USTADZ MENJAWAB

1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | Cari

Ringkas | Rinci
Nikah Gantung

Nikah Gantung

PERTANYAAN
Assalamualaikum wr. wb.

Ustadz yang dirahmati Allah SWT, saya ingin bertanya perihal nikah/kawin gantung.

Saya pernah bertanya kepada dosen agama saya, katanya boleh. Menurut dosen saya, pada praktiknya, kawin gantung itu nikahnya sekarang, tapi rumah tangganya (misalnya) satu tahun kemudian.

Hal itu dilakukan untuk melegalisasi hubungan laki2 & perempuan agar tidak terjerumus kepada zina, tetapi belum sanggup berumah tangga dalam periode tertentu.

Mohon penjelasannya ustadz,

syukron katsiron wa jazakumullah..
JAWABAN
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Sebenarnya di dalam disiplin ilmu fiqih Islam tidak ada istilah nikah gantung. Setidaknya, istilah nikah gantung itu bukan istilah yang baku dalam khazanah fiqih Islam. Dan oleh karena itu kita tidak menemukan padanan dari istilah ini dalam literatur ilmu fiqih yang mukatamad.

Lalu dari mana istilah nikah gantung ini dan apa maksud yang sebenarnya?

Ada banyak analisa tentang asal muasal nikah gantung ini. Salah satunya adalah sebagaimana disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
  • perkawinan yang sudah sah, tetapi suami dan istri belum boleh serumah (masih tinggal di rumah masing-masing); (arti)
  • perkawinan yang belum diresmikan penuh (pengesahannya ditunda setelah dewasa); (arti)
Kalau kita perhatikan pengertian perkawinan gantung versi KBBI di atas, ada dua pengertian yang sangat berbeda hakikatnya. Pertama, suami dan istri sudah menikah secara sah, tetapi mereka sepakat belum tinggal serumah. Kedua, pasangan itu memang sama sekali belum menikah sama sekali. Cuma semacam ada kesepakatan atau perjanjian bahwa nanti keduanya akan menikah.

Nikah Gantung Dalam Pengertian Pertama

Apa yang dikatakan oleh dosen Anda tadi kemungkinan besar adalah nikah gantung versi pertama. Nikah gantung ini cuma istilah saja, sebenarnya secara hukum pernikahan, mereka sudah 100% menjadi suami istri. Maka mereka boleh dan halal untuk melakukan apapun yang dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah.

Mereka boleh berduaan, boleh saling bercampur bahkan melakukan hubungan suami istri (jima') dan bahkan punya anak sepuluh orang pun tidak ada yang melarang. Karena pernikahan di antara mereka sah 100% dan mereka adalah pasangan suami istri layaknya yang lain. Tidak ada satu pun larangan yang berlaku bagi mereka berdua.

Lantas kalau memang demikian pengertiannya, apa bedanya nikah gantung ini dengan nikah biasa?

Ya, itulah masalahnya. Sudah disebutkan sejak awal bahwa ilmu fiqih tidak mengenal istilah nikah gantung. Yang ada cuma satu di antara dua, menikah atau tidak / belum menikah. Adapun di antara suami istri itu ada kesepakatan untuk tidak tinggal serumah untuk sementara waktu, itu urusan 'dalam negeri' mereka. Tidak ada istilah nikah yang digantung-gantung.

Nikah Gantung Dalam Pengertian Kedua

Sedangkan nikah gantung dalam pengertian kedua menurut KBBI di atas, pada hakikatnya kalau dilihat dari kacamata fiqih, malah belum bisa disebut dengan pernikahan. Sebab akad nikah belum terjadi sama sekali, maka pasangan itu sama sekali bukan suami istri.

Karena mereka bukan suami istri yang sah, maka haram bagi mereka berduaan, apalagi melakukan percumbuan dan persetubuhan. Mereka tidak lain hanya pasangan yang punya kesepakatan bahwa suatu ketika akan menikah. Tetapi saat ini mereka 100% bukan pasangan yang sah.

Nikah Gantung Versi Ketiga

Walau pun tidak disebutkan di dalam KBBI, namun saya menemukan ada juga versi nikah gantung yang ketiga. Saya menemukannya di tengah keluarga dari budaya tertentu, yaitu dari kalangan keturunan Arab yang sudah jadi bangsa Indonesia.

Salah seorang kerabat yang masih keturunan Arab pernah memperkenalkan puterinya yang masih kelas 5 SD. Dia kenalkan bahwa puterinya sudah dinikahkan dengan putera dari kerabatnya, yang ternyata juga masih kelas 1 SMP.  Mulanya saya agak tidak percaya, mana mungkin anak perempuan kelas 5 SD sudah dinikahkan dengan suami yang juga baru kelas 1 SMP. Tetapi kerabat saya ini serius mengatakan bahwa puterinya telah dinikahkan secara sah.

Lantas saya kemudian teringat kisah dari salah seorang dosen saya yang berkebangsaan Yaman, namun kini tinggal di Madinah. Beliau bercerita bahwa kisah pernikahannya yang pertama kali ketika masih tinggal di Yaman adalah ketika beliau masih berusia 10 tahun. Waw, yang bener ustadz? Begitu saya bereaksi pertama kali.

Namun beliau bilang bahwa itu adalah kenyataan, bukan sekedar joke atau main-main. Istrinya saat itu masih berusia 8 tahun. Wah, ini sih pernikahan di bawah umur banget, begitu saya bilang dalam hati.

Ternyata, fenomena menikahkan anak-anak di usia belum baligh tapi sudah mumayyiz itu bukan hal aneh di dalam peradaban mereka. Itu hal biasa saja, terjadi sehari-hari di tengah masyarakat. Dan yang paling penting, menikah di bawah umur seperti itu di negera asal mereka, sama sekali bukan perkara melanggar hukum. Bahkan malah menjadi adat, budaya dan tradisi. Justru mereka bangga bisa menikahkan anak-anak SD dengan teman main mobil-mobilannya.

Lantas bagaimana hukumnya dalam syariat Islam? Bolehkah atau sah apa tidak, bila pernikahan dilakukan oleh anak-anak kecil? Apa tidak kasihan, sejak kecil sudah menikah, sudah jadi suami atau istri.

Jawabnya tentu saja sah. Sebab ketika Aisyah radhiyallahuanha dinikahi oleh Rasulullah SAW, saat itu beliau memang masih terbilang anak-anak. Tidak ada istilah phedofilia dalam hal ini. Sebab meski sudah jadi istri sah Rasulullah SAW, nyatanya mereka memang belum bercampur dalam satu rumah.

Lalu Dari Mana Istilah 'Gantung"

Sebagian orang ada yang bilang bahwa istiah 'gantung' dalam pernikahan ini digunakan karena hubungan suami istri antara dua anak kecil itu nanti akan 'digantung'. Maksudnya, begitu mereka baligh, dewasa dan cukup umur, hubungan suami istri ini akan digantungkan kepada mereka, dalam arti diserahkan kepada mereka. Biar mereka yang memutuskan, apakah akan meneruskan pernikahan dini itu, atau mereka mau berpisah saja.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ahmad Sarwat, Lc., MA