu kemudian mereka memeluk Islam sepeninggal Rasulullah SAW. Mereka ini juga tidak terhitung sebagai shahabat Nabi SAW, karena detik-detik ketika mereka bertemu langsung dengan beliau, agama mereka bukan Islam. 3. Mati Dalam Keadaan Muslim Ada sebagian orang yang pernah bertemu dengan Nabi SAW dalam keadaan muslim, namun sayangnya ketika meninggal dunia, mati dalam keadaan kafir dan murtad. Mereka ini juga bukan termasuk para shahabat, karena mati bukan dalam keadaan muslim. B. Pengertian Sifat Al-Adalah Sifat al-'adalah kurang tepat kalau diartikan sebagai kata 'adil' sebagaimana yang kita kenal dalam bahasa Indonesia. Adil dalam bahasa Indonesia maksudnya adalah orang memutuskan perkara dengan cara yang adil. Sedangkan sifat al-'adalah yang dikaitkan dengan posisi para shahabat punya makna yang jauh berbeda. Secara bahasa, kata al-'adalah bermakna lurus atau istiqamah. Dan juga bermakna المتوسط فى الأمور من غير إفراط فى طرفى الزيادة والنقصان Pertengahan dalam suatu masalah, tanpa berlebihan pada salah satu sisi atau kekurangan 2. Secara Istilah Sedangkan maknanya secara istilah cukup banyak dibuatkan definisinya oleh para ulama, namun pada akhirnya semua bermuara kepada satu pengertian, yaitu صفة راسخة فى النفس تحمل صاحبها على ملازمة التقوى والمروءة Sifat yang mendalam di dalam jiwa yang membawa pemiliknya untuk selalu berada dalam taqwa dan muru'ah. Di dalam kitab Taudhiul Afkar karya Ash=Shan'ani disebutkan bahwa sifat al-adalah ini tidak akan terdapat pada diri seorang perawi hadits, kecuali bila minimal 5 sifat yang mengiringinya, yaitu : muslim, aqil, balig, selamat dari sifat fasik dan menjaga muru'ah. Namun yang penting untuk diketahui bahwa sifat al-adalah ini bukan berarti seseorang makshum dan kebal dari kesalahan dan dosa. Bisa saja orang yang punya sifat al-adalah ini salah, keliru atau berdosa yang sifatnya manusiawi. Tetapi yang jelas, bukan pelaku dosa besar dan juga bukan orang yang berniat atau sengaja melakukannya untuk menentang agama. Al-Imam Asy-Syafi'i mengatakan bahwa seandainya makna al-adalah itu adalah seseorang tidak punya dosa secuil pun, maka kita akan pernah menemukan orang itu. Maka orang yang adil adalah orang yang menjauhi dosa-dosa besar, dan kebaikannya lebih banyak dari keburukannya. C. Maksud Sifat Al-Adalah Pada Diri Para Shahabat Maka kalau para shahabat itu kita pastikan punya sifat al-adalah, maknanya bahwa mereka bukan lah orang yang sengaja berdusta tentang Rasulullah SAW. Sebab mereka adalah orang-orang yang secara resmi disebutkan di dalam Al-Quran punya iman yang kuat, berpegang teguh pada taqwa, menjaga muru'ah, serta berakhlaq yang agung. Namun bukan berarti mereka orang yang ma'shum dan kebal dosa. Bisa saja para shahabat itu punya sifat manusiawi, karena pada hakikatnya mereka memang manusia. Jadi tidak tertutup kemungkinan mereka juga keliru, salah, berdosa bahkan saling berperang satu sama lain. Namun harap diingat bahwa kalau pun ada kasus dimana ada shahabat yang melakukan dosa besar, mereka adalah orang yang dengan cepat langsung bertaubat. Selain itu jumlah shahabat itu terlalu banyak, jumlahnya mencapai 124.000 orang. Sedangkan yang tercatat pernah salah cuma beberapa gelintir orang saja. Maka generalisasi bahwa semua shahabat itu tukang bikin dosa, tentu sebuah kesimpulan yang salah kaprah. Menambahi pengertian al-'adalah apa yang telah dikatakan oleh Al-Imam Al-Abyari : وليس المراد بعدالتهم ثبوت العصمة لهم ، واستحالة المعصية عليهم ، وإنما المراد : قبول روايتهم من غير تكلف بحث عن أسباب العدالة وطلب التزكية ، إلا أن يثبت ارتكاب قادح ، ولم يثبت ذلك ولله الحمد Keadilan para shahabat itu maksudnya bukan kemakshuman atau halalnya mereka dari perbuatan maksiat. Tetapi yang dimaksud adalah diterimanya periwayatan mereka tanpa harus dibebani dengan penyelidikan atas sebab sifat al-adalah mereka, juga tanpa membutuhkan rekomendasi (dari pihak lain). Dengan pengecualian bila memang ada kepastian dilakukannya dosa besar, namun hal itu tidak terjadi, walhamdulillah. D. Mengapa Sifat Al-Adalah Para Shahabat Tidak Diperiksa Lagi? Sebagai pamungkas dari tulisan singkat ini, mari kita jawab secara tegas saja pertanyaan di atas, yaitu kenapa kita tidak memberlakukan al-jarhu wa at-ta'dil kepada para shahabat. Alasannya adalah hal-hal berikut ini : 1. Allah SWT Langsung Yang Memastikan Mereka Bersifat Al-Adalah Di dalam Al-Quran Al-Karim, Allah SWT beberapa kali di ayat yang berbeda memastikan bahwa para shahabat itu bersifat al-adalah. Misalnya : وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا Para mufassir kebanyakan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata 'kamu' di dalam ayat ini tidak lain adalah para shahabat Nabi ridhwanullahi alaihim. Dan makna lafadz 'ummatan wasathan' disini adalah (عدولا خيارا), yaitu bersifat al-adalah dan terpilih. Dan predikat ini langsung datang dari Allah SWT, bukan dari para peneliti hadits yang hanya dari kalangan manusia. Maka sifat al-'adalah para shahabat itu langsung ditetapkan Allah SWT lewat ayat di atas. Maka sifat itu mutlak dan tidak bisa diganggu-gugat lagi oleh siapa pun. Selain itu juga ada ayat lain yang menguatkan, yaitu : كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali Imran : 110) Para mufassir menegaskan bahwa yang dimaksud dengan 'kamu adalah sebaik-baik ummat' tidak lain adalah para shahabat Nabi. Dan ungkapan ini bermakna ketetapan dari Allah SWT tentang sifat al-adalah yang melekat pada diri mereka. Oleh karena itulah maka kita tidak butuh memeriksa sifat al-adalah di kalangan para shahabat nabi. Sebabnya, karena Allah SWT telah menjamin sifat itu ada pada diri mereka. 2. Rasulullah SAW Langsung Menjamin Sifat Al-Adalah Dari Para Shahabat Rasulullah SAW bersabda bahwa generasi yang terbaik adalah generasi dimana beliau hidup. Maksudnya berarti tidak lain adalah para shahabat. خير الناس قرنى ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم Manusia terbaik adalah mereka yang hidup di abadku, kemudian abad berikutnya dan berikutnya. (HR. Bukhari) Hadits ini jelas sekali menyebutkan bahwa para shahabat adalah sebaik-baik manusia. Dan sifat al-adalah otomatis terdapat pada manusia-manusia terbaik. إن الله اختار أصحابى على العالمين، سوى النبيين والمرسلين Sesungguhnya Allah SWT telah memilih para shahabatku dari yang lain di alam ini, kecuali para nabi dan rasul. (HR. Al-Bazzar) 3. Sudah Merupakan Ijma' Para Ulama Seluruh umat Islam sedunia sejak masa kenabian hingga masa sekarang ini telah berijma' bahwa para shahabat adalah orang-orang yang dipastikan punya sifat al-adalah. Tidak ada seorang ulama pun yang mengatakan sebaliknya. Oleh karena itu, siapa yang meragukan sifat ini atau malah meyakini bahwa para shahabat tidak berhak memilihi sifat al-adalah, sudah dianggap rusak aqidahnya, bahkan bisa sampai menggugurkan keislamannya. 4. Para Shahabat Juga Merupakan Sumber Hadits كُنَّا نَتَكَلَّمُ فيِ الصَّلاَةِ يُكَلِّمُ الرَّجُلُ مِنَّا صَاحِبَهُ وَهُوَ إِلىَ جَنْبِهِ حَتَّى نَزَلَتْ: وَقُومُوا للهِ قَانِتِيْنَ فَأُمِرْناَ بِالسُّكُوتِ وَنُهِيْنَا عَنِ الكَلاَمِ Dari Zaid bin Al-Arqam radhiyallahu ‘anhu berkata,"Dahulu kami bercakap-cakap pada saat shalat. Seseorang ngobrol dengan temannya di dalam shalat. Yang lain berbicara dengan yang disampingnya. Hingga turunlah firman Allah SWT "Berdirilah untuk Allah dengan khusyu". Maka kami diperintahkan untuk diam dan dilarang berbicara dalam shalat". (HR. Jamaah kecuali Ibnu Majah) Hadits di atas itu menceritakan bagaimana kejadian di antara para shahabat, ketika mereka shalat sambil mengobrol dengan sesama jamaah. Lalu turun ayat yang melarang mereka. Di dalam hadits ini kita sama sekali tidak menemukan perkataan atau pembicaraan Nabi SAW, yang ada justru perbuatan para shahabat. Selain itu memang Rasulullah SAW merekomendasikan kepada kita untuk mengambil sumber agama dari para shahabat beliau ridhwanullahi 'alaihi.m ajmain فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ المَهْدِيِّينَ الرَاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ Wajiblah atas kalian untuk berpegang pada sunnahku dan sunnah para penggantiku yang lurus. Pegang erat sunnah itu dan gigitlah dengan geraham. (HR. Ahmad) Maka tidak keliru kalau kita katakan bahwa kedudukan para shahabat itu seringkali malah sebagai sumber hadits, bukan semata-mata sebagai penyampai atau periwayat hadits Nabi. Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc., MA |
1. Aqidah |
2. Al-Quran |
3. Hadits |
4. Ushul Fiqih |
5. Thaharah |
6. Shalat |
7. Zakat |
8. Puasa |
9. Haji |
10. Muamalat |
11. Pernikahan |
12. Mawaris |
13. Kuliner |
14. Qurban Aqiqah |
15. Negara |
16. Kontemporer |
17. Wanita |
18. Dakwah |
19. Jinayat |
20. Umum |