USTADZ MENJAWAB

1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | Cari

Ringkas | Rinci
Bentuk Hukum Islam Seperti Apa?

Bentuk Hukum Islam Seperti Apa?

PERTANYAAN
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,Ustadz Sarwat yg dirahmati Allah SWT,

Saat ini banyak slogan atau seruan "tegakkan syariah", "kembali ke hukum Islam", dan yang sejenisnya. Ketika ditanya seperti apa syariah/hukum Islam itu? Maka (pasti) akan dijawab Al Qur-an dan As Sunnah.

Pertanyaan saya: dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara, seperti apakah wujud (penerapan) syariah/hukum Islam itu? Apakah ketika kita putuskan menerapkan syariah, maka kita perlu merujuk ke suatu madzhab fiqih tertentu, misalnya kita gunakan kitab Fiqih Sunnah-nya Sayyid Sabiq sebagai KUHS (Kitab UU Hukum Syariah)?

Ataukah ajaran AL Qur-an dan As Sunnah perlu dikodifikasi lagi dalam suatu kitab UU hukum Syariah, semacam KUHP? Atau seperti apa? Saya termasuk yang setuju dengan slogan/spirit menegakkan syariah, tetapi saya sama sekali tidak tahu seperti apa wujudnya.

Mohon pencerahan ustadz. Jazakumullah khairan katsira.

Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

JAWABAN

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Pertanyaan antum ini bagus sekali, sangat fundamental dan banyak orang yang tidak tahu hal ini. Termasuk mereka yang mengumandangkan slogan kembali kepada syariah Islam, sangat boleh jadi mereka pun kurang tahu, seperti apa bentuk nyata dari penerapan hukum Islam itu nantinya.

Benar bahwa prinsipnya memang kembali kepada hukum Islam adalah kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Tetapi kita sepakat bahwa format dan redaksional Al-Quran dan Assunnah bukan seperti kitab undang-undang yang siap dipakai oleh para hakim dalam memutuskan perkara.

Al-Quran itu kalau kita pandang dari segi format redaksional-nya, lebih merupakan syair-syair yang amat puitis, penuh dengan keindahan bahasa, bahkan termasuk banyak ungkapan-ungkapan yang bersifat abstrak, dan tidak mudah dipahami oleh orang awam biasa. Dan seringkali kita menemukan istilah-istilah yang tidak bisa dengan mudah kita pahami maknanya, atau setidaknya kita tidak bisa sepakat untuk menerjemahkan maksudnya.

Kita sulit membayangkan, hakim memutuskan perkara dengan menggunakan ungkapan-ungkapan yang puitis, multiple makna, serta penuh bahasa perlambang. Kalau hakimnya ahli tafsir sih mendingan, lha ini kan tidak, para hakim itu boro-boro mengerti tafsir, lha wong membaca Al-Quran saja masih pletat pletot gitu kok.

Apalagi kita tahu bahwa baik Al-Quran dan As-Sunnah pun masih besar kemungkinannya ditafsirkan dengan berbagai versi. Sehingga hukumnya bisa menjadi semacam 'pasal karet', yang dengan mudah diputar kesana-kemari.

Hukum Fiqih

Oleh karena itulah para ulama sejak awal mula tegaknya umat Islam, sudah menuliskan kitab-kitab fiqih. Fungsinya tentu untuk menjelaskan kedudukan hukum yang sumbernya dari Al-Quran dan As-Sunnah. Maka ilmu fiqih sesungguhnya tidak lain adalah Al-Quran dan As-Sunnah juga, tetapi sudah lebih mudah dipahami oleh orang awam. Ayat dan haditsnya  sudah dirinci berdasarkan bidang-bidang pembahasan, juga sudah dipilih mana dalil yang bisa digunakan dan mana yang tidak bisa digunakan, serta sudah dijelaskan juga apa kesimpulan hukumnya.

Maka tiap butir ayat Al-Quran itu harus dibedah dulu isinya dengan pisau bedah analisa yang tajam, dan oleh tangan-tangan terlatih yang merupakan para ahli bedah level profesional. Tiap ayat itu harus dipelajari anatominya, dilihat sebab turunnya, konteksnya, bahkan keterkaitan antara satu ayat dengan ayat yang lainnya pun harus dibahas dengan teliti dan njelimet.

Kalau tidak, maka boleh jadi kita telah berdusta di hadapan Allah, karena memanfaatkan ayat Al-Quran demi kepentingan diri sendiri dan hawa nafsu. Tidak paham Al-Quran, tetapi sok merasa paling pintar, bahkan mengangkat diri paling benar. Sikap dan tindakan ini tentu saja sesat dari jalan kebenaran.

Misalnya begini, ada beberapa ayat Al-Quran yang membahas satu masalah, katakanlah hukum khamar. Kalau kita kumpulkan dari 6000-an ayat di dalam Al-Quran, , ternyata ada 4 ayat yang berbeda dengan 4 kesimpulan hukum yang -sayangnya- juga berbeda. Nah, ini membingungkan sekali. Kita mau pakai yang mana?

Maka dalam ilmu tafsir serta ilmu fiqih, dijelaskan lah duduk perkaranya. Dari 4 ayat itu, hanya 1 ayat saja yang kita pakai, yaitu ayat yang turunnya terakhir. Sedangkan sisanya, yaitu 3 ayat yang turun sebelumnya, sudah tidak lagi berlaku, karena hukumnya dihapus dan diganti dengan ayat terakhir.

Maka tidak mungkin orang mengaku berhukum kepada Al-Quran dan As-Sunnah kalau tidak pakai ilmu fiqih. Kalau tidak pakai ilmu fiqih, berarti orang itu menafsirkan sendiri firman Allah dan sunnah nabawi berdasarkan dengkulnya sendirinya. Mana yang dia anggap enak dan sesuai selera pribadinya, itu dipakainya. Dan mana yang dia tiak suka, kurang doyan, dilepeh dan dibuang jauh-jauh. Tentu cara ini berbahaya dan sesat sekaligus menyesatkan.

Taqnin Syariah

Istilah taqnin syariah kurang lebih maknanya adalah menjadikan syariat Islam sebagai undang-undang positif, dimana secara fisik, kita membuatnya dalam format kitab undang-undang, seperti layaknya kitab undang-undang yang kita kenal.

Sebenarnya undang-undang seperti itu sudah ada dan sudah dipakai sejak berabad-abad yang lalu. Kekhalifahan Turki Utsmani yang menyusunnya untuk dijadikan kitab undang-undang dan hukum positif yang berlaku di semua wilayahnya.

Dengan diqanunkan, maka wujud hukum Islam itu menjadi jelas bentuknya, karena disusun berdasarkan bab, pasal, ayat dan butir.

Keistimewaan Qanun

Ada beberapa keistimewaan qanun yang bisa kita sebutkan, di antaranya adalah :

1. Sistematis

Secara fisik, qanun merupakan serangkaian peraturan yang disusun secara sistematis, dengan pembagian tema yang teratur dalam bagian, bab, pasal, ayat, butir, nomor dan seterusnya. Sehingga susunan qanun yang teratur dengan rapi itu memudahkan siapa pun untuk mengetahui dan memahami maksud dan ketentuan yang terkandung di dalamnya.

Hal yang seperti ini tidak bisa dengan mudah kita jumpai pada kitab-kitab syariah, yang biasanya tidak disusun berdasarkan susunan yang sistematis, setidaknya tidak sesistematis sebuah qanun.

Apalagi kalau kita membandingkannya dengan nash Al-Quran, tentu sangat jauh berbeda. Meski Al-Quran punya nama tertentu untuk tiap suratnya, namun umumnya isi dari surat itu tidak hanya melulu terkait dengan namanya.

Misalnya surat Al-Baqarah yang maknanya sapi betina, dari 286 ayatnya yang mencapai dua setengah juz itu (atau sama dengan 1/12 dari Al-Quran), tidak ada satu pun peraturan, ketentuan atau hukum yang terkait dengan sapi betina. Lalu kalau memang demikian, lantas kenapa surat itu disebut dengan surat Sapi Betina?

Ternyata di dalam surat itu ada kisah tentang Bani Israil di masa lalu yang diperintahkan untuk menyembelih seekor sapi betina. Anehnya, kisah tentang sapi betina itu hanya berjumlah tujuh ayat saja dari 286 ayat yang ada.

Dan sama sekali tidak ada kandungan hukum secara langsung buat umat Islam, kecuali sekedar kisah yang memang pasti mengandung pelajaran, tapi bukan sebuah aturan aau atau undang-undang.

Tetapi hal itu sama sekali tidak mengurani kebesaran dan keagungan Al-Quran. Sebab Al-Quran memang tidak tersusun redaksinya sebagai sebagaimana sebuah qanun atau naskah undang-undang.

Dilihat dari gaya bahasanya, Al-Quran lebih dekat kita sebut sebagai kitab prosa (natsr), yang merupakan salah satu corak kitab sastra, ketimbang sebuah qanun. Atau lebih tepatnya, Al-Quran adalah sumber dari qanun, dimana qanun itu kemudian bisa dibentuk dari hasil istimbath kitab Al-Quran.

2. Bersifat Mengikat

Qanun umumnya bersifat mengikat, bukan hanya buat rakyat atau khalayak, namun juga mengikat hakim atau qadhi serta penguasa.

Seorang hakim yang tugasnya menegakkan keadilan di tengah masyarakat, telah terikat untuk memutuskan perkara sesuai dengan ketentuan yang telah tertuang dalam qanun. Dia tidak boleh meninggalkan qanun begitu saja, dan membuat hukum atau kebijakan sendiri.

3. Terukur dan Detail

Dalam qanun, segala sesuatu ditetapkan dengan ukuran-ukuran yang pasti dan detail.

Sebagai contoh, apabila secara umum syariat mengharamkan khamar, maka di dalam qanun ditetapkan batasan sebuah minuman itu memabukkan, yaitu misalnya bila mengandung kadar Alkoloh lebih dari 2 persen.

4. Memiliki Satu Wajah Yang Pasti

Kita menemukan begitu banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam berbagai ketentuan hukum, sehingga dalam prakteknya antara satu orang dengan orang lain bisa saja berbeda-beda.

Setidaknya ada empat mazhab utama dalam fiqih yang sekarang kita kenal. Masing-masing punya hasil ijtihad yang seringkali berbeda-beda. Dalam beberapa keadaan, perbedaan pendapat ini membuat ketidak-pastian hukum. Oleh karena itu dengan adanya qanun yang ditetapkan, maka akan ada satu wajah saja yang digunakan secara resmi.

Sejarah Qanun Syar'i

Sejarah menceritakan kepada kita bahwa pertama kali syariat Islam ditulis dalam format susunan sebuah kitab Undang-undang adalah di masa Khilafah Bani Utsmaniyah di Turki. Khususnya pada materi-materi yang terkait dengan fiqih muamalah. Ahmad Jaudat Basya, menteri keadilan di masa itu termasuk orang yang mempelopori penulisan undang-undang syariat ini.

Undang-undang ini diterbitkan resmi di tahun 1286 M, terdiri dari 1.851 materi. Qanun di masa itu umumnya merujuk kepada pendapat yang zahir dari mazhab Al-Hanafiyah, yang memang agak detail dalam urusan muamalat. Al-Imam Abu Hanifah (80-150 H) dalam kesehariannya adalah seorang pelaku perdagangan yang berjualan kain di Kufah.

Apabila ada masalah dimana Al-Imam Abu Hanifah berbeda pendapat dengan pendapat kedua muridnya, Abu Yusuf dan Muhammad, maka yang digunakan adalah yang dipilih adalah pendapat yang paling sesuai dengan realitas di masa itu dan kebutuhan publik.

Umat Islam Butuh Ilmu Fiqih Untuk Melahirkan Qanun

Tetapi yang perlu diperhatikan, jauh sebelum kita bicara lebih jauh tentang menqanunkan syariat Islam di negeri ini, ada pekerjaan yang paling mendasar tapi amat menentukan. Pekerjaan itu adalah bagaimana membuat rakyat yang 230 juta lebih ini melek dulu dengan ilmu syariah. Setelah melek, paham, mengerti, baru nanti ada hasrat dan kecintaan untuk mewujudkannya di dalam negara secara formal.

Akan percuma saja qanun dan undang-undang syariat Islam kita tegakkan, tetapi rakyatnya sama sekali tidak paham, bahkan masih asik menjadi para pemuja dan penyembah hukum Barat dan hukum adat. Akhirnya, alih-alih bisa digunakan, yang ada nanti muncul gerakan masif yang anti syariat Islam dan qanun Islami.

Gagalnya perjuangan umat Islam di level parlementer di berbagai negara Islam di penjuru muka bumi ini adalah satu bukti yang tidak terbantahkan, bahwa faktor meleknya umat Islam dengan syariah itu justru sangat fatal dan sekaligus vital. Gara-gara rakyat muslimnya tidak paham syariah, maka mereka berada pada garda terdepan untuk  menolak mentah-mentah diundangkannya syariah Islam.

Ini realita sesungguhnya, bahwa musuh-musuh utama dari hukum Islam, ternyata tidak lain adalah umat Islam sendiri. Musuhnya ternyata bukan orang kafir, bukan Kristen, Hindu, Budha, Konghuchu atau agama 'dan lain-lain.

Betapa ironisnya, segelintir kelompok umat Islam sudah habis-habisan 'ngotot' berdakwah di parlemen untuk mengegolkan agenda hukum Islam, sementara mayoritas umat Islam yang mereka perjuangkan itu, malah ramai-ramai menggebuki dan menginjak-injak hukum Islam sendiri.

Miris sekali dan bikin sakit hati. Semua gara-gara satu saja, yaitu ternyata umat Islam yang kepentingannya diperjuangkan itu malah pada tidak melek syariah. Kalau begitu, kita sampai ke sebuah pertanyaan rada bodoh, buat apa diperjuangkan di level birokrasi, kalau mereka sendiri tidak mau? Jawabnya sederhana, hukum Islam tetap harus diperjuangkan di level legalitas, tapi porsi intensitas perjuangannya justru harus lebih ditekankan pada  bagaimana mencerdaskan umat Islam dan membuat mereka melek syariah dulu tentunya. Dan jangan sampai malah terbalik.

Maka, agenda nomor wahid sebelum bicara qanun, undang-undang, parlemen, dan segala tetek bengeknya, bagaimana caranya kita mengedukasi umat biar melek hukum Islam.

Dosen Saudi saya pernah bercerita kisah jenaka tapi nyata. Ketika Saudi Arabia mengalami booming minyak di awal tahun 70-an, pemerintah negara itu ingin memberi yang terbaik buat rakyatnya, yaitu semua warga negara dibuatkan apartemen mewah dan gratis. Maunya pemerintah, agar jangan sampai ada rakyat yang tinggal di tenda dan atau rumah-rumah reyot di padang pasir.

Begitu mega proyek pembangunan apartemen itu selesai, rupanya rakyatnya malah menolak tinggal di gedung mewah itu, padahal semua faslitas itu gratis, tidak bayar alias free 100% dari negara buat rakyat. Ternyata, rakyat terbiasa hidup di padang pasir, bersama alam, kambing dan unta. Ketika pemerintah memaksa juga mereka masuk ke apartemen mewah dan tinggal di dalamnya, apa yang terjadi?

Kambing-kambing peliharaan mereka pun ikut di bawa masuk juga ke dalam apartemen. Ya, mereka bilang, kalau mau memaksa rakyat masuk apartemen, maka kambingnya harus boleh dibawa masuk juga. Sebab mereka tidak bisa hidup tanpa ada kambing yang tidur bersama tuannya.

Seharusnya, pemerintah melakukan edukasi terlebih dahulu, dan mengawal transformasi pola hidup rakyatnya, sebelum secara fisik memaksa mereka hidup di dalam apartemen. Konyolnya, kalau malam hari mereka biasa membakar api unggun untuk mengusir udara dingin padang pasir. Karena di dalam apartemen AC-nya amat dingin, maka mereka buatlah api unggun di dalam aparemen. Karuan petugas pemadam kebakaran kalang kabut kebakaran jenggot.

Tidak Punya SDM

Kalau pun kita tidak peduli dengan masalah ini dan ngotot ingin segera mewujudkan qanun dan undang-undang syariat Islam, tetap saja kita punya kendala besar dan paling besar. Apa itu?

Ternyata kita tidak punya SDM yang ahli di bidang ilmu syariah Islam. Kalau guru ngaji sih banyak, ada dimana-mana. Ustadz tukang ceramah juga kita punya berlimpah, bahkan bejibun, sampai mereka pada saingan mau masuk tivi, pakai manager layaknya artis jual tampang.

Tentunya qanun syariah itu tidak mungkin bisa disusun oleh mereka bukan ahli hukum Islam, macam anggota DPR atau pejabat di Kementerian Agama RI yang kita punya sekarang ini. Kalau agamanya sih insya Allah islam, tetapi apa yang mereka ketahui tentang syariat Islam?

Jangan-jangan hasilnya malah macam Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang ternyata isinya benar-benar kompilasi, alias campur aduk hukum Islam, hukum Barat, hukum adat dan hukum jahiliyah. Semua jenis hukum yang berbeda jenis kelamin itu diaduk-aduk dan dicampur-baur sedemikian rupa, melahirkan spisies baru yang belum pernah ada sebelumnya.

Yang kita butuhkan adalah para ulama, fuqaha', mujtahid, professor, doktor di bidang ilmu fiqih, hukum Islam dan syariah Islam. Mereka itu harusnya tokoh yang betul-betul ahli di bidangnya, bukan sekedar pamer atau jualan gelar. Mereka juga harus produktif dan berkarya terus dalam tulisan. Mereka juga harus setia kepada disiplin ilmunya, tidak nyambi sambil jualan kacang atau bisnis kecil-kecilan. Mereka juga harus orang-orang yang berwawasan fiqih yang luas, multi mazhab, mengerti khilafiyah perbedaan pendapat di kalangan mazhab-mazhab, bukan tipe fanatik buta dengan pendapat gurunya, lalu memaksakan kehendak kepada khalayak untuk ikut seleranya sendiri.

Nah, sampai hari ini, tokoh-tokoh seperti itu yang kita tidak punya. Kalau pun kita menemukannya, dalam arti semua ilmu dan kapasitasnya sudah memenuhi syarat, sayangnya beliau-beliau kerja serabutan dan tidak fokus. Biasanya mereka punya tingkat kesibukan yang seabreg-abreg, apa saja dikerjakan, kecuali yang paling penting malah terlupa. 

Padahal untuk mewujudkan qanun syariah, kita butuh ulama dengan kapasitas seperti ini, dalam jumlah yang cukup besar. Dan mereka tidak boleh bekerja apa pun, kecuali hanya berkonsentrasi fokus pada pembuatan qanun. Setiap hari harus berkantor dari pagi sampai petang, dan dijadikan skala prioritas nomor satu, tidak boleh diundang kesana-kemari menghadiri berbagai ceramah, kuliah, seminar atau jalan-jalan. Kita siapkan gaji dan honor yang cukup, kalau perlu di atas rata-rata.

Sayangnya, kampus-kampus Islam tidak setiap saat bisa melahirkan tokoh-tokoh agung seperti ini. Kalau pun ada yang sudah lulus, S1-S2-S-3, mereka malah sibuk jualan obat herbal, buka praktek bekam, jasa meruqyah, atau jualan paket haji dan umrah. duh duh . . 

Tidak Punya Hakim Ahli Syariah

Kendala-kendala yang ada masih diperparah dengan tidak adanya hakim-hakim yang ahli di dalam ilmu syariah. Menurut Kedua Mahkamah Agung, Harifin A Tumpa, jumlah pengadilan negeri dan agama yang kita miliki di seluruh Indonesia adalah sekitar 800, sedangkan jumlah hakimnya 7.000-an.

Maka kita harus siapkan sekurang-kurangnya 7.000 hakim yang melek syariah, dengan level minimal advanced. Dengan kebutuhan itu, kita harus bangun kampus S-1,S-2 dan S-3, khusus mengajarkan ilmu syariah dan melahirkan sarjana syariah dan profesi hakim syariah.

Jadi meski kita punya undang-undang syariat Islam, tapi kalau hakimnya pada kagak paham hukum syariah, terus siapa yang mau menjalankannya?

Semoga Allah SWT berkenan menjadikan bangsa Indonesia ini bangsa yang mengerti syariah, serta menjunjung tinggi dan memperjuangkannya, sehingga syariat Islam bisa tegak sebagai hukum positif yang dihormati rakyatnya. Amien Ya Rabbal alamin.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA