![]() |
USTADZ MENJAWAB1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | CariRingkas | Rinci |
Uang Syubhat untuk Bayar Pajak? |
PERTANYAAN Ustadz, di kalangan PNS, jamak terjadi atasan memberikan "honor" yang syubhat. Status syubhat karena kadang-kadang pemberian uang itu tanpa disertai keterangan jelas dari pos anggaran yang mana. Di antara sumber "pemasukan" yang lazim terjadi, adalah dari selisih diskon pembelian barang / penyewaan tempat untuk sebuah kegiatan dinas dengan jumlah tertera di kwitansi / invoice. Saya insya Allah selalu berusaha memisahkan penerimaan semacam itu dari penerimaan yang resmi & sudah jelas statusnya halal. Yang syubhat tadi, meski saya terima dari atasan (tidak bisa dihindari, kecuali siap untuk berkonfrontasi dengan atasan / teman-teman kantor), tidak saya gunakan untuk seluruh pos nafkah keluarga. Uang syubhat itu saya kumpulkan di amplop tersendiri. Ustadz, saya pernah mengeluarkan sebagian dari uang itu ketika warga di lingkungan tempat tinggal saya sepakat untuk memperbaiki jalan dengan betonisasi. Saya pernah dengar hal semacam ini boleh dilakukan. Masalahnya, "pintu-pintu" penyaluran untuk uang syubhat itu jarang saya temui / kalah cepat dengan tingkat pemasukan uang syubhat. Hehehe.. Yang ingin saya tanyakan, bolehkah uang syubhat semacam ini dipakai untuk membayar pajak ke pemerintah (PBB, misalnya)? Kenapa terpikir ke situ, karena pajak yang dikumpulkan ke negara kan di antaranya "dikembalikan" oleh negara kepada masyarakat luas dalam bentuk fasilitas umum seperti jalan raya, jembatan, saluran air, dll. Saya juga berpikir itu sama saja "mengembalikan" uang tersebut kepada negara. Saya belum melakukan apa yang saya tanyakan karena saya ingin mendapatkan kepastian status syar\'i-nya. Intinya sih, saya pingin supaya isi amplop itu cepat habis dan tersalurkan tanpa menimbulkan dosa bagi saya. Mohon penjelasannya, Ustadz. Wallahu \'alam. |
JAWABAN Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Secara alur logika, nampaknya ide antum itu lumayan bagus. Intinya, kebocoran uang negara dikembalikan lagi ke negara, meski lewat saluran yang rada berbeda. Dalam bentuk yang ideal, lewat mana sumber kebocoran uang negara itu, maka lewat situ pula uang itu dikembalikan. Kalau kita umpamakan maling mengambil barang orang, maka kalau maling itu insyaf dan ingin bertobat, barang itu harus dikembalikan lagi kepada pemilik aslinya. Namun kalau sesuatu tidak bisa berjalan secara ideal, bukan berarti ditinggalkan sama sekali. Kalau tidak bisa mendapatkan 100%, maka 80% pun sudah lumayan. Yang dihargai pertama kali adalah niat dan tekad untuk tidak makan uang haram. Adanya niat dan tekad itu sendiri sudah merupakan prestasi tersendiri. Jarang-jarang ada PNS yang mau bertekad seperti yang antum lakukan. Kebanyakan yang saya temukan justru malah sejak belum masuk jadi PNS, sudah berniat mau cari-cari uang haram begituan. Justru pilihan bekerja untuk jadi PNS semata-mata karena adanya lahan-lahan basah yang haram itu. Jadi bagi saya, niat dan tekat itu harus dihargai terlebih dahulu. Semoga PNS yang lain mendapatkan hidayah yang sama seperti yang antum dapatkan dari Allah SWT. Selanjutnya, baru kita bicara tentang bagaimana cara menghindarinya uang haram itu. Kalau bicara yang paling ideal, tentu saja penolakan secara terbuka. Prinsip sampaikan kebenaran walaupun pahit, tentu menjadi sebuah pilihan yang utama. Terus terang saya agak jarang menemukan PNS yang bisa sampai ke derajat yang satu ini. Walaupun bukan tidak ada sama sekali. Almarhum Ayahanda saya dulunya seorang PNS. Beliau memang dikelilingi oleh PNS yang buruk mentalnya. Tetapi beliau punya atasan yang baik dan mendukung. Maka secara terang-terangan beliau memerangi berbagai perilaku tidak terpuji itu. Departemen Luar Negeri (DEPLU) beliau bekerja di bagian keuangan atau bagian gaji. Maka dengan tegas dan terang-terangan beliau menyatakan perang terbuka kepada semua PNS yang berniat tidak terpuji. Dan karena sikap tegas itu keluar dari lubuk hati terdalam, dan beliau sendiri memang bersih, justru semua orang malah menghargai. Apalagi beliau juga jadi pimpinan kegiatan kerohanian Islam. Maka dalam setiap khutbah Jumat atau pengajian, materi yang beliau sampaikan tidak jauh-jauh dari haramnya menilep uang rakyat. Maka di waktu itu, setiap kelebihan uang perjalanan dinas, atau uang-uang apapun, harus dikembalikan lagi ke tempatnya semula. Unik memang, bahkan nyaris mustahil kalau hal itu diterapkan di masa sekarang. Tetapi kejadian itu nyata. Kalau di masa sekarang, rasanya memang agak jarang kita menemukan sosok yang demikian. Walau pun kita masih bisa menemukan sosok PNS jujur dan bersih, tetapi umumnya 'tidak berdaya' berada di tengah kepungan kebatilan yang sudah jadi mafia dengan jaringan yang amat kuat. Maka dalam ketidak-berdayaan itu, ide seperti yang antum sampaikan itu saya bilang : boleh juga. Dengan catatan, cara itu sifatnya cuma sementara, bukan solusi yang sesungguhnya. Dan karena saya bukan PNS, maka saya tidak bisa bicara banyak tentang upaya yang lebih tepat dalam mengembalikan uang negara. Wallau a'lam bishshawab, Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc., MA |
1. Aqidah |
2. Al-Quran |
3. Hadits |
4. Ushul Fiqih |
5. Thaharah |
6. Shalat |
7. Zakat |
8. Puasa |
9. Haji |
10. Muamalat |
11. Pernikahan |
12. Mawaris |
13. Kuliner |
14. Qurban Aqiqah |
15. Negara |
16. Kontemporer |
17. Wanita |
18. Dakwah |
19. Jinayat |
20. Umum |