USTADZ MENJAWAB

1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | Cari

Ringkas | Rinci
Perlukah Para Ulama Disertifikasi?

Perlukah Para Ulama Disertifikasi?

PERTANYAAN
Assalamu 'alaikum wr. wb.

Ustadz yang dirahmati Allah.

Ribut-ribut TV yang menampilkan 'ustadz palsu' di layar kaca yang hanya bisa melucu tapi miskin ilmu, ada satu keinginan untuk membuat semacam sertifikasi ulama. Tujuannya agar umat mendapatkan seleksi yang ketat dalam menimba ilmu agama, agar jangan sampai terkecoh dengan penampilan.

Khusus masalah sertifikasi ulama ini, bagaimana ustadz menanggapi hal ini?

Mohon pencerahan, wassalam
JAWABAN

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Memang kita tidak bisa menolak fenomena ustadz palsu yang hanya bisa melucu tapi miskin ilmu, seperti yang antum sampaikan di atas. Ini memang realita yang sudah jadi semacam penyerbuan besar-besaran dan sulit kita tahan.

Kalau untuk melindungi umat dari serbuan ini, memang pekerjaannya tidak mudah. Ada banyak hal yang harus kita lakukan. Dan kita perlu bersatu untuk mengatasi kendala ini. Ada banyak ide-ide kreatif yang bisa dilontarkan, salah satunya adalah metode penggabungan, yang saya sebut dengan istilah thariqatul-jam'i.

Teknisnya, kita biarkan para ustadz palsu yang pandai melucu itu maju. Namun kalau bisa mereka harus didampingi oleh ustadz besar atau ulama yang asli dan original, yang memang punya segudang ilmu. Giliran hadirin butuh materi lawakan, kita serahkan kepada si pelawak, eh si ustadz yang pandai ngelawak ini. Tetapi giliran butuh jawaban ilmu yang serius, microphone kita serahkan kepada ahlinya.

Walhasil, ustadz pelawak itu tidak kehilangan pamor dan mata pencaharian, ulama betulan tetap bisa menyampaikan ilmunya, dan hadirin masih bisa tertawa dan tidak tidur.

Sayanya ide saya itu kurang direspon oleh banyak pihak, sebab kalau sudah bicara proyek, memang bisa beda-beda pendapatan. Naudzu billah.

Bagaimana Dengan Sertifikasi Ulama?

Saya berpandangan sebenarnya kita tidak perlu repot-repot membuat sertifikasi ulama. Sebab nanti kita akan mendulang banyak masalah dalam prosesnya.

Misalnya yang paling mudah, siapakah badan yang paling berwenang untuk mengeluarkan sertifikasinya? Itu saja kita sudah akan berantem satu sama lain. Belum lagi nanti kriterianya, kita akan berantem lagi soal kisi-kisi dan kriteria lulus mendapatkan sertifikasi ulama.

Paling konyol kalau ditangani oleh badan atau oknum-oknum yang tidak punya integritas. Ujung-ujungnya nanti yang menentukan lolos atau tidak lolos mendapat sertifikat adalah yang bisa memberi sogokan. Kita akan blunder mirip kasus Ujian Nasional (UN), MTQ dan SIM.

Ujian Nasional

Kita menemukan banyak kasus dimana Kepala Sekolah atas tekanan dari pejabat lokal telah memerintahkan para guru untuk berlaku curang, yaitu mendongkrak nilai ujian nasional dengan 1001 macam trik licik. Akibatnya, satu sekolah dinyatakan lulus 100%.

Tetapi pura-puranya, anak-anak yang ikut ujian harus ikut Penambahan Materi (PM), dan juga serangkaian Bimbingan Test. Ditambah lagi sekolah menyelenggarakan doa bersama, qiyamullail dan renungan di malam sebelum UN dilaksanakan. Seolah-olah kesannya, semua sudah bekerja serius dan optimal. Walau semua tahu bahwa nanti jawaban soal akan 'dicurangi' oleh guru mereka sendiri.

MTQ

Sudah bukan rahasia lagi bahwa berbagai even Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) baik skala lokal atau nasional, resmi atau setengah resmi, selalu dibayang-bayangi dengan main sogok kepada dewan juri. Oleh karena itu posisi sebagai dewan juri di berbagai ajang MTQ adalah posisi 'basah' bahkan banjir. Kontingen yang 'sogokannya' paling besar sudah dipastikan menggondol piala juara umum. Maka uang bekal dari pejabat setempat tidak sia-sia karena berbuah piala.

Apalagi ada ketentuan bahwa keputusan dewan juri tidak bisa diganggu-gugat. Mantab sudah.

Ujian SIM

Sudah bukan rahasia lagi bahwa bila seseorang mau bikin SIM yang cepat dan pasti lulus test baik tertulis atau praktek, maka harus ada uang tertentu. Jangan coba pelit dalam hal ini, maka ujian tidak akan lulus. Kita harus mengulang sampai dua tiga hari bolak-balik.

Sedangkan kalau ada 'uangnya', tes tertulis itu belum dijawab, sudah dikumpulkan dan langsung dikasih hasil : LULUS. Ajaib sekali, ada uang ada kelulusan.

Sertifikasi Ulama?

Kalau untuk membuat sertifikasi ulama harus lewat proses macam di atas, yaitu ditangani oleh pejabat yang tidak bermoral, maka rusaklah moral umat.

Nanti bisa-bisa para calon ulama kerjaannya hanya jadi tukang sogok pejabat pembuat sertifikasi. Bahkan tidak tertutup kemungkian nanti ada biro jasa baru, yaitu Biro Jasa Pengurusan Sertifikasi Ulama (BJPSU).

Saya membayangkan nanti akan ada beberapa berapa paket sesuai dengan ukuran kantong.

Ada paket gold alias paket kilat, setengah jam semua urusan selesai, cukup foto dan sidik jari dan wawancara formalitas. Tentu harganya agak mahal.  Namnya juga paket cepat.

Di bawahnya ada paket hemat, rada murah memang, tetapi si calon ulama musti bolak-balik tiap hari mengurus segala tetek dan segala bengek. Kalau mau sabar akan selesainya setelah 3 tahun.

Dan yang paling bawah adalah paket nekat. Dikatakan nekat karena memang tidak pakai 'biaya' apapun alias gratis. Tetapi asal tahu saja, sertifikasi itu baru rampung setelah menunggu 30 tahun. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.

Lalu Apa Solusinya?

Sebenarnya kalau kita bicara tentang sosok ulama, selain urusan integritas, memang salah satu tolok ukurnya adalah ilmu yang dimiliki. Dan karena ilmu-ilmu agama itu banyak ragamnya, maka kita juga harus memilah keilmuan masing-masing ulama itu. Ada yang ahli di bidang tafsir, hadits, fiqih, ushul, sejarah atau bahasa dan lainnya.

Almamater

Urusan disiplin ilmu di atas, sebenarnya ijazah mereka saja sudah bisa dijadikan pegangan awal. Kira-kira orang yang mengaku sebagai ulama itu lulusan dari fakultas apa, universitas apa, apa bidang yang ditekuninya.

Kita akan tahu sekualitas apa sang ulama, dengan cara mengetahui lulusan dari universitas apa, jenjangnya apa, disiplin ilmunya apa, dan juga berapa nilainya ketika kuliah dulu.

Memang kalau di dalam negeri, apa beribu kampus ecek-ecek yang kerjaannya jual-beli ijazah dan gelar. Maka kita harus hindari melihat gelar akademik seseorang, tetapi yang kita tonjolkan adalah almamaternya atau universitasnya.

Dari almamater itu kita bisa tahu, lulus dari strata yang mana si ulama ini, S-1 kah, atau S-2, atau malah S-3. Atau sama sekali tidak nyambung antara bidang kuliah dengan profesinya. Dan ini jelas musibah besar.

Bagaimana orang mengaku dokter tetapi tidak pernah duduk di bangku fakultas kedokteran, malah lulusan dari fakultas sastra? Bagaimana orang mengaku pilot tetapi tidak tidak pernah belajar di sekolah penerbangan, malah lulus dari fakultas seni rupa?

Karya Tulis Ilmiyah

Selain menilai dari faktor almamaternya, kita juga mengukur kemampuan ulama itu dengan melihat dan membaca tesis atau disertasi ilmiyahnya. Seberapa tebal tulisannya itu dan seberapa mendalam kajiannya. Dan sebagai karya ilmiyah, tesis dan disertasi itu tentunya sudah pasti diuji oleh guru besarnya sewaktu kuliah dulu.

Maka kita bisa lirik berapa nilai yang diberikan oleh para dosen penguji atas tesis dan disertasi tersebut. Apakah cum laude atau cuma yang penting lulus?

Dan kita juga bisa menanyakan, berapa jilid buku yang pernah ditulis ulama tersebut? Dan seberapakah kualitas ilmiyah dari tulisannya itu. Kita juga bisa menghitung berapa halaman yang dibutuhkan untuk menuliskan ilmu yang dimilik oleh beliau.

Dan satu lagi, kita bisa buka halaman daftar pustaka. Coba kita lirik, seberapa banyak buku yang dijadikan rujukan dan seberapa besar bobot dari buku rujukannya.

Semua itu sudah bisa mencerikan seberapa berkualitas si ulama yang sedang kita bicarakan. 

Koleksi Kitab

Mari kita silaturrahmi ke rumah si ulama. Coba kita lihat seberapa banyak koleksi kitab yang dimilikinya. Berapa lemari kitab yang dikoleksinya? Dan jenis kitab apa saya yang jadi koleksinya?

Apakah hanya sekedar dijadikan pajangan di lemari pada ruang tamu, ataukah kitab-kitabnya itu pada lusuh akibat terlalu banyak dibolak-balik?

Ijazah Dari Ulama Besar

Ijazah itu ada yang formal dan ada yang tidak formal. Syeikh Yasin Alfadani, Syeikh At-Tirmasi, Syeikh Nawawi Albantani memang tidak bergelar Lc, MA atau doktor. Tapi semua orang tahu bahwa beliau-beliau itu ulama besar.

Lalu beliau-beliau itu Ijazahnya apa?

Ijazahnya diberikan oleh guru-guru beliau yang amat banyak itu.Mereka adalah para ulama besar yang keilmuan dan integritasnya sudah diakui dalam dunia Islam.

Sekedar satu contoh, para ulama di masa lalu punya guru tidak hanya satu, tidak macam kita di masa sekarang yang gurunya cuma satu, bukan ahli di bidangnya, tetapi kita fanatik buta habis-habisan kepadanya.

Al-Imam Abu Hanifah meski pernah berguru kepada Hammad dan Ibrahim An-Nakhai, ternyata kalau dihitung-hitung, jumlah guru beliau mencapai 4.000 ulama kaliber dunia.

Kalau kita ukur dengan ukuran di masa sekarang, punya 4.000 guru itu kira-kira setara dengan 4000 gelar kesarjanaan, atau setara dengan 4000 lembar ijazah.

Nah, kalau ada orang mengaku ingin jadi ulama, mudah saja mengetesnya. Sodorkan kepadanya satu lembar kertas folio, dan mintakan kepadanya untuk membuat daftar guru yang pernah mengajarkan ilmu agama kepadanya. Tidak usah dengan nama ilmunya, cukup nama gurunya saja.

Tapi yang dimaksud dengan guru adalah memang tempat mengaji dan menimba ilmu. Dan si guru kalau ditanya, apa benar punya murid yang namanya si fulan ini, tentu jawabnnya harus iya dan benar.

Nanti kita lihat, berapa banyak nama yang dituliskan di dalam selembar kertas kosong folio itu. Penuhkah kertas itu atau hanya terisi separo, atau malah tidak ada sama sekali. Dari situ saja kita sudah bisa menebak, seberapa banyak ilmu yang pernah dia pelajari.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA