USTADZ MENJAWAB

1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | Cari

Ringkas | Rinci
Sudah Ngaji 15 Tahun Belum Jadi Ahli Syariah

Sudah Ngaji 15 Tahun Belum Jadi Ahli Syariah

PERTANYAAN
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Mohon maaf ustadz, bukan maksud saja mencari-cari kesalahan dan kekurangan siapa pun. Cuma saya ingin konsltasi kepada ustadz, barangkali ustadz lebih pengalaman.

Sejak lama saya sudah ikut mengaji dan liqo', sejak masih kuliah dulu sampai sekarang saya sudah berkeluarga, bahkan sudah punya anak. Kalau dihitung-hitung, usia tarbiyah saya sudah melebihi 15 tahun. 

Tapi ada yang sedikit mengganjal di dalam lubuh hati saya. Mungkin ini juga dirasakan oleh banyak teman saya. Saya hitung-hitung setelah lama aktif berdakwah, kok masih merasa belum  menguasai ilmu fiqih dan hukum-hukum syariah? Apa ada yang salah atau keliru?

Saya ingin jadi sosok seperti ustadz, bisa banyak berguna buat umat dan memberikan dakwah dan materi-materi keislaman, karena itu memang cita-cita saya sejak remaja.

Kira-kira apa yang bisa saya lakukan untuk bisa menguasai ilmu syariah seperti ustadz ini. Mohon petunjuk dan saran.

Wassalam
JAWABAN
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Apa yang antum lakukan selama ini sudah benar, yaitu jadi aktifis dan ikut pengajian, apa pun nama dan istilahnya. Bisa disebut dengan tarbiyah, liqa', harakah, halaqoh, majelis taklim, pengajian dan sebagainya. Setidaknya tiap-tiap institusi memang punya kelebihan dan keistimewaan tersendiri, yang boleh jadi tidak ditemukan di tempat lain.

Maka yang kita bicarakan ini tidak ada kaitannya dengan sikap menjelekkan atau memuji suatu institusi. Sebab tiap institusi itu pasti punya agenda dan program yang dirancang sesuai dengan tujuan dan tahapan-tahapan yang ingin dicapai. Kita tidak boleh bertikai dengan urusan ini.

Belajar Ilmu Syariah


Ilmu syariah adalah ilmu yang tidak bisa dipelajari sambil lalu, kalau niatnya ingin menjadi ahli syariah. Sebenarnya semua ilmu pun demikian. Ilmu apapun, kalau kita ingin jadi orang yang ahli dan menguasainya, tentu harus belajar dengan serius.

Misalnya ilmu kedokteran. Untuk menjadi dokter itu tidak cukup hanya berbekal sering diskusi dan mengkaji masalah-masalah kesehatan, tetapi harus kuliah dengan serius. Dan bukan cuma kuliah, tetapi harus sampai lulus dan punya nilai yang cukup.

Tetapi yang namanya kuliah di fakultas kedokteran itu memang tidak gampang. Tidak semua lulusan SMA berani mendaftarkan diri kesana. Dan modal berani saja, juga belum tentu diterima. Sebab selain mental, juga harus punya nilai yang cukup.

Lulus diterima di fakultas kedokteran, bukan berarti otomatis jadi dokter. Justru masalah baru dimulai, yaitu harus siap belajar ketat dan ngotot. Tiap hari berkutat dengan buku, makalah, paper, bahkan keluar masuk laboratorium. Pendeknya, jadi dokter itu adalah profesi yang awalnya harus dilewati dengan proses kuliah yang berat.

Begitu juga dengan belajar ilmu syariah. Ilmu syariah itu tidak bisa dikuasai hanya lewat pengajian, majelis taklim, atau halaqah sambil lalu. Setidaknya dibutuhkan beberapa hal yang fundamental, misalnya :

1. Guru dan Nara Sumber


Ilmu apapun yang ingin kita pelajari, tentu harus diajarkan oleh para ahlinya. Yang mengajar di fakultas kedokteran itu minimal harus dokter juga, tidak mungkin yang mengajar itu guru aerobic, guru senam, guru silat, apalagi guru tari.

Demikian juga dengan pengajian, liqo', halaqah dan sebagainya. Kalau niatnya ingin belajar ilmu syariah dan pesertanya jadi ahli syariah, tentu nara sumbernya harus mereka yang sudah ahli di bidang tersebut. Sebab bila nara sumbernya bukan ahli syariah, meski pun namanya tetap pengajian, tetapi tentu tidak akan tercapai tujuan untuk mempelajarinya.

Mungkin kalau sekedar bicara tentang hal-hal yang menyemangati para muridnya, siapa pun bisa. Atau hanya sekedar memberikan motivasi, arahan, dan pengawasan, bisa dilakukan oleh yang bukan ahli di bidang syariah.

Saya sendiri kalau diminta untuk mengisi pengajian, tetapi judulnya bukan bidang yang saya tekuni, dari awal saya sudah menyerah. Misalnya saya diminta mengajarkan ilmu sharaf dan nahwu, biasanya saya tolak. Bukan tidak bisa, tetapi saya merasa kurang ahli dan kurang mendalami ilmu-ilmu tersebut. Sebatas apa yang bisa saya pakai sendiri mungkin bisa, tetapi kalau harus mengajarkan lagi kepada orang lain, saya tahu diri.

Demikian juga kalau diminta mengajar tentang managemen qalbu,  ilmu tashawwuf, atau ilmu hikmah, saya mundur teratur. Bahkan termasuk ilmu aqidah yang begitu ribet printilannya, saya ogah. Lebih baik cari ustadz nara sumber yang memang ahlinya.

2. Ilmu Dasar

Ilmu itu berjenjang, ada dasar, tengah-tengah dan puncak. Kita tidak bisa tiba-tiba belajar ilmu yang sudah mencapai puncak, kalau tidak meniti dulu dari dasarnya.

Dasar ilmu syariah adalah ilmu syariah dasar, yang biasanya kita sudah dapat semenjak kita kecil. Misalnya ilmu dasar-dasar wudhu, mandi janabah, tayammum, shalat, zakat, puasa dan seterusnya. Di desa-desa dan pesantren, sejak masih dini kita sudah diajarkan ilmu fiqih dasar, biasanya pakai kitab rendah semacam Fathul Qarib, Safinatun Najah, atau kitab sederajat lainnya.

Permasalahan kita di kota besar macam Jakarta ini, sejak anak-anak kita tidak pernah dikenalkan dengan kitab-kitab fiqih semacam itu. Sehingga kebanyakan orang tidak punya pondasi yang mendasari ilmu yang akan dipelajari.

Logikanya, orang yang tidak punya pondasi dasar atas suatu ilmu, tidak mungkin tiba-tiba bisa menjadi ahli di bidang ilmu tersebut. Maka pengajian yang ada barangkali seharusnya menggelar dulu ilmu-ilmu dasar itu, sebelum bicara tentang ilmu-ilmu berikutnya, untuk mencetak ahli di bidang syariah.

3. Bahasa Arab Mutlak Harus Dikuasai

Ilmu syariah adalah ilmu yang dibungkus dalam bahasa Arab. Mulai dari sumber utamanya, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah, sudah berbahasa Arab. Hingga ilmu penunjangnya, yaitu tafsir ayat ahkam dan hadits-hadits ahkam, juga berbahasa Arab. Dan intisari dari ilmu syariah, yaitu ilmu ushul fiqih dan ilmu fiqihnya sendiri, semua tertuang dalam ribuan jilid kitab literatur yang semuanya berbahasa Arab.

Maka mustahil kita bisa mencetak orang yang ahli di bidang ilmu fiqih, sementara muridnya tidak menguasai bahasa Arab. Lebih mustahil lagi nara sumbernya juga tidak bisa bahasa Arab.

4. Jumlah Jam Pertemuan

Jangan menghitung masa mengaji yang sudah 15 tahun, kalau jadwal pertemuannya cuma seminggu sekali. Sebab 15 tahun itu sedikit, kalau dihitung secara benar.

Mari kita hitung bersama ya. Dalam setahun ada 52 minggu. Tetapi biasanya kan ada libur-liburnya, ada lebaran, apa puasa, ada pulang kampung, sakit, izin, bolos dan sebagainya. Anggap rata-rata setahun itu 40 pertemuan dikali dua jam. Berarti kalau 15  tahun itu cuma 40 x 2 x 15 = 1.200 jam. Ini berarti walau pun masa belajar 15 tahun, tetapi sebenarnya hitungan waktunya cuma sedikit.

Coba bandingkan dengan kuliah yang waktunya padat setiap hari. Di LIPIA kita kuliah dalam sehari 5 jam, dalam seminggu 5 hari, dan dalam satu semester 16 minggu. Dan kuliah S-1 itu terdiri dari 8 semester atau 4 tahun. Maka kalau kita jumlahkan berarti 5 x 5 x 16 x 8 = 3.200 jam. Walaupun cuma 4 tahun tetapi sebenarnya jauh lebih banyak, karena lebih padat.

5. Kurikulum, Buku dan Literatur

Sebuah perkuliahan biasanya punya kurikulum tertentu, juga menggunakan buku dan literatur tertentu. Nyaris tidak bisa dipisahkan antara kuliah dengan literatur.

Tetapi saya seringkali menemukan pengajian, majelis taklim, liqa', halaqah dan sejenisnya yang tidak menggunakan kitab tertentu dalam kurikulumnya. Kebanyakan materi yang disampaikan hanya 'terserah ustadz' saja.

Seringkali apapun yang lagi terbersit di kepalanya ustadznya dan kira-kira masalah yang lagi ngetrend, maka materi itulah yang disampaikan.

6. Ujian

Yang namanya kuliah itu berbeda dengan majelis taklim dan sejenisnya. Di dalam kuliah, kita 'dipaksa' belajar dan belajar, sampai bisa. Dan untuk itu ada serangkaian ujian, baik lisan ataupun tulisan, yang dilakukan secara berkala. Ada ujian mid-smester, ada ujian akhir, ada pula kewajiban bikin tulisan, makalah, skripsi dan seterusnya.

Sedangkan dalam majelis taklim dan sejenisnya, tidak ada ujian, tidak ada test, dan tidak ada penilaian. Bahkan juga tidak ada istilah IP/IPK, tidak dikenal pula istilah naik tingkat, dan juga sistem semester.

Saya sendiri mengajar di beberapa majelis taklim yang jadwal pertemuannya hanya seminggu sekali, bahkan ada yang cuma sebulan sekali. Tentu bukan berarti pengajian seperti ini tidak berguna. Meski cuma sebulan sekali, tetap sangat berguna dan banyak manfaatnya. Namun saya saya sadar bahwa tidak mungkin bisa melahirkan ahli syariah, kalau jadwalnya cuma sebulan sekali. Maka saya tidak perlu komplain kepada para jamaah tentang mengapa mereka tidak bisa jadi ahli syariah.

Kesimpulan

Namun jangan salah tafsir dulu, apa yang kita bahas di atas adalah sebuah deskripsi tentang apa perbedaan sistem perkuliahan dengan sistem pengajian. Kalau sistem perkuliahan itu lebih sesuai untuk transfer ilmu, memang karena diciptakan dan didesain ke arah sana.

Sedangkan majelis taklim, liqa', pengajian dan sejenisnya, bukan berarti tidak bermanfaat. Namun esensi dan desain awalnya memang tidak diciptakan semata-mata untuk mempercepat transfer ilmu syariah.

Kadang yang lebih kental ditekankan justru nuansa ikatan ukhuwah dan silaturrahimnya, atau nilai-nilai keberjamaahnnya. Dan semua itu tentu penting juga, sebab kita memang harus berukhuwah, bersilaturrahim dan berjamaah. 

Katakanlah misalnya keluarga kita punya jadwal arisan sebulan sekali. Nah, dari pada cuma kumpul-kumpul doang, sekalin saja ngundang ustadz, biar ada nasehat dan pengajian. Tentu sejak awal kita tahu bahwa pengajian model arisan ini tidak akan melahirkan ahli syariah. Sebab tujuannya cuma sekedar agenda tambahan, yang bisa saja ditempelkan dan bisa dibuang.

Maka nara sumbernya pun tidak disyaratkan harus ahli syariah, pesertanya pun tidak disyaratkan harus bisa bahasa Arab. Demikian juga, jumlah jam pertemuannya tidak seefektif dalam perkuliahan. Dan tidak dikenal sistem ujian dan penilaian. Juga tidak diperlukan buku-buku literatur yang harus dibaca, diringkas atau dikaji mendalam.

Apalagi di dalam arisan itu walau pun ada pengajian, banyak yang pada bawa anak kecil, yang lari-lari berseliweran kesana kemari, sambil teriak-teriak. Yang hari ini hadir belum tentu kemarin hadir, sehinga komposisi muridnya juga tidak pasti.

Maka kalau tidak menjamin bisa melahirkan seorang ahli syariah, tentu jangan dikomplain. Karena desain awalnya memang tidak diarahkan kesana. Kalau mau jadi ahli syariah, sebaiknya mendaftarkan diri menjadi mahasiswa fakultas syariah, ikuti semua perkuliahannya dengan intensif, hingga lulus.

Atau setidaknya berguru dan mengaji kepada para ulama langsung, yaitu mereka yang ahli di bidang ilmu syariah.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA