USTADZ MENJAWAB

1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | Cari

Ringkas | Rinci
Bolehkah Shaf Wanita Sejajar Dengan Shaf Laki-laki?

Bolehkah Shaf Wanita Sejajar Dengan Shaf Laki-laki?

PERTANYAAN
Ustadz yang dimuliakan Allah.

Sebelumnya saya dan jamaah masjid ingin menyampaikan ucapan Selamat Idul Fithri 1435 H. Mohon maaf lahir dan batin.

Saya ingin bertanya terkait dengan posisi jamaah wanita di dalam masjid. Di masjid dekat rumah saya sempat terjadi perbedaan pandangan dengan sesama pengurus masjid. Sebagian ingin agar jamaah wanita diposisikan tidak di belakang, tetapi sejajar dengan jamaah laki-laki. Dan untuk itu diberi pagar atau pemisah berupa kain yang dibentangkan.

Alasannya, tata letak masjid ini agak sulit kalau memisahkan jamaah wanita di belakang, lebih mudah kalau samping-sampingan. Selain itu biar kalau ada kajian atau majelis taklim, ibu-ibu bisa lebih dekat ke ustadznya agar lebih terdengar dan terlihat. Dan tidak repot kalau mau bertanya.

Namun sebagian pengurus yang lain tidak setuju, sebab menurut mereka posisi wanita seharusnya di belakang dan bukan berdampingan dengan jamaah laki-laki.

Untuk itu saya sebagai pengurus diminta untuk menyampaikan pertanyaan ini kepada ustadz, agar dapat memberikan penjelasan yang sesuai dengan ketentuan syariah.

Sebelumnya saya ucapkan terima kasih. Jawaban dari ustadz kami tunggu-tunggu. 
JAWABAN
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sebenarnya kalau kita mengikuti tata letak Masjid Nabawi di masa Rasulullah SAW, posisi shaf wanita itu sudah jelas, yaitu di bagian belakang dan bukan berdampingan dengan shaf laki-laki.

Sangat penting bagi para arsitek dan designer bangunan masjid untuk mengetahui masalah ini, agar jangan sampai kita menyalahi ketentuan syariah dalam urusan shalat berjamaah di masjid.

Bahwa bentuk bangunan sejak awal sulit direkayasa, justru disitulah tantangan bagi para arsitek muslim. Bagaimana caranya dengan menggunakan ilmu dan jam terbang mereka, keadaan tata letak masjid yang sulit itu disiasati dengan cerdas.

Beberapa Ketentuan Syar'i

Ada beberapa nash hadits dalam masalah ini, antara lain :

خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

Sebaik-baik shaf bagi kaum laki-laki adalah yang paling depan, dan yang paling buruk bagi mereka adalah shaf yang paling akhir. Sedangkan sebaik-baik shaf bagi kaum wanita adalah yang paling akhir, dan yang paling buruk adalah shaf yang paling depan. (HR. Muslim)

لاَ تُقَدِّمُوا صِبْيَانَكُمْ

Janganlah kamu tempatkan anak-anak kecil di depan (HR. Ad-Dailami). 

أَخِّرُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَخَّرَهُنَّ اللَّهُ

Posisikan para wanita di belakang sebagaimana Allah SWT memposisikan mereka di belakang.(HR. Abdurrazzaq)

Dari hadits-hadits di atas, kita bisa membuat kesimpulan :

Barisan yang paling baik buat laki-laki adalah barisan yang paling depan. Semakin ke belakang semakin rendah nilainya. Maka bagian paling belakang dari barisan laki-laki diperuntukkah buat anak-anak kecil yang laki-laki. Sebab mereka umumnya belum baligh.

Sebaliknya, barisan yang paling baik buat wanita bukan adalah bagian paling belakang, dan bukan bagian paling depan. Justru semakin ke depan malah akan semakin rendah nilainya. Dan karena itulah barisan paling depan buat wanita diperuntukkan buat anak-anak kecil juga, yaitu anak-anak wanita.

Tidak Ada Tabir Pemisah

Dengan cara ini, sama sekali tidak diperlukan kain atau tabir pemisah. Dan memang kenyataannya di masa itu, Masjid Nabawi memang tidak ada tabirnya. Pemisahan jamaah laki-laki dan wanita di masa itu tidak menggunakan kain penutup tetapi menggunakan posisi, jarak dan arah menghadap.

Sebagaimana kita tahu bahwa shalat itu wajib menghadap kiblat, maka semua jamaah pastilah menghadap ke satu arah yang sama. Dengan demikian, maka jamaah laki-laki yang di depan tentu tidak bisa melihat jamaah wanita yang ada di belakang mereka. Artinya, shalat mereka tidak akan terganggu karena melihat para wanita.

Sedangkan jamaah wanita yang ada bagian di belakang, meski bisa melihat jamaah yang di depan, tetapi yang terlihat hanya punggung mereka saja. Jamaah wanita tidak mungkin melihat wajah jamaah laki-laki. Sehingga juga tidak mungkin terjadi korsleting pandangan.

Begitulah cara memisahkan antara barisan laki-laki dan wanita di masa Rasulullah SAW.

Di Zaman Sekarang Malah Bersebelahan

Sayangnya apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW 1400 tahun yang lalu, memang agak kurang diperhatikan oleh takmir masjid. Mereka dengan enaknya mendesain masjid mirip dengan geraja. Jamaah laki-laki dan wanita dipisahkan, tetapi samping-sampingan dan bukan depan belakang.

Saya sendiri tidak terlalu mengerti, kira-kira apa logika dan dalil yang mereka gunakan dalam masalah ini. Apakah semata-mata karena keawaman saja, tidak tahu ilmunya, ataukah memang mereka punya argumentasi sendiri yang menyelisihi apa yang telah Nabi SAW ajarkan.

Posisi Wanita Saat Kajian

Adapun posisi jamaah wanita di masjid saat kajian, ada beberapa alternatif :

Pertama

Kajian khusus digelar untuk para wanita. Lebih afdhal kalau nara sumbernya juga wanita, sehingga sama sekali tidak ada kendala dalam masalah posisi. Menurut saya, kajian khusus wanita ini adalah yang paling ideal dibandikan dengan yang lainnya.

Kalau tidak ada nara sumber yang kompeten dari ulama wanita, boleh saja dari kalangan ulama laki-laki. Sebab dahulu Rasulullah SAW mengkhususkan satu hari untuk mengajar para wanita di masjid.

Kedua

Kalau terpaksa kajian harus mencampur antara laki-laki dan wanita, tetap saja yang lebih afdhal posisi wanita di belakang barisan laki-laki. Hal itu karena mengukuti ketentuan dalam shalat berjamaah.

Dengan demikian maka kita tidak membutuhkan tabir penutup, yang hanya akan menghalangi komunikasi antara nara sumber dengan jamaah wanita.

Ketiga

Kalau alternatif pertama dan kedua sama sekali tidak memungkinkan dan hanya bisa dengan cara membagi kanan kiri, saja, maka diusahakan agar harus ada tabir pemisah agar tidak saling melirik antara jamaah laki-laki dan wanita. Tetapi ini adalah upaya terakhir sekiranya sudah tidak ada lagi alternatif lain.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA