![]() |
USTADZ MENJAWAB1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | CariRingkas | Rinci |
Cara Menghitung Hari Ketujuh Untuk Menyembelih Aqiqah | |||||||||||||||||||||||||||
PERTANYAAN Assalamu 'alaikum wr wb. Ustadz yang dirahmati Allah. Ada beberapa pertanyaan terkait aqiqah : 1. Adakah perintah khusus untuk menyembelih aqiqah pada hari ketujuh? 2. Bolehkah dilakukan sebelum hari ketujuh atau sesudah hari ketujuh? 3. Pada jam berapa yang paling afdhal untuk menyembelih? Pagi, siang, sore atau malam hari? 4. Kapankah jatuhnya hari ketujuh itu? Di tengah keluarga mertua kami sedang terjadi perdebatan seru. Topiknya kapan jatuhnya hari ketujuh dari kelahiran bayi. Pada hari Selasa lalu, anak kami lahir dengan selamat dan rencananya mau kami sembelihkan hewan aqiqah. Tetapi muncul perbedaan, hari ketujuh itu hari apa? Mertua laki-laki dan pendukungnya bilang bahwa hari kelahiran bayi yaitu hari Selasa sudah dihitung sebagai hari pertama, sehingga hari ketujuh jatuh hari Senin. Itulah yang diajarkan ustdz di masjid kami, kata mereka. Tetapi mertua perempuan kami beda pandangan. Menurut beliau bahwa hari pertama itu sehari setelah kelahiran, jadi hari ketujuhnya adalah hari Selasa. Itulah yang diajarkan oleh ustadzah yang mengajar di majelis taklim kaum ibu. Nah ini jadi 'perang' antara jamaah bapak-bapak dan ibu-ibu. Saya sendiri tidak masalah, apakah hewan itu mau disembelih hari Senin atau hari Selasa. Yang penting kan menyembelihnya. Toh yang ribut-ribut itu juga tidak keluar uang. Yang keluar uang untuk membeli kambing tetap saja juga. Tetapi bagaimana pandangan ustadz dalam masalah hitungan hari ketujuh ini? Masak sih harus berbeda macam mulai puasa Ramadha kemarin? Terima kasih sebelumnya, ustadz. Wassalam | |||||||||||||||||||||||||||
JAWABAN Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, A. Dalil Hari KetujuhPara ulama sepakat bahwa yang disunnahkan dalam menyembelih hewan aqiqah adalah para hari ketujuh, yaitu ketika seorang bayi telah berusia tujuh hari, terhitung sejak dia lahir pertama kali di dunia ini. Dasarnya adalah beberapa hadits berikut ini : كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُسَمَّى فِيْهِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ Dari Samurah bin Jundub radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Anak laki-laki tergadaikan dengan hewan aqiqahnya, maka disembelihkan untuknya pada hari ke tujuh, diberi nama lalu digunduli dan (HR. Abu Daud)عَقَّ رَسُولُ اللهِ عَنِ الحَسَنِ وَالحُسَيْنِ عَلَيْهِمَا السَّلاَمِ يَوْمَ السَّابِعِ وَسَمَّاهُمَا Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa Rasulullah SAW menyembelihkan hewan aqiqah untuk Hasan dan Husain alaihimassalam pada hari ketujuh dan memberi nama keduanya. (HR. Al-Baihaqi)B. Bolehkah Dilakukan Sebelum dan Sesudahnya?Namun para ulama berbeda pendapat tentang boleh atau tidak bolehnya menyembelih aqiqah bila waktunya bukan pada hari ketujuh. 1. Al-MalikiyahMazhab Al-Malikiyah menetapkan bahwa waktu untuk menyembelih hewan aqiqah hanya pada hari ketujuh saja. Di luar waktu itu, baik sebelumnya atau pun sesudahnya, menurut mazhab ini tidak lagi disyariatkan penyembelihan. Artinya hanya sah dilakukan pada hari ketujuh saja. [1] 2. Asy-Syafi’iyahPendapat mazhab Asy-Syafi’iyah lebih luas, karena mereka membolehkan aqiqah disembelih meski belum masuk hari ketujuh. Dan mereka pun membolehkan disembelihkan aqiqah meski waktunya sudah lewat dari hari ketujuh. Dalam pandangan mazhab ini, menyembelih hewan aqiqah pada hari ketujuh adalah waktu ikhtiyar. Maksudnya waktu yang sebaiknya dipilih. Namun seandainya tidak ada pilihan, maka boleh dilakukan kapan saja.[2] 3. Al-HanabilahMazhab Al-Hanabilah berpendapat bahwa bila seorang ayah tidak mampu menyembelih hewan aqiqah pada hari ketujuh dari kelahiran bayinya, maka dia masih dibolehkan untuk menyembelihnya pada hari keempat-belas. Dan bila pada hari keempat-belasnya juga tidak mampu melakukannya, maka boleh dikerjakan pada hari kedua-puluh satu. [3] Ibnu Hazm menyebutkan bahwa tidak disyariatkan bila menyembelih hewan aqiqah sebelum hari ketujuh, namun bila lewat dari hari ketujuh tanpa bisa menyembelihnya, menurutnya perintah dan kewajibannya tetap berlaku sampai kapan saja. Sekedar catatan, Ibnu Hazm termasuk kalangan yang mewajibkan penyembelihan hewan aqiqah. Sehingga karena dalam anggapannya wajib, maka bila tidak dikerjakan, wajib untuk diganti atau diqadha’. Dan qadha’ itu tetap berlaku sampai kapan pun. C. Jam PenyembelihanPara ulama berbeda pendapat tentang kapan yang utama dilakukan penyembelihan hewan aqiqah. Sebagian ada yang menqiyaskan dengan jam penyembelihan hewan udhiyah, yaitu pada waktu Dhuha. Sebagian lainnya ada yang mengatakan bahwa lebih utama dikerjakan pada saat matahari terbit. Dan sebagian yang lain tidak terlalu mempermasalahkan tentang jam penyembelihan. Dalam pandangan mereka, hewan aqiqah silahkan dibolehkan dilakukan pagi hari di waktu Dhuha, siang, sore bahkan malam hari sekali pun juga boleh. Pendapat yang terakhir ini barangkali yang lebih tepat, karena lebih meringankan, serta tidak dasarnya harus disamakan atau diqiyaskan dengan ketentuan yang berlaku pada penyembelihan hewan udhiyah. D. Bagaimana MenghitungnyaPara ulama sepakat bahwa waktu yang paling utama dan tidak ada perbedaan pendapat untuk menyembelih hewan aqiqah adalah hari ketujuh sejak kelahiran bayi. Namun mereka berbeda pendapat ketika menetapkan cara menghitungnya. Apakah hari kelahiran bayi ikut dihitung sebagai hari pertama, ataukah hitungan hari pertama jatuh pada hari berikutnya. 1. Cara Al-Malikiyah Al-Imam Malik menghitung hari pertama kelahiran bayi adalah keesokan harinya atau sehari setelah hari kelahiran. Misalnya, seorang bayi dilahirkan pada hari Selasa, maka hitungan hari pertama adalah Rabu, hari kedua Kamis, hari ketiga Jumat, hari keempat Sabtu, hari kelima Ahad, hari keenam Senin dan hari ketujuh adalah hari Selasa. Tetapi ada sedikit catatan, yaitu bila bayi lahir lewat tengah malam sebelum terbit fajar, maka hari kelahirannya itu sudah mulai dihitung sebagai hari pertama. Misalnya bayi lahir hari Selasa dini hari jam 02.00. Maka hari Selasa itu sudah dianggap hari pertama, sehingga hitungan hari ketujuh akan jatuh di hari Senin dan bukan hari Selasa. Pendapat Al-Imam Malik ini sejalan dengan pandanga para ulama lain seperti Al-Imam An-Nawawi dan Al-Buwaithi dari mazhab Asy-Syafi’iyah. 2. Cara Ibnu Hazm Sedangkan Ibnu Hazm berpendapat bahwa cara menghitungnya adalah dengan menjadikan hari kelahiran sebagai hari pertama. Sehingga bila ada bayi lahir di hari Selasa, maka hari pertama adalah Selasa, hari kedua Rabu, hari ketiga Kamis, hari keempat Jumat, hari kelima Sabtu, hari keenam Ahad, dan hari ketujuh adalah Senin. Yang sejalan dengan pendapat Ibnu Hazm ini antara lain Ar-Rafi’i dari mazhab Asy-Syafi’iyah. Tabel Untuk memudahkan kita memahami perbedaan cara perhitungan dari keduanya, silahkan lihat tabel di bawah ini :
Kedua pendapat itu muncul karena metode penghitungannya berbeda. Dan sayangnya tidak ada dalil yang qath'i dari Al-Quran dan As-Sunnah tentang contoh penghitungannya. Sehingga terjadi peluang perbedaan pendapat dalam cara penghitungannya. Satu lagi yang penting dicatat bahwa inti ritual aqiqah bukan pada resepsi acaranya, melainkan pada penyembelihannya. Resepsi dan pesta terserah mau dilakukan kapan saja, yang penting penyembelihannya itu sendiri. Karena inti dari ritual aqiqah sebenarnya adalah menyembelih hewan dan bukan pesta. Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA [1] Hasyiyatu Al-Kharsyi, jilid 3 hal. 410 [2] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, jilid 9 hal. 489 [3] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 8 hal. 661
|
1. Aqidah |
2. Al-Quran |
3. Hadits |
4. Ushul Fiqih |
5. Thaharah |
6. Shalat |
7. Zakat |
8. Puasa |
9. Haji |
10. Muamalat |
11. Pernikahan |
12. Mawaris |
13. Kuliner |
14. Qurban Aqiqah |
15. Negara |
16. Kontemporer |
17. Wanita |
18. Dakwah |
19. Jinayat |
20. Umum |