USTADZ MENJAWAB

1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | Cari

Ringkas | Rinci
Shalat Jama' Qasar dan Batasan Luar Kota

Shalat Jama' Qasar dan Batasan Luar Kota

PERTANYAAN
Assalamu'alaikum ustadz..

Saya dititipi pertanyaan dari istri yang saya belum sepenuhnya paham.

Mohon penjelasan serta haditsnya untuk masalah shalat jama' qhasar. Apakah harus dilakukan setelah kita keluar dari tempat kedudukan kita? Terus,  boleh nggak dikerjakannya di akhir, misalnya Shalat Dzhuhur sama Ashar dikerjakan pada saat masuk Ashar?

Apa yang dimaksud keluar dari kota kita, batasannya apa ustadz?

Jazakallah
JAWABAN
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Sebelum menjawab lebih lanjut, saya ingin menjelaskan dulu bahwa antara jama' dan qashar itu ada dasar penyebab kebolehan yang sama, tetapi juga ada dasar penyebab yang berbeda. Dasar penyebab yang sama adalah karena seseorang bepergian sehingga menjadi berstatus musafir. Ini yang akan kita bicarakan dalam jawaban ini.

Namun perlu juga diketahui, bahwa selain karena safar, jama' saja dan bukan qashar, juga boleh dikerjakan karena sebab yang lain, seperti sakit, hujan, keadaan darurat (force majour),  perang, haji dan sebagainya.

1. Shalat Jama' & Qashar Dilakukan Setelah Keluar Dari Tempat Kedudukan

Kalau kita khususkan ruang lingkup pembicaraan kita pada sebab safar atau perjalanan, maka secara syar'i yang disebut safar itu ada batasannya. Salah satunya yang paling utama adalah status musafir itu baru melekat manakala seseorang sudah dan telah bergerak secara pisik meninggalkan tempat berdiamnya.

Para ulama memang berbeda pendapat, apakah batasnya ketika meninggalkan rumah, atau meninggalkan dusun, desa, pagar pembatas kota atau gapura perbatasan antara provinsi. Tetapi intinya, selama masih ada di dalam rumah, seseorang belum berstatus musafir. Mungkin kalau sekedar niat memang sudah tertanam di hati, tetapi status sebagai musafir belum tersemat.

Maka otomatis hukum-hukum yang berlaku buat seorang musafir belum berlaku. Ibarat pengantin yang mau melakukan prosesi akad nikah, baru sah kalau sudah terjadi ijab kabul. Sebaliknya, bila ijab kabul belum terjadi, meski pengantin sudah duduk jejer berdua, hukumnya masih belum suami istri. Mereka belum boleh tidur bareng dan lain-lainnya. Walau pun pertunangan dan lamaran sudah tiga tahun yang lalu.

Begitu juga dengan hukum musafir, baru sah dan berlaku begitu seseorang meninggalkan tempat kediamannya secara fisik. Maka kalau kita mau menjama' shalat Dzhuhr dan Ashar misalnya, belum boleh dilakukan ketika kita masih ada di dalam rumah. Setidak-tidaknya, kita harus keluar dulu dan memulai perjalanan, agar status musafir bisa segera berlaku.

2. Mengerjakan Jama' dan Qashar di Waktu Akhir

Yang namanya menjama' dua waktu shalat tentu boleh dikerjakan di waktu yang manapun, asalkan masih dalam waktu salah satu dari kedua shalat itu. Mau dikerjakan di waktu Dzhuhur boleh, mau dikerjakan di waktu Ashar pun boleh. Keduanya tidak ada bedanya dari sisi pahala dan keutamaan.

Yang penting, ketika kita sengaja tidak shalat Dzhuhur, karena niatnya mau dijamak di waktu Ashar nanti, kita sudah mengganti shalat Dzhuhur itu dengan niat di dalam hati.

Niat? Maksudnya?

Ya, kan harusnya kita shalat Dzhuhur. Tetapi kan kita tinggalkan, lantaran mau dilakukan nanti di waktu Ashar. Nah, ketika kita tinggalkan shalat Dzhuhur, kita harus pasang niat saat itu, bahwa shalat Dzhuhurnya akan saya kerjakan di waktu Ashar nanti. Cuma niat begitu saja, bukan niat pakai lafadz ushalli dan sebagainya.

Begitu juga ketika misalnya kita mau melakukan shalat Dhuhur dan Ashar di waktu Dhuhur, maka sejak awal waktu shalat, kita juga harus sudah berniat untuk menjama' dengan Ashar. Maksimal sebelum kita mengucapkan salam pada waktu shalat Dzhuhurnya.

Maka hukum shalat jamak itu tidak sah, kalau sejak shalat Dzhuhur kita sama sekali tidak berniat untuk menjamak dengan Ashar. Misalnya setelah selesai shalat Dzhuhur, kita baru ingat ternyata kita lagi jadi musafir dan boleh menjamak. Padahal shalat Dzhuhurnya sudah selesai, maka tidak boleh kita tiba-tiba menjamak shalat Ashar begitu saja.

3. Batasan Luar Kota

Perlu dibedakan antara istilah 'luar kota' dengan istilah 'jarak minimal safar'. Banyak orang salah paham dan mencampur aduk keduanya saling tumpang tindih.

a. Luar Kota

Yang dimaksud dengan 'luar kota' kalau dalam posisi bagi musafir adalah kapan seseorang terhitung sebagai musafir. Sebenarnya istilah 'luar kota' ini tidak mutlak, karena secara sebutan 'kota' itu menjadi relatif antara masa lalu dan masa sekarang.

Kota Madinah di masa kenabian diperkirakan hanya seluas Masjid Nabawi di masa sekarang. Batas kota Jakarta di tahun 1960-an tentu sudah jauh berbeda dengan tahun 2000-an. Malah sekarang ini, saya nyaris tidak bisa menetapkan mana batas kota Jakarta dan mana batas Tangerang, Bekasi, Depok dan Bogor.

Oleh karena itu saya secara pribadi lebih suka menyebutnya sebagai 'pergi meninggalkan tempat tinggal' dari pada istilah 'keluar kota'.

b. Batas Minimal Kebolehan Qashar

Dalam ilmu fiqih, batas ini sering disebut dengan istilah masafatul qashr (مسافة القصر). Ini adalah jarak minimal yang harus ditempuh oleh seseorang agar perjalanannya sah disebut sebagai safar yang syar'i. Bila perjalanan yang dilakukan jaraknya kurang dari jarak ini, maka namanya bukan safar dan pelakunya bukan musafir.

Masyru'iyah dari adalah jarak minimal ini oleh Jumhur ulama disepakati tanpa ada perbedaan. Maksudnya, semua ulama sepakat bahwa tidak seseorang disebut musafir, kalau perjalanan yang dilakukannya tidak melewati jarak minimal tersebut.

Namun para ulama berbeda pendapat tentang berapa jarak minimal yang dimaksud.Jumhur ulama bisa kita tafsirkan berpendapat jaraknya adalah 88,749 km atau kalau dibulatkan biar gampar kurang lebih 90 km. Sedangkan Al-Hanafiyah malah agak lebih jauh, yaitu kurang lebih 135 km.

a. Jumhur Ulama : 88,704 km

Jumhur ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah umumnya sepakat bahwa minimal berjarak empat burud. Dasar ketentuan minimal empat burud ini ada banyak, di antaranya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini :

يَاأَهْلَ مَكَّةَ لاَ تَقْصُرُوا فيِ أَقَلِّ مِنْ أَرْبَعَةِ بَرْدٍ مِنْ مَكَّةَ إِلىَ عُسْفَان

Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Wahai penduduk Mekkah, janganlah kalian mengqashar shalat bila kurang dari 4 burud, dari Mekkah ke Usfan". (HR. Ad-Daruquthuny)

Selain dalil hadits di atas, dasar dari jarak minimal 4 burud adalah apa yang selalu dilakukan oleh dua ulama besar dari kalangan shahabat, yaitu Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallahuanhuma. Mereka berdua tidak pernah mengqashar shalat kecuali bila perjalanan itu berjarak minimal 4 burud. Dan tidak ada yang menentang hal itu dari para shahabat yang lain.

Dalil lainnya adalah apa yang disebutkan oleh Al-Atsram, bahwa Abu Abdillah ditanya, "Dalam jarak berapa Anda mengqashar shalat?". Beliau menjawab,"Empat burud". Ditanya lagi,"Apakah itu sama dengan jarak perjalanan sehari penuh?". Beliau menjawab,"Tidak, tapi empat burud atau 16 farsakh, yaitu sejauh perjalanan dua hari".

Para ulama sepakat menyatakan bahwa jarak 1 farsakh itu sama dengan 4 mil. Dalam tahkik kitab Bidayatul Mujtahid dituliskan bahwa 4 burud itu sama dengan 88,704 km.

Meski jarak itu bisa ditempuh hanya dengan satu jam naik pesawat terbang, tetap dianggap telah memenuhi syarat perjalanan. Karena yang dijadikan dasar bukan lagi hari atau waktu, melainkan jarak tempuh.

Dua Hari Perjalanan = 88,704 km

Dan semua ulama sepakat bahwa meski pun disebut masa perjalanan dua hari, namun yang dijadikan hitungan sama sekali bukan masa tempuh. Tetapi yang dijadikan hitungan adalah jarak yang bisa ditempuh di masa itu selama dua hari perjalanan.

Pertanyannya, kalau memang yang dimaksud dengan jarak disini bukan waktu tempuh dua hari, lalu mengapa dalilnya malah menyebutkan waktu dan bukan jarak.

Jawabnya karena di masa Rasulullah SAW dan beberapa tahun sesudahnya, orang-orang terbiasa menyebutkan jarak antar satu negeri dengan negeri lainnya dengan hitungan waktu tempuh, bukan dengan skala kilometer atau mil.

Di masa sekarang ini, kita masih menemukan masyarakat yang menyebut jarak antar kota dengan hitungan waktu. Salah satunya di Jepang yang sangat maju teknologi perkereta-apiannya. Disana orang-oran terbiasa menyebut jarak satu kota dengan kota lainnya dengan hitungan jam. Maksudnya tentu bukan dengan jalan kaki melainkan dengan naik kereta cepat Sinkansen.

Sedangkan perjalanan dua hari di masa Rasulullah SAW tentunya dihitung dengan berjalan kaki dengan langkah yang biasanya. Meski pun naik kuda atau unta, sebenarnya relatif masa tempuhnya kurang lebih sama. Karena kuda atau unta bila berjalan di padang pasir tentu tidak berlari, sebab tenaganya akan cepat habis.

Perjalanan antar negeri di masa itu yang dihitung hanya perjalanan siang saja, sedangkan malam hari tidak dihitung, karena biasanya malam hari para khafilah yang melintasi padang pasir beristirahat.

Masa tempuh seperti ini kalau dikonversikan dengan jarah temput sebanding dengan jarak 24 mil. Dan sebanding pula dengan jarak 4 burud, juga sebanding dengan 16 farsakh. Jarak ini juga sama dengan 48 mil hasyimi.

b. Jarak 3 Hari Perjalanan = 135 Km

Abu Hanifah dan para ulama Kufah mengatakan minimal jarak safar yang membolehkan qashar itu adalah bila jaraknya minimal sejauh perjalanan tiga hari, baik perjalanan itu ditempuh dengan menunggang unta atau berjalan kaki, keduanya relatif sama. Dan tidak disyaratkan perjalanan itu siang dan malam, tetapi cukup sejak pagi hingga zawal di siang hari.

Safar selama tiga hari ini kira-kira sebanding dengan safar sejauh 3 marhalah. Karena kebiasaannya seseorang melakukan safar sehari menempuh satu marhalah.

Dasar dari penggunaan masa waktu tiga hari ini adalah hadits Nabi SAW, dimana dalam beberapa hadits beliau selalu menyebut perjalanan dengan masa waktu tempuh tiga hari. Seperti hadits tentang mengusap sepatu, disana dikatakan bahwa seorang boleh mengusap sepatu selama perjalanan 3 hari.

يَمْسَحُ المُقِيْمُ كَمَالَ يَوْمِ وَلَيْلَةٍ وَالمَسَافِرُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيْهَا

Orang yang muqim mengusap sepatu dalam jangka waktu sehari semalam, sedangkan orang yang safar mengusap sepatu dalam jangka waktu tiga hari tiga malam. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

Demikian juga ketika Rasulullah SAW menyebutkan tentang larangan wanita bepergian tanpa mahram yang menyertainya, beliau menyebut perjalanan selama 3 hari.

لاَ يَحِل لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ الآْخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ ثَلاَثِ لَيَالٍ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ

Dari Ibnu Umar radhiyallhuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian sejauh 3 malam kecuali bersama mahram". (HR. Muslim)

Menurut mazhab Al-Hanafiyah, penyebutan 3 hari perjalanan itu pasti ada maksudnya, yaitu untuk menyebutkan bahwa minimal jarak perjalanan yang membolehkan qashar adalah sejauh perjalanan 3 hari.

Kalau kita konversikan jarak perjalanan tiga hari, maka hitungannya adalah sekitar 135 Km.

c. Mazhab Dzahiri

Mazhab Dzahihir mengatakan bahwa tidak ada batas jarak minimal untuk kebolehan jama dan qashar ini. Mazhab ini sebenarnya sudah punah karena tidak punya pengikut. Hanya di masa sekarang nampaknya agak mulai banyak tumbuh pemikirannya.

Kurang lebih pandangnya bahwa ukuran safar itu dikembalikan saja kepada kebiasaan. Jadi kalau orang-orang terbiasa menyebut sebuah perjalanan itu sebagai safar, maka hukum-hukum yang terkait dengan musafir berlaku. Dan bila orang-orang tidak menyebutnya sebagai safar, maka hukumnya jadi tidak berlaku.

Pendapat ini sangat lemah, karena tidak jelas ukuran dan batasannya. Sebab tiap orang bisa berbeda-beda dalam menjatuhkan status musafir. Buat bocah SD, jarak dari rumahnya ke monas bisa dianggap perjalanan jauh. Tetapi buat bapaknya, apalagi engkongnya, ke monas bukan perjalanan namanya, tapi iseng-iseng jalan cuci mata.

Di kampung saya dulu ada seorang pengikut mazhab Dzahiri ini, walau dia sebenarnya cuma taqlid buta dari gurunya yang ternyata juga sama-sama tukang taqlid. Ketika dirinya menghadiri rapat di Balai Desa tetangga, giliran semua orang shalat Dzhuhur, ternyata dia tidak ikut shalat. Alasannya, karena menurutnya dia sedang musafir, sebab rumahnya berada di desa lain dan sekarang dia lagi berada di luar desanya, maka shalatnya mau dijamak saja nanti di rumah.

Waduh. . .

Ahmad Sarwat, Lc,.MA