USTADZ MENJAWAB

1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | Cari

Ringkas | Rinci
Meninggalkan Shalat Karena Melahirkan, Apa Harus Diganti?

Meninggalkan Shalat Karena Melahirkan, Apa Harus Diganti?

PERTANYAAN
Assalaamu'alaykum warahmatullah wabarakaatuh

Ustadz, saya membaca salah satu pertanyaan di web ini tentang keluarnya darah sebelum melahirkan yang ternyata termasuk darah istihadhah. Nah, saat dulu saya melahirkan, sebetulnya dokter menyuruh saya tetap sholat (tetapi tidak menjelaskan banyak tentang itu).

Namun karena benar-benar tidak kuat dan sebelumnya membaca pendapat bahwa darah tersebut termasuk darah nifas, saat itu saya meninggalkan 4 sholat. Setelah membaca keterangan ustadz bahwa darah tersebut merupakan darah istihadhah, saya berniat mengqadha sholat saya.

Pertanyaan saya, apakah benar shalat yang saya tinggalkan tersebut bisa saya qadha? Dan bagaimana caranya?

Terima kasih ustadz..
JAWABAN
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Inti jawabanya adalah bahwa darah yang keluar sebelum melahirkan bukan termasuk nifas, oleh karena itu tetap diwajibkan untuk mengerjakan shalat. Bila ternyata shalat tidak dikerjakan, maka wajib hukumnya untuk diganti.

A. Hukum Darah Sebelum Melahirkan : Bukan Nifas Tetapi Istihadhah

Yang dimaksud dengan darah nifas adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita pada saat melahirkan dan sesudahnya, hingga 40 sampai 60 hari kemudian.

Bila darah itu keluar sebelum melahirkan, para ulama tidak memasukkannya sebagai nifas, melainkan darah istihadhah. Demikian pula bila setelah lewat 60 hari kemudian, ternyata masih saja ada darah yang keluar, juga dimasukkan ke dalam darah istihadhah.

B. Wajib Shalat

Dan para ulama telah bersepakat bahwa bila seorang wanita mendapat darah istihadhah, kewajiban shalatnya tidak gugur. Yang menggugurkan kewajiban shalat hanya darah haidh dan nifas saja.

Oleh karena itu, maka seorang wanita tetap diwajibkan shalat ketika mendapati dirnyai mengeluarkan darah sebelum melahirkan.

Tentu saja sebelum shalat dia harus bersihkan dulu darah itu, sebab syarat sah shalat itu harus suci dari najis. Padahal darah itu termasuk benda najis, meski keluar dari tubuh sendiri.

Apalagi bisa saja darah itu membasahi pakaian dalam. Maka dalam hal ini, setelah pakaian dalam yang terkena darah diganti dengan yang bersih, tetap gunakan pembalut agar kalau darah tetap keluar, tidak akan mengotori pakaian.

Keluarnya darah Istihadah tidak mewajibkan mandi janabah, hanya mewajibkan wudhu saja. Oleh karena itu bila pakaian dan badan telah suci dari najis, segera lakukan wudhu' untuk memulai shalat.

C. Mengganti Shalat dan Tata Caranya

Mengganti shalat fardhu yang ditinggalkan sama saja dengan melakukan shalat itu sesuai aslinya 100%. Tidak ada bedanya sama sekali.  Hanya yang penting untuk dicatat dalam pelaksanaannya, qadha' shalat ini mempunyai beberapa ketentuan dan aturan, antara lain :

1. Sirr dan Jahr

Shalat lima waktu yang dikerjakan pada waktunya disunnahkan untuk dikeraskan (jahr) bacaannya pada waktu shalat Maghrib, Isya' dan Shubuh. Sedangkan bacaan pada shalat Dhuhur dan Ashar disunnah untuk dibaca secara lirih (sirr).

Lalu bagimana dengan shalat yang terlewat dan diqadha', apakah jahr dan sir mengikuti asal shalatnya ataukah mengikuti waktu dilaksanakan qadha'? Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat.

a. Jumhur : Ikut Waktu Asal

Jumhur ulama di antaranya Mazhab Al-Hanafiyah, All-Malikiyah dan Al-Hanabilah sepakat bahwa jahr dan sirr dalam urusan shalat qadha mengikuti waktu asalnya.

Jadi disunnahkan melirihkan bacaan pada qadha' shalat Dzhuhur dan Ashar, meski keduanya diqadha' pada malam hari. Dan begitu juga sebaliknya, disunnahkan mengeraskan bacaan pada qadha shalat Maghrib, Isya' dan Shubuh, meski pun ketiganya dilakukan pada siang hari.

b. Asy-Syafi'iyah : Ikut Waktu Qadha'

Sedangkan mazhab Asy-syafi'iyah justru berpendapat sebaliknya dalam urusan jahr dan sirr. Prinsipnya, bacaan qadha' shalat dikeraskan apabila dikerjakan pada malam hari, dan dilirihkan bila dilakukan pada siang hari.

Jadi disunnahkan mengeraskan bacaan pada qadha' shalat Dzhuhur dan Ashar, apabila keduanya diqadha' pada malam hari. Dan begitu juga sebaliknya, disunnahkan melirihkan bacaan pada qadha shalat Maghrib, Isya' dan Shubuh, bila ketiganya dilakukan pada siang hari.

2. Tertib

Para ulama sepakat bahwa prinsipnya shalat yang terlewat karena terlupa wajib dikerjakan begitu ingat, dan tidak boleh ditunda atau diselingi terlebih dahulu dengan melakukan shalat yang lain.

Dan para ulama juga sepakat bahwa bila seseorang terlewat dari beberapa waktu shalat dalam satu hari yang sama, maka cara menggantinya adalah dengan mengurutkan shalat-shalat itu berdasarkan waktu. Mana yang waktunya lebih awal maka diqadha' terlebih dahulu, dan mana yang waktunya belakang, diqadha' belakangan.

Dasarnya adalah praktek yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika terlewat empat waktu shalat dalam satu hari yang sama, beliau SAW mengqadha'nya sesuai urutannya, mulai dari qadha' shalat Dzhuhur, Ashar, Maghrib dan terakhir Isya'.

إِنَّ الْمُشْرِكِينَ شَغَلُوا رَسُولَ اللَّهِ  عَنْ أَرْبَعِ صَلَوَاتٍ يَوْمَ الْخَنْدَقِ حَتَّى ذَهَبَ مِنَ اللَّيْلِ مَا شَاءَ اللَّهُ فَأَمَرَ بِلاَلاً فَأَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعِشَاءَ

Dari Nafi’ dari Abi Ubaidah bin Abdillah, telah berkata Abdullah,”Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Rasulullah SAW sehingga tidak bisa mengerjakan empat shalat ketika perang Khandaq hingga malam hari telah sangat gelap. Kemudian beliau SAW memerintahkan Bilal untuk melantunkan adzan diteruskan iqamah. Maka Rasulullah SAW mengerjakan shalat Dzuhur. Kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Ashar. Kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Maghrib. Dan kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Isya.” (HR. At-Tirmizy dan An-Nasa’i)

Namun para ulama umumnya tidak lagi mengharuskan qadha' shalat dilakukan dengan tertib sesuai urutannya manakala jumlah shalat yang diqadha sangat banyak. Sehingga yang mana saja yang dikerjakan terlebih dahulu, tidak menjadi masalah.

Maka dalam hal ini ada ulama yang memperbolehkan shalat-shalat yang sama dikerjakan beberapa kali, berdasarkan waktunya. Misalnya, setiap selesai melakukan shalat Dzhuhur, maka seseorang boleh mengqadha beberapa shalat Dhuhur sesuai dengan jumlah yang diinginkannya, hingga sampai lunas semua hutang-hutangnya.

Nanti ketika selesai menunaikan shalat Ashar, boleh diqadha' beberapa shalat Ashar yang dahulu pernah terlewat. Dan demikian juga dengan waktu yang lain, yaitu Maghrib, Isya' dan Shubuh.

3. Adzan dan Iqamah

Jumhur ulama sepakat bahwa qadha shalat lima waktu tetap disunnahkan untuk didahului dengan adzan dan iqamah. Namun bila shalat yang dikerjakan terdiri dari beberapa shalat sekaligus, cukup dengan satu kali adzan namun masing-masing shalat dipisahkan dengan iqamah yang berbeda.

Namun bila masing-masing shalat qadha' itu dikerjakan dalam waktu yang terpisah, maka masing-masing disunnahkan untuk diawali dengan adzan dan iqamah.

4. Waktu Pelaksanaan Qadha'

Para ulama sepakat bahwa shalat yang terlewat wajib untuk diqadha', namun mereka berbeda pendapat apakah qadha' shalat itu harus dilaksanakan dengan sesegera mungkin, ataukah boleh ditunda. Sebagian ulama mengatakan qadha' shalat wajib dikerjakan sesegera mungkin, namun sebagian mengatakan boleh ditunda.

a. Wajib Segera

Mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah menegaskan bahwa qadha' shalat yang terlewat wajib untuk segera ditunaikan. Keduanya berpendapat kewajiban shalat qadha' bersifat segera atau fauriy (فوري).

Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang memerintahkan untuk segera melakukan shalat begitu ingat tanpa menunda-nundanya.

مَنْ نَسِيَ صَلاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا

Dari Anas bin Malik dari Nabi SAW bersabda,”Siapa yang terlupa shalat, maka lakukan shalat ketika ia ingat (HR. Bukhari)

b. Tidak Wajib Segera

Sedangkan mazhab Asy-Syafi'iyah menyebutkan bahwa seseorang yang tertinggal dari mengerjakan shalat, wajib atasnya untuk mengganti shalatnya. Namun tidak diharuskan untuk dikerjakan sesegera mungkin, apabila udzur dari terlewatnya shalat itu diterima secara syar'i. Dalam hal ini kewajiban qadha' shalat itu bersifat tarakhi (تراخي).

Tetapi bila sebab terlewatnya tidak diterima secara syar'i, seperti karena lalai, malas, dan menunda-nunda waktu, maka diutamakan shalat qadha' untuk segera dilaksanakan secepatnya.

Bolehnya menunda shalat qadha' yang terlewat dalam mazhab ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari berikut ini :

لاَ ضَيْرَ - أَوْ لاَ يَضِيرُ - ارْتَحِلُوا فَارْتَحَل فَسَارَ غَيْرَ بَعِيدٍ ثُمَّ نَزَل فَدَعَا بِالْوَضُوءِ فَتَوَضَّأَ وَنُودِيَ بِالصَّلاَةِ فَصَلَّى بِالنَّاسِ

Rasulullah beliau menjawab,"Tidak mengapa", atau " tidak menjadi soal". "Lanjutkan perjalanan kalian". Maka beliau SAW pun berjalan hingga tidak terlalu jauh, beliau turun dan meminta wadah air dan berwudhu. Kemudian diserukan (adzan) untuk shalat dan beliau SAW mengimami orang-orang. (HR. Bukhari).

 

5. Tidak Harus Sesuai Waktunya

Maksudnya bahwa shalat qadha' itu boleh dilakukan kapan saja, tidak harus sesuai waktunya dengan waktu shalat asalnya.

Jadi untuk mengqadha' shalat Dzhuhur tidak harus dilakukan di waktu Dzhuhur. Demikian juga mengqadha' shalat Ashar tidak harus dilakukan di waktu Ashar. Boleh saja shalat Dzhuhur dan Ashar diqadha' di malam hari, dan shalat Maghrib dan Isya diqadha' pada siang hari.

Dasarnya adalah hadits di atas, bahwa Rasulullah SAW mengqadha' empat waktu shalat di satu waktu yang sama.

Demikian sekelumit kecil tentang ketentuan qadha' shalat. Semoga Allah SWT melindungi kita selamanya, Amin.

Wallahu a'lam bishshawab wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, LC., M.A.