![]() |
USTADZ MENJAWAB1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | CariRingkas | Rinci |
Hubungan Antara Seorang Makmum Dengan Imamnya |
PERTANYAAN Assalaamualaikum warahmatullah wabarakaatuh Saya punya beberapa pertanyaan yang mengganjal di hati saya selama ini terkait dengan imam dan makmumnya dalam sebuah shalat jamaah. Pertanyaan saya sebagai berikut : 1. Apa syarat untuk menjadi makmum, apakah harus berniat secara khusus untuk menjadi makmum? 2. Apakah judul shalat makmum harus sama dengan judul shalat imam? 3. Batasan apa yang dikatakan bahwa makmum itu melewati imam dalam posisi shalat? 4. Bolehkah makmum dan imam shalat secara terpisah atau ada jarak tertentu, Dan bagaimana dengan makmum yang shalat terpisah di luar masjid? 5. Dan apakah antara makmum dan iman harus selalu sama gerakan dan bacaanya agar sah? Demikian beberapa pertanyaan saya, semoga ditanggapi ustadz. Sebelumnya saya ucapkan jazakallah ahsanal-jaza'. Wassalam |
JAWABAN Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Untuk sah menjadi makmum, ada banyak syarat yang diajukan oleh para ulama dan disepakati. Diantara syarat itu adalah niat jadi makmum, adanya kesatuan shalat makmum dengan imam, makmum tidak boleh melewati posisi imam, makmum harus berada pada tempat yang sama dengan imam, dan makmum harus mengikuti gerakan imam. 1. Berniat Menjadi Makmum Para ulama berbeda pendapat apakah imam shalat harus berniat sebagai imam sejak awal shalatnya. Sebagian mensyaratkan sebagaimana mazhab Al-Hanabilah, dan yang lainnnya yaitu mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah tidak mensyaratkan niat bagi imam. Namun kalau buat makmum, jumhur ulama seluruhnya sepakat bahwa shalat seorang makmum tidak sah apabila tidak berniat untuk menjadi makmum. Artinya, mau tidak mau semua makmum harus pasang niat sejak awal, kalau mau shalatnya sebagai makmum dinilai sah. a. Lafadz Niat Jumhur ulama sepakat bahwa niat itu tempatnya di hati dan bukan di lisan. Artinya, bila seseorang tidak melafadzkan niat, namun telah berniat di dalam hati, niat itu sudah tercapai. Namun mereka berbeda pendapat tentang melafadzkan niat. Mazhab Al-Hanafiyah, Asy-Syafi'iyah dan sebagain pendapat di kalangan Al-Hanabilah sepakat mengatakan bahwa melafadzkan niat itu hukumnya mustahab. Sedangkan sebagian ulama ada yang membid'ahkannya. b. Waktu Niat Jumhur ulama mensyaratkan niat menjadi makmum ini minimal harus bersamaan dengan takbiratul-ihram, atau boleh juga lebih dahulu dari takbiratul-ihram asalkan tidak terlalu jauh atau tidak dipisah dengan pekerjaan lain. Dan mereka sepakat bahwa niat untuk menjadi makmum tidak boleh dilakukan bila shalat sudah dimulai dan sudah berjalan. Sehingga dalam pandangan mereka, orang yang memulai shalat dengan niat shalat sendirian, tidak boleh atau tidak sah bila tiba-tiba di tengah shalat bermakmum pada orang lain. 2. Kesatuan Shalat Makmum Dengan Shalat Imam Syarat kedua adalah kesatuan atau kesamaan antara shalat makmum dengan shalat imam. Namun para ulama terpecah menjadi dua pendapat ketika membicarakan kesamaan di bidang apa. Sebagian mengatakan bahwa kesamaan shalat itu harus pada semua sisinya, sebagian lain hanya pada kerangka dasarnya saja. a. Harus Sama Pada Sebab, Gerakan dan Sifat Jumhur ulama diantaranya mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah berpendapat bahwa shalat makmum harus sama dan satu kesatuan dengan shalat imam. Yang harus sama setidaknya pada sebab, gerakan dan sifatnya.
Dalil yang mereka kemukakan adalah dalil yang bersifat umum, diantaranya sabda Rasulullah SAW : إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا صَلَّى قَاعِدًا فَصَلُّوا قُعُودًا أَجْمَعُونَ – رواه مسلم Sesungguhnya seseorang dijadikan imam untuk diikuti. Bila imam bertakbir, maka bertakbirlah kalian. Bila imam sujud maka sujudlah kalian. Bila imam bangun dari sujud maka kalian bangunlah dari sujud. Bila imam mengucap sami'allahuliman hamidah, maka ucapkanlah rabbana wa lakal hamdu. Bila imam shalat sambil duduk, maka shalatlah kalian semua sambil duduk. (HR. Muslim) b. Hanya Pada Kerangka Besar Saja Namun mazhab Asy-Syafi'iyah memahami hadits di atas bukan seperti apa yang dipahami jumhur ulama. Sehingga dalam pandangan mazhab ini, syarat kesamaan shalat imam dan makmum itu tidak pada keseluruhan sisi shalat, namun hanya pada sisi kerangka dan bentuknya secara umum. Madzhab Asy-Syaf'iyah tidak mengharuskan kesamaan pada sebab, gerakan dan sifat shalat, cukup hanya kesamaan dalam bentuk dasar dan posisi utama. Maka dalam mazhab ini hal-hal berikut ini dibenarkan dan dianggap sah :
Namun mazhab Asy-Syafi'yah melarang orang yang shalat Dzhuhur bermakmum kepada orang yang mengerjakan shalat jenazah atau sebaliknya,begitu juga dengan orang yang melakukan shalat Khusuf dan Kusuf. Alasannya, karena bentuk shalat jenazah sangat berbeda dengan shalat Dzhuhur, karena tidak ada ruku', sujud, dan gerakan lainnya. Demikian juga shalat Khusuf dan Kusuf, gerakannya jauh berbeda dengan shalat biasa. 3. Makmum Tidak Melewati Posisi Imam a. Pendapat Jumhur VS Al-Malikiyah Hampir seluruh ulama mensyaratkan posisi makmum tidak boleh melebihi posisi imam, kecuali mazhab Al-Malikiyah. Jumhur UlamaJumhur ulama di antaranya ulama dari mazhab Al-Hanafiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah sepakat bahwa posisi makmum tidak boleh melewati posisi imam. Paling tidak, minimal posisi makmum sejajar saja dengan degan imam. Dan kalau sampai melewati batas posisi imam, otomatis batal jadi makmum. Dasar dari ketentuan ini adalah hadits Rasulullah SAW di atas, yaitu tentang fungsi imam yang harus diikuti إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ رواه مسلم Sesungguhnya seseorang dijadikan imam untuk diikuti. (HR. Muslim) Dan tidak mungkin makmum bisa mengikuti imam kalau posisinya lebih di depan. Karena yang namanya mengikuti gerakan imam itu tidak mungkin berada di depannya, harus ada di belakangnya. Mazhab Al-Malikiyah Namun mazhab Al-Malikiyah tidak mensyaratkan masalah ini. Artinya boleh saja posisi makmum sedikit melewati imam, asalkan dipastikan makmum masih bisa mengikutinya. Mazhab ini berpendapat bahwa makmum sedikit lebih ke belakang dar imam hukumnya mandub. b. Ukuran Saat Berdiri, Duduk dan Berbaring Posisi shalat itu kadang berdiri, kadang duduk dan kadang berbaring. Menurut jumhur ulama, yang dijadikan ukuran posisi makmum pada saat shalat berdiri adalah tumit atau belakang telapak kaki. Dalam bahasa Arab disebut dengan a'qib (عقب). Dan harus dibedakan dengan mata kaki yang dalam bahasa Arabnya disebut ka'b (كعب). Mata kaki adalah tulang yg menonjol kiri kanan pd kaki bagian bawah (pergelangan kaki). Sehingga apabila seorang tumit seorang makmum tidak melewati tumit imam, namun karena tapak kakinya panjang sehingga jari-jarinya melebihi jari-jari imam, tidak jadi masalah. Karena yang dihitung bukan ujung jar-jari kaki, melainkan tumit atau bagian belakang telapak kaki. Sedangkan pada posisi duduk, yang dijadikan ukuran adalah pantat (الألية). Dan pada posisi berbaring, ukurannya adalah perut atau lambung (الجنب). 4. Makmum dan Imam Berada Pada Tempat Yang Sama Para ulama sepakat bahwa shalat berjamaah itu tidak sah kalau dilakukan pada dua tempat yang berbeda, dimana imam berada di suatu tempat, dan makmumnya berada di tempat yang lain. Maka menjadi makmum shalat lewat televisi hukumnya tidak sah. Karena imam dan makmum berada pada dua tempat yang berbeda. a. Dalam Satu Masjid Tapi Terpisah Para ulama umumnya sepakat membolehkan shalat makmum yang terpisah jarak tertentu dengan imamnya. Ada dua syarat dalam hal ini. Pertama, makmum dan imam sama-sama berada dalam satu gedung masjid, tidak terpisah pada dua gedung masjid yang berbeda. Kedua, bahwa makmum masih melihat atau mendengar suara imam, atau makum lain yang dibelakang imam. Sedangkan bila di dalam gedung masjid ada dinding atau tembok yang menghalangi pandangan makmum kepada imam atau makmum lainnya yang di belakang imam, atau menghalangi sampainya suara imam dan makmum yang lain, umumnya para ulama mengatakan bahwa hukumnya tidak sah. b. Imam Dalam Masjid Makmum Di Luar Masjid Umumnya para ulama membolehkan shalat makmum yang posisinya di luar gedung masjid, asalkan masih tersambung shafnya hingga ke dalam masjid. Maka shalat di pelataran masjid bermakmum kepada imam yang posisinya di dalam masjid itu sah, apabila jumlah jamaahnya membeludak hingga memenuhi halaman masjid. Namun yang menjadi masalah adalah apakah sah shalat seorang makmum di luar masjid, sementara imam di dalam masjid, dan tidak ada sambungan sah, sehingga makmum benar-benar dipisahkan oleh halaman atau lapangan? Dalam hal ini para ulama mazhab berbeda pendapat tentang jarak yang dibolehkan : Al-Hanafiyah : maksimal berjarak dua shaf, kalau lebih dari jarak itu, maka shalat makmum di luar masjid yang dipisahkan dengan ruang kosong itu menjadi tidak sah. Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah: kedua mazhab ini memandang minimal makmum yang shalat di luar masjid masjid masih bisa melihat atau mendengar suara imam atau makmum yang di dalam masjid. Asy-Syafi'iyah : maksimal jarak makmum 300 dzira' (+ 100 meter) dari masjid. Bila melebihi jarak tersebut, hukumnya tidak sah. Pengeras Suara Dan Monitor Di masa lalu ketika para ulama berijtihad, belum ditemukan pengeras suara dan juga TV/LCD monitor. Yang menjadi titik perbedaan di masa sekarang ini adalah apakah pengeras suara dan TV/LCD monitor itu bisa memenuhi syarat-syarat di atas yang diajukan oleh para ulama? Dengan pengeras suara dan TV/LCD monitor, semua makmum yang berada di luar masjid masih bisa mendengar suara imam, bahkan masih bisa melihat gerak-gerik imam. Kalau pakai teknologi ini, malah jaraknya bisa jauh sekali, sampai ke jalanan dan sampai ke seantero kampung. Bahkan malah jaraknya menjadi nisbi alias tidak ada batas jarak maksimal, suara dan gambar imam bisa broadcast ke seluruh dunia lewat video/audio live streaming. Oleh karena itu ada sebagian kalangan ulama di masa kini yang tetap tidak mengakui pengeras suara atau TV/LCD monitor untuk membolehkan orang yang shalat snedirian di luar masjid untuk menjadi makmum kepada jamaah di dalam masjid. Demikian juga mereka tidak membolehkan makmum yang berada di dalam masjid namun dipisahkan dengan tembok yang tertutup rapat, sehingga tidak terdengar suara imam atau makmum di belakangnya, dan juga tidak terlihat gerak-geriknya. 5. Mengikuti Gerakan Dasar Imam Di dalam sambungan hadits tentang wajibnya makmum mengikuti semua gerakan imam. إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذاَ صَلىَّ قاَئِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا فَإِذَا َركَعَ فَاْركَعُوا وَإِذَا رَفَعَ فاَرْفَعُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا وَلَكَ الَحمْدُ وَإِذَا صَلىَّ قاَئِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا وَإِذَا صَلىَّ جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ
Sesungguhnya seseorang dijadikan imam untuk diikuti. Bila imam berdiri, maka berdirilah. Bila imam shalat ruku' maka ruku'lah. Bila imam bangun dari ruku' maka bangunlah. Bila imam mengucapkan sami'allahu liman hamidah, maka ucapkan rabbana walakal hamdu. Bila imam shalat sambil berdiri, maka shalatlah sambil berdiri. Dan bila imam shalat sambil duduk, maka shalatlah sambil duduk. (HR. Muslim) a. Gerakan Dasar Yang dimaksud dengan gerakan dasar maksudnya adalah posisi utama dalam shalat, seperti berdiri, ruku', i'tidal, sujud, duduk di antara dua sujud, duduk tahiyat dan seterusnya. Namun pada tiap-tiap posisi itu memang ada beberapa variasi yang mungkin saja antara makmum dan imam tidak sama. Hal itu tidak termasuk yang wajib dijalankan, karena bukan termasuk posisi dasar, melainkan lebih merupakan khilafiyah yang bersifat furu'iyah. Sehingga bila antara imam dan makmum terdapat kelainan, tidak merusak shalat jamaah. Posisi Tangan Contohnya masalah posisi tangan pada saat berdiri. Ada orang yang meletakkan tangannya di atas dada, ada yang di antara dada dan perut, bahkan ada juga yang di atas hati, yaitu agak di bawah perut di bagian kanan. Perbedaan itu masyru' dan tidak terkait dengan urusan benar atau salah, karena masing-masing pendapat itu punya dasar yang sama-sama kuat. Jadi bila posisi tangan imam berbeda dengan posisi tangan makmum, tidak ada ulama yang menolaknya dan tidak ada yang mengharuskan adanya kesamaan posisi tangan imam dan makmum. Doa Qunut Dalam urusan doa qunut yang hukumnya khilafiyah di antara mazhab ulama, tidak mengapa seandainya imam melakukan qunut, sedangkan makmumnya tidak mengerjakannya. Yang penting, ketika imam sedang berdiri untuk mengerjakan qunut, makmum harus ikut berdiri walaupun tidak mengamini dan juga tidak mengangkat kedua tangannya. Hal yang sebaliknya juga boleh saja terjadi, dimana makmum melakukan doa qunut sedangkan imam tidak melakukannya. Maka dibolehkan bagi imam memperlama posisi i'tidalnya untuk memberi kesempatan kepada makmum mengerjakan doa qunut. Bagi makmum, semua gerakan dan posisi di atas wajib diikuti, walau pun sebab-sebabnya tidak secara langsung tidak terkait makmum. Sujud Sahwi dan Tilawah Dalam hal dimana imam disyariatkan untuk melakukan sujud sahwi atau sujud tilawah, lalu imam melakukannya, maka makmum pun harus ikut melakukannya juga. Makmum tidak boleh menolak untuk melakukan sujud sahwi, hanya karena berasalan bahwa yang lupa sehingga disyariatkan melakukan sujud sahwi itu imam dan bukan dirinya. Dalam hal ini, meski imam yang menyebabkan 'kesalahan', namun ketika sujud sahwi, semua makmum harus ikut sujud sahwi juga. Kalau sampai makmum tidak ikut sujud sahwi, maka makmum itu batal shalatnya. Demikian juga bila pada ayat tertentu imam membaca ayat-ayat sajdah, disunnahkan atasnya untuk melakukan sujud tilawah. Maka apabila imam di tengah bacaan ayat Al-Quran tiba-tiba melakukan sujud sahwi, mau tidak mau para makmum yang shalat di belakangnya juga harus ikut melakukannya juga. Kalau tidak ikut, maka batallah shalat para makmum itu. b. Bukan Pada Bacaan Kewajiban makmum untuk ikut imam sebagaimana hadits di atas hanya sebatas pada gerakan. Sedangkan pada bacaan shalat, tidak ada ketentuan harus sama. Sebab tidak semua bacaan shalat itu dibaca dengan keras, sehingga sangat boleh jadi makmum tidak tahu apa yang dibaca imam. Kalau bacaan makmum harus sama persis dengan bacaan imam, maka kita pasti akan kesulitan. Lagi pula, kalau demikian maka imam harus mengeraskan semua bacaan shalatnya, termasuk bacaan ketika ruku', i'tidal, sujud, duduk di antara dua sujud dan seterusnya. Bahkan pada waktu shalat yang tidak disunnahkan untuk dikeraskan bacaanya, seperti shalat Dzhuhur dan Ashar, mau tidak mau harus dikeraskan. Maka oleh karena itu, para ulama umumnya sepakat bahwa bacaan makmum tidak harus sama dengan bacaan imam. Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc., MA
|
1. Aqidah |
2. Al-Quran |
3. Hadits |
4. Ushul Fiqih |
5. Thaharah |
6. Shalat |
7. Zakat |
8. Puasa |
9. Haji |
10. Muamalat |
11. Pernikahan |
12. Mawaris |
13. Kuliner |
14. Qurban Aqiqah |
15. Negara |
16. Kontemporer |
17. Wanita |
18. Dakwah |
19. Jinayat |
20. Umum |