![]() |
USTADZ MENJAWAB1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | CariRingkas | Rinci |
Benarkah Puasa Syawwal Belum Boleh Dikerjakan Sebelum Qadha Ramadhan? |
PERTANYAAN Assalamu 'alaikum wr. wb. Mohon izin bertanya ustadz terkait dengan puasa sunnah bulan Syawwal. Ketika kemarin saya mau melaksanakan puasa sunnah Syawal, ada teman kirim postingan yang isinya mengharamkan puasa Syawwal selama kita masih punya hutang puasa. Katanya kita berdosa dan puasa kita menjadi tidak sah. Apa benar hal itu, ustadz? Mohon penjelasannya dan terima kasih sebelumnya. Wassalam |
JAWABAN Assalamu 'alaikum wrahmatullahi wabarakatuh. Sebenarnya postingan itu tidak salah tetapi juga tidak benar. Tidak salah karena memang ada pendapat ulama yang mengharamkan, yaitu pendapat di kalangan mazhab Al-Hanabilah. Dan postingan itu tidak benar, karena larangan itu bukan satu-satunya kebenaran. Sebab di luar mazhab Al-Hanabilah, para ulama lain umumnya membolehkan puasa sunnah Syawwal meski masih punya hutang puasa Ramadhan. Kalau kita kumpulkan semua pendapat ulama itu, maka dalam hal ini kita menemukan tiga pendapat yang berbeda dari pendapat para ulama. Ada yang bilang boleh, ada yang bilang boleh kurang disukai dan ada juga yang bilang tidak boleh dan harus bayar hutang puasa Ramadhan terlebih dahulu. 1. Boleh Tanpa Karahah Pendapat ini didukung oleh mazhab Al-Hanafiyah. Mazhab ini mengatakan bahwa dibolehkan bagi orang yang punya hutang puasa Ramadhan untuk mengerjakan puasa sunnah, termasuk puasa enam hari di bulan Syawwal. Tidak harus dia bayarkan dulu hutang puasa Ramadhan yang ditinggalkan. Dan sifat dari kebolehan ini mutlak tanpa karahah, yaitu tanpa ada hal kurang disukai.
Dasar landasan pendapat ini bahwa kewajiban puasa qadha' bersifat tarakhi (تراخي). Maksudnya boleh ditunda atau diakhirkan, hingga sampai menjelang masuknya bulan Ramadhan tahun berikutnya. Kewajiban yang bersifat tarakhi ini membolehkan seseorang untuk menunda pengerjaannya. Contohnya kewajiban mengerjakan ibadah haji, dimana Rasulullah SAW dahulu menunda keberangkan ibadah haji hingga tahun kesepuluh hijriyah. Padahal perintah ibadah haji sudah turun sejak tahun keenam hijriyah. Dan penundaan ibadah haji selama masa empat tahun yang dilakukan oleh Rasulullah SAW itu bukan karena alasan tidak mampu, juga bukan karena faktor keamanan yang menghalangi. Sebab kenyataanya justru beliau SAW berkali-kali melakukan umrah ke Baitullah untuk mengerjakan umrah dan bukan haji. Selama masa empat tahun tidak berhaji, beliau SAW tercatat tiga kali mengunjungi Baitullah. Tahun keenam, ketujuh dan tahun kedelapan. Maka tidak mengapa seseorang menunda kewajiban ibadah yang wajib dan mendahulukan yang sunnah, apabila yang wajib itu bersifat tarakhi. 2. Boleh Dengan Karahah Pendapat kedua merupakan pendapat mazhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah. Mereka mengatakan bahwa tidak mengapa seseorang mendahulukan puasa sunnah enam hari di bulan Syawwal dan menunda qadha' puasa Ramadhan yang hukumnya wajib. Namun tindakan seperti ini dalam pandangan mereka diiringi dengan karahah, yaitu kurang disukai atau kurang afdhal. Dalam pandangan mereka yang utama adalah membayarkan dulu hutang puasa, karena yang utama adalah mendahulukan pekerjaan yang sifatnya wajib. Namun pada dasarnya mereka tidak melarang bila seseorang ingin mendahulukan puasa sunnah dan menunda puasa wajib. 3. Tidak Boleh Pendapat yang mengharamkan puasa sunnah sebelum membayar kewajiban qadha' puasa datang dari mazhab Al-Hanabilah. Mereka mendasarkan pendapatnya pada hadits nabi berikut ini : مَنْ صَامَ تَطَوُّعًا وَعَلَيْهِ مِنْ رَمَضَانَ شَيْءٌ لَمْ يَقْضِهِ فَإِنَّهُ لاَ يُتَقَبَّل مِنْهُ حَتَّى يَصُومَهُSiapa yang berpuasa sunnah padahal dia punya hutang qadha' puasa Ramadhan yang belum dikerjakan, maka puasa sunnahnya itu tidak sah sampai dia bayarkan dulu puasa qadha'nya. (HR. Ahmad) Sebagian ulama meragukan kekuatan hadits riwayat Imam Ahmad ini, karena dianggap ada idhthirab atau kegoncangan di dalamnya. [1] Ketika para mufti di Saudi Arabia berfatwa tentang haramnya puasa enam hari bulan Syawwal bagi mereka yang belum membayar hutang Ramadhan, maka pendapat mereka itu sangat dipengaruhi oleh latar belakang mazhab Al-Hanabilah yang banyak dianut oleh masyarakat di Saudi Arabia. Katakanlah misalnya fatwa yang dikeluarkan oleh Syeikh Ibnu Al-Utsaimin dalam kitab beliau, Fatawa Ramadhan. Beliau berpendapat bahwa puasa enam hari bulan Syawwal tidak dikerjakan, kecuali bila seseorang telah selesai berpuasa Ramadhan. Padahal orang yang berhutang puasa, berarti dia belum selesai dari puasa Ramadhan. Oleh karena itu dia harus selesaikan dulu puasa Ramadhannya dengan cara berpuasa qadha', baru boleh mengerjakan puasa sunnah enam hari bulan Syawwal. [2] Demikian jawaban ini semoga dapat dimaklumi dan bermanfaat untuk menambah wawasan keilmuan kita, dan dapat menambah tingkat kebijakan kita dalam bersikat untuk tidak mudah menyalakan pendapat yang sekiranya berbeda dengan pendapat kita. Dari tiga pendapat di atas, sebenarnya pendapat manapun yang kita pilih, hukumnya boleh-boleh saja dan tidak ada keharusan untuk bersikap merasa paling benar sendiri. Wallahu 'alam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh Ahmad Sarwat, Lc.,MA [1] Ibnu Abi Hatim Ar-Razi, 'Ilal Al-Hadits, jilid 1. hal. 259 [2] Ibnu Al-Utsaimin, Fatawa Ramadhan, hal. 438 |
1. Aqidah |
2. Al-Quran |
3. Hadits |
4. Ushul Fiqih |
5. Thaharah |
6. Shalat |
7. Zakat |
8. Puasa |
9. Haji |
10. Muamalat |
11. Pernikahan |
12. Mawaris |
13. Kuliner |
14. Qurban Aqiqah |
15. Negara |
16. Kontemporer |
17. Wanita |
18. Dakwah |
19. Jinayat |
20. Umum |