![]() |
USTADZ MENJAWAB1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | CariRingkas | Rinci |
Harta Istri dan Suami Apabila Cerai |
PERTANYAAN
Assalamu'alaikum Ustadz,
|
JAWABAN
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Padahal sistem Islam tidak mengenal istilah harta gono-gini, baik harta bawaan yang dibawa oleh masing-masing suami istri sebelum menikah, atau pun harta bersama, yaitu harta yang didapat selama masa pernikahan. Yang berlaku dalam sistem Islam adalah harta yang didapat oleh suami, baik sebelum pernikahan ataupun selama masa menikah, 100% adalah milik suami. Dan begitu juga sebaliknya, semua harta yang didapat oleh istri, baik sejak sebelum menikah ataupun selama masa pernikahan, 100% milik istri. Namun suami memang punya kewajiban memberikan sebagian hartanya kepada istri, baik dalam bentuk mahar, nafkah, dan lainnya. Bila ada harta tertentu yang diberikan suami kepada istrinya, maka harta tertentu itu berubah kepemilikannya jadi milik istri. Namun bila tidak diberikan, statusnya tetap milik suami. Di dalam syariat Islam tidak dikenal harta yang bercampur dan dimiliki bersama secara otomatis, kecuali bila suami dan istri sepakat untuk membeli sesuatu secara patungan, maka barulah menjadi milik bersama, dengan prosentase kepemilikan yang proposional. Kepemilikan Bersama Secara Proporsional Yang dimaksud dengan proporsional itu misalnya begini, suami istri sepakat patungan membeli rumah seharga 1 milyar. Uang suami 800 juta dan uang istri 200 juta. Berarti proporsi kepemilikan masing-masing adalah 4 banding 1. Rumah itu 80%-nya milik suami dan 20%-nya milik istri. Kalau suami istri itu bercerai, maka urusan kepemilikan rumah itu sudah jelas sekali, bahwa suami adalah pemilik dari rumah itu senilai 80%. Dan istri adalah pemilik rumah itu senilai 20%. Tinggal mereka sepakat saja, apakah rumah itu mau dibelah dua, atau mau dijual lalu uangnya dibagi. Dan boleh saja suami membeli bagian 20% dari rumah itu yang merupakan milik mantan istri, atau sebaliknya, justru istri yang membeli 80% bagian rumah itu yang dimiliki oleh mantan suami. Sedangkan dalam sistem gono-gini bawaan dari Barat, bila suami istri sepakat patungan membeli rumah, tidak peduli berapa porsi nilai saham masing-masing, secara otomatis dianggap kepemilikannya adalah 50 : 50. Kalau seandainya mereka bercerai, dalam hukum gono-gini rumah itu harus dibelah dua sama besar. Walaupun uang suami untuk membeli rumah itu jauh lebih besar, yaitu 800 juta misalnya, namun hukum sekuler barat itu telah menzalimi hak kepemilikan suami, karena yang diakui hanya 500 juta saja. Maka wajar kalau di Barat sana, orang-orang cenderung menjauhi pernikahan, karena pernikahan itu bisa membuat orang jadi rugi secara material dengan adanya hukum gono-gini ini.
Hukum Perceraian dan Mahar Dalam syariat Islam, cerai itu hanya terjadi bila suami menjatuhkannya. Wewenang menjatuhkan cerai itu hanya ada di satu pihak saja, yaitu pihak suami. Ibaratnya, dalam sebuah kantor, yang melakukan pemecatan itu bos kepada karyawan. Istri tidak bisa mencerai suaminya, sebagaimana karyawan tidak bisa memecat bosnya. Jadi dalam perceraian itu, bisa saja istri minta diceraikan, akan tetapi kalau suami tidak menjatuhkannya, tidak akan terjadi perceraian apapun. Yang datang dari pihak istri hanya sebuah permohonan, ibaratnya proposal permohonan dana sumbangan, yang diajukan kepada pihak suami. Lalu apakah permohonan itu diterima atau tidak, 100% menjadi wewenang suami. Anggaplah misalnya suami kemudian menceraikan istrinya, maka tidak ada konsekuensi apapun dari pihak istri misalnya untuk mengembalikan mahar. Sebab meski permohonan datang dari pihak istri, tetapi eksekusi tetap datang dari pihak suami. Jadi tetap saja yang menceraikan adalah suami. Khulu' Bukan Talak Adapun kasus dimana istri diwajibkan untuk mengembalikan mahar kepada suaminya, bukan termasuk dalam kasus perceraian tetapi kasus khulu'. Khulu' sangat jauh berbeda dengan talak. Dalam kasus khulu', seorang suami sama sekali tidak menceraikan istrinya, tetapi pernikahan itu dibatalkan oleh pengadilan berdasarkan 'gugatan' pihak isteri. Tentunya pihak pengadilan agama tidak boleh main gugurkan sebuah pernikahan kecuali setelah beragam upaya untuk merujukkan atau paling parah adalah meminta pihak suami untuk menceraikan isterinya. Dalam kasus khulu', istilah yang digunakan adalah fasakh. Dan untuk itu pihak isteri diwajibkan mengembalikan nafkah-nafkah yang pernah diberikan. Ilustrasi sederhananya, khulu' itu ibarat seseorang memakan makanan lalu dia memuntahkan kembali makanan yang sudah dimakannya itu. Konsekuensi lainnya jauh lebih berat lagi, yaitu seorang wanita yang mengkhulu' suaminya lalu khulu'-nya itu diresmikan pengadilan agama, maka untuk selama-lamanya dia tidak halal lagi bagi mantan suaminya. Lebih kejam dari sekedar talak tiga, yang masih mungkin kembali lagi asalkan wanita itu sempat menikah dulu dengan laki-laki lain dan kembali kepada suami pertamanya. Dalam kasus khulu', pasangan itu selama masih di dunia ini bahkan sampai di akhirat tidak akan bisa kembali lagi, selama-lamanya. Sebab sudah di'muntah'kan. Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat,Lc.,MA
|
1. Aqidah |
2. Al-Quran |
3. Hadits |
4. Ushul Fiqih |
5. Thaharah |
6. Shalat |
7. Zakat |
8. Puasa |
9. Haji |
10. Muamalat |
11. Pernikahan |
12. Mawaris |
13. Kuliner |
14. Qurban Aqiqah |
15. Negara |
16. Kontemporer |
17. Wanita |
18. Dakwah |
19. Jinayat |
20. Umum |