USTADZ MENJAWAB

1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | Cari

Ringkas | Rinci
Saya Sedang di Iran, Halalkah Sembelihan Mereka?

Saya Sedang di Iran, Halalkah Sembelihan Mereka?

PERTANYAAN

Assalamu'alaikum wr wb,

Ustadz saya ingin bertanya, apa hukumnya memakan sembelihannya orang syiah? Apakah halal atau haram. Sebab saya pernah mendengar bahwasanya syiah itu bukan islam dan juga bukan ahli kitab, sehingga kita diharamkan untuk memakan sembelihannya.

Mohon jawaban ustadz sebab saat ini saya sedang berada di Iran dan saya ragu untuk memakan ayam atau daging yg ada di sini. Terima kasih banyak atas jawaban ustadz.

JAWABAN

 

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Yang diharamkan buat kita adalah memakan sembelihan orang yang secara resmi beragama selain Islam. Karena penyembelihan yang dilakukan oleh non muslim itu bukan penyembelihan syar'i, lantaran penyembelihnya bukan seorang muslim yang mukallaf.

Hewan yang disembelih oleh bukan muslim ini jadinya hanya sekedar membuat hewan mati terbunuh, tetapi bukan merupakan ritual penyembelihan yang mensucikan. Jadi statusnya hukumnya adalah  bangkai.

Salah satu syarat penyembelihan adalah status keislaman penyembelihanya harus muslim. Kalau tidak, berarti tidak lewat prosedur penyembelihan yang sah, maka status hewan itu sama dengan hewan yang mati terlindas mobil, kejepit, tenggelam, termangsa oleh hewan buas.

Dalam syariah Islam, penyembelihan hewan yang syar'i itu disebut dengan istilah tadzkiyah, yang bermakna pensucian. Maksudnya, yang seharusnya membunuh hewan itu akan mengakibatkan hewan itu jadi bangkai, maka dengan proses penyembelihan atau tadzkiyah ini, hewan itu mati bukan dengan status bangkai, melainkan hewan yang suci dan halal dimakan.

Apakah Semua Warga Negara Iran Resmi Berstatus Kafir?

Yang menjadi titik masalahnya adalah pertanyaan antum, yaitu apakah halal makan daging sembelihan di Iran?

Pertanyaan ini menjadi penting, sebab meski yang ditanyakan hanya urusan halal haramnya makanan, tetapi pada hakikatnya yang jadi inti pertanyaan adalah status keislaman warga negara Iran. Sehingga pertanyaannya seolah-olah berubah menjadi : Apakah orang-orang yang tinggal di negara Iran boleh langsung dipastikan secara hukum bahwa mereka orang kafir?

Ini pertanyaan penting dan jawabannya tidak sederhana. Dan kita harus hati-hati serta lebih cermat dalam masalah hukum vonis kafir ini. Karena vonis kafir ini merupakan status hukum yang konsekuensinya amat berat, dunia akhirat.

Memang benar kita sering mendapatkan fatwa atau pendapat dari banyak kalangan bahwa syiah itu bukan hanya sesat, tetapi juga kafir. Kalau kita kumpulkan memang cukup banyak juga fatwa-fatwa yang menyebutkan bahwa siapa yang mengkafirkan para shahabat Nabi SAW, maka merea pun kafir juga.

Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa yang namanya fatwa atau hukum itu berbeda dengan penetapan vonis status hukumnya di lapangan. Faktor inilah yang kadang kurang dipahami masyarakat awam kita. Dan disinilah kita perlu sedikit pembahasan yang agak mendalam.

Perbedaan Antara Hukum, Vonis Hukum dan Eksekusinya

Misalnya di dalam syariah Islam berlaku hukum potong tangan, yang didasarinya lewat firman Allah SWT di dalam Al-Quran Al-Karim :

 

 

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُواْ أَيْدِيَهُمَا جَزَاء بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Qs. Al-Maidah : 38)

Sebagai muslim yang beriman kepada Allah dan kitab suci-Nya, kita harus mengakui hukum wajibnya pencuri dipotong tangan. Tetapi hukuman potong tangan tidak bisa kita terapkan begitu saja secara membabi buta, pada siapa pun yang kita 'curigai' sebagai maling.

Maling memang harus dipotong tangan, tetapi kita tidak bisa main potong tangan orang hanya karena kita beropini bahwa seseorang adalah maling.

Tidak dibenarkan buat kita untuk masuk ke sebuah kampung yang konon banyak dihuni oleh para maling, lantas kita grebek mereka dan kita potong-potong tangan mereka satu per satu. Tidak demikian hukum Islam dijalankan.

Semua ada ketentuannya, yaitu harus diproses lewat lembaga penegakkan hukum dan juga lewat meja hijau. Harus ada tuntutan dari jaksa, lalu ada pembelaan dari terdakwa, kemudian ada rangkaian sidang-siang yang boleh jadi sangat panjang, baru pada akhirnya turun vonis dari hakim yang mengangani.

Dalam kenyataannya, kadang keputusan hakim di tingkat Pengadilan Negeri (PN) masih bisa berubah lagi di tingkat Pengadilan Tinggi (PT). Dan masih juga berubah di tingkat Mahkamah Agung (MA). Kalau sudah di MA sering disebut dengan keputusan hukum yang tetap.

Tetapi meski sudah diputuskan sedemikian rupa lewat proses hukum, bukan berarti apa sudah divonis itu langsung bisa dieksekusi. Apalagi kalau terkait dengan hukuman mati. Bahkan orang yang sudah divonis mati oleh MA masih bisa meminta keringanan hukum dari kepala negara, seperti grasi dan teman-temannya.

Vonis Hukum Atas Pemeluk Ajaran Syiah

Katakanlah misalnya seseorang beryakinan bahwa ajaran syiah itu ajaran sesat  dan kafir, namun bukan berarti otomatis orang yang kita anggap syiah berarti harus kita perlakukan sebagai orang kafir. Dan kita tidak bisa menganggap siapa saja yang tinggal di Teheran Iran itu pasti berstatus sebagai orang kafir.

Alasannya, tidak semua warga negara Iran itu memeluk syiah, meski syiah adalah agama resmi pemerintah. Sebagaimana kita tidak bisa memvonis semua warga negara Amerika itu Kristen atau Yahudi, walau pun negara itu didominasi oleh agama-agama tersebut.

Itulah kenapa pemerintah Saudi Arabia meski sangat benci dengan syiah atau negara Iran, tetapi jamaah haji dan umrah dari Iran tetap diberi izin masuk ke tanah suci Mekkah. Padahal, kalau status mereka resmi bukan pemeluk Islam, pasti akan ditolak mentah-mentah. Sebab hanya muslim saja yang boleh masuk ke tanah suci.

Misalnya ada seorang berkebangsaan Indonesia yang kebetulan di KTP-nya tertulis agamanya Kristen, Khatolik, Hindu, Budha atau Konghuchu, lalu dia mengajukan visa umrah atau haji, pasti sejak awal sudah ditolak oleh Kedutaan Besar Saudi Arabia di Jakarta. Visanya tidak akan keluar, alasannya karena pemohon visa bukan beragama Islam.

Tetapi kenapa warga negara Iran yang notabene bermazhab syiah kok tetap mendapat visa dan bebas melenggang masuk ke tanah suci? Jawabnya karena secara status agama mereka tetap agama Islam. Meski pun aqidah mereka banyak yang melenceng jauh dari aqidah dasar Islam. Setidaknya, itulah pandangan pemerintah Saudi Arabia, yang sangat gencar memerangi syiah dan para pendukungnya.

Kesimpulan :

  1. Selama tidak ada proses hukum dan pengadilan yang melahirkan vonis bahwa secara orang per orang itu kafir, kita tidak bisa mengubah status keislaman seseorang menjadi kafir begitu saja.
  2. Sembelihan orang yang tinggal di Iran tidak lantas otomatis jadi bangkai, karena status kekafiran mereka harus lewat proses keputusan di pengadilan.
  3. Berisikap wara' atau berhati-hati untuk tidak memakan makanan yang statusnya syubhat itu sangat mulia. Tetapi wara' itu bukan status hukum. Artinya, sekedar tidak makan dan meninggalkannya hukumnya bagus, tetapi kalau kita main vonis suatu makanan itu haram, dengan tuduhan bahwa penyembelihnya kafir, maka kita butuh proses hukum yang benar terlebih dahulu.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA