![]() |
USTADZ MENJAWAB1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | CariRingkas | Rinci |
Apakah Tiap Transaksi Penjualan Ada Zakatnya? |
PERTANYAAN Assalamu 'alaikum wr. wb. Saya masih agak rancu dengan zakat penjualan atau perdagangan. Mohon dijelaskan lebih rinci karena saya berprofesi sebagai pedagang. Kira-kira seperti apa aturan mainnya? Apakah dari tiap transaksi penjualan saya terkena zakat? Ataukah dari tiap keuntungan? Sebab belum tentu transaksi itu menguntungkan, malah terkadang saya rugi. Harga pembelian lebih tinggi dari harga penjualan. Masak terkena zakat? Namun saya pernah dengan bahwa zakat perdagangan itu bukan dilihat dari nilai transaksi atau keuntungan, tetapi dari nilai barang jualan yang kita stok. Apa benar yang saya dengar ini, ustadz? Mohon rincian penjelasan ketentuan zakat perdagangan, kalau berkenan. Wassalam |
JAWABAN Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Harus kita akui bahwa zakat perdagangan yang dikenal di tengah masyarakat dewasa ini terbagi menjadi dua macam. Keduanya memang punya kemiripan, setidaknya dari segi namanya. Namun kalau kita selami ternyata keduanya amat jauh berbeda. Pertama, adalah zakat perdagangan yang original, asli dan hakiki, yaitu yang dikenal dengan zakat 'urudhu at-tijarah. Zakat inilah yang selama 14 abad ini dikenal, dipahami dan digunakan di seluruh dunia Islam. Kedua, adalah zakat perdagangan di era modern hasil ijtihad tambahan orang-orang zaman sekarang yang tidak pernah ada sebelumnya. Zakat versi ini jauh berbeda secara prinsip, dasar masyruiyah, serta ketentuannya. Kita akan membahas kedua zakat ini secara adil dan proporsional, sesuai dengan apa yang kita temukan dalam literatur kitab zakat yang ada. A. Zakat Urudhu At-Tijarah 1. PengertianSecara bahasa, zakat ini bisa diterjemahkan menjadi zakat atas barang yang diperjual-belikan. Sedangkan secara istilah, zakat ini didefinisikan oleh para ulama menjadi : كُل مَا أُعِدَّ لِلتِّجَارَةِ كَائِنَةً مَا كَانَتْ سَوَاءٌ مِنْ جِنْسٍ تَجِبُ فِيهِ زَكَاةُ الْعَيْنِ كَالإِْبِل وَالْغَنَمِ وَالْبَقَرِ أَوْ لاَ كَالثِّيَابِ وَالْحَمِيرِ وَالْبِغَال Segala benda yang dijadikan objek jual-beli baik dari jenis yang wajib dizakati seperti unta, kambing dan sapi, atau pun bukan jenis barang yang wajib dizakati, seperti pakaian, himar dan bagal. Jadi zakat ini adalah zakat untuk barang-barang tertentu yang diperjual-belikan dengan niat untuk mendapatkan keuntungan. 2. Dalil Masyru'iyah عَنْ سَمُرَةَ كَانَ النَّبِيُّ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنَ الَّذِي نَعُدُّ لِلْبَيْعِ Dari Samurah radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat dari barang yang siapkan untuk jual beli. (HR. Abu Daud) Kalimat "alladzi nu'adu lil-bai'i" artinya adalah benda atau barang yang kami persiapkan untuk diperjual-belikan. Jadi zakat ini memang bukan zakat jual-beli itu sendiri, melainkan zakat yang dikenakan atas barang yang dipersiapkan untuk diperjual-belikan. فِي الإْبِل صَدَقَتُهَا وَفِي الْغَنَمِ صَدَقَتُهَا وَفِي الْبَزِّ صَدَقَتُهَا Pada unta ada kewajiban zakat, pada kambing ada kewajiban zakat dan pada barang yang diperdagangkan ada kewajiban zakat. (HR. Ad-Daruquthuny) 3. Bukan Zakat Penjualan Sesungguhnya zakat ini lebih tepat disebut dengan zakat atas harta yang dimiliki seseorang dengan niat untuk diperjual-belikan, dan bukan zakat jual-beli itu sendiri. Perlu diketahui bahwa sesungguhnya transaksi jual-beli itu sendiri dalam syariat Islam tidak mewajibkan zakat. Ini 180 derajat berbeda dengan pajak, dimana penguasa mengutip pajak dari tiap transaksi atas jual-beli yang dilakukan oleh rakyat. Sedangkan yang disyariatkan dalam zakat barang-barang perdagangan adalah zakat yang dikenakan atas barang-barang yang disimpan atau dimiliki oleh seseorang, dengan niat untuk diperjual-belikan. Ketentuan zakatnya adalah selama barang-barang itu dimiliki, atau belum laku, maka barang-barang itu kena zakat, bila telah memenuhi syarat nishab, haul dan sebagainya. Adapun ketika barang itu laku dijual, lalu pemiliknya mendapat uang, justru tidak ada kewajiban untuk mengeluarkan zakat atas transaksi itu. 4. Bukan Zakat Usaha Zakat barang perdangan ini juga harus dibedakan dengan zakat usaha, bisnis, perusahaan dan lainnya. Sebab yang namanya usaha belum tentu jual-beli. Misalnya ada seorang yang menyewakan toko buat orang lain berjualan, seperti sebagian dari bisnis waralaba. Dalam hal ini, buat orang tersebut, bisnis yang dilakukan sesungguhnya bukan jual-beli, melainkan penyewaan ruang untuk berjualan. Demikian juga dengan perusahaan, tidak setiap perusahaan mendapatkan untuk dengan cara memperjual-belikan barang, kadangkala sebuah perusahaan mendapatkan keuntungan hanya dengan cara menjadi perantara (broker), atau menjual jasa tertentu, atau memproduksi barang tertentu. Untuk itu ada bab khusus yang akan membahas bagaimana badan usaha harus mengeluarkan zakatnya. Dalam bab ini kita hanya akan bicara tentang zakat dari hasil proses jual-beli barang, sebagaimana kita wariskan dari khazanah kekayaan literatur fiqih Islam klasik empat mazhab. 5. Beberapa Ketentuan Ada beberapa ketentuan dalam masalah zakat atas barang yang diniatkan untuk dijadikan barang dagangan. Beberapa ketentuan itu antara lain adalah : a. Bukan Zakat Transaksi Tapi Zakat Kepemilikan Barang Zakat ini memang bukan zakat perdagangan, melainkan zakat yang dikenakan atas barang-barang yang dimiliki, entah dengan cara membelinya atau membuatnya, namun memang judulnya untuk diperdagangkan. Dengan kata lain, zakat barang perdagangan ini dihitung bukan dari asset yang digunakan untuk perdagangan atau dari profit yang diterima, namun dari modal yang berputar untuk membeli barang yang akan diperdagangkan. Dengan demikian, kalau seseorang buka toko kelontong misalnya, maka asset seperti bangunan toko, lemari, rak, cash register, kulkas, timbangan dan semua perlengkapan yang ada di dalam toko, tidak termasuk yang harus dihitung untuk dikeluarkan zakatnya. Yang harus dikeluarkan zakatnya adalah harta yang dikeluarkan untuk membeli stok barang di toko itu. b. Tidak Ada Dua Zakat Dalam kasus dimana harta yang akan diperjual-belikan adalah harta yang secara 'ain terkena zakat, seperti hewan ternak atau emas, maka yang berlaku hanya zakat ain-nya saja. Misalnya seseorang penjual hewan memelihara lima ekor unta dengan niat untuk diperjual-belikan, maka sesungguhnya dia bisa terkena dua zakat sekaligus, yaitu zakat hewan ternak dan zakat memiliki barang yang niatnya untuk diperjual-belikan. Namun dalam hal ini para ulama menegaskan bahwa yang berlaku atasnya hanya satu zakat saja, yaitu zakat atas 'ain hewan itu dan bukan zakat barang yang diperdagangkan. Misal yang lain, seseorang penjual emas punya 85 gram emas yang telah dimiliki selama satu tahun, padahal kepemilikan atas emasnya tidak lain untuk diperjual-belikan. Saat itu memang ada dua ketentuan zakat, yaitu zakat atas kepemilikan emas itu sendiri, dan kedua zakat atas kepemilikan emas yang niatnya untuk diperjual-belikan. Tetapi yang berlaku hanya satu saja, yaitu zakat atas kepemilikan emas itu, sedang atas niat untuk memperjual-belikannya tidak diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya. c. Modal Berputar itu harus sudah melewati nisab. Nisab zakat perdagangan adalah harga 85 gram emas. Bila uang yang keluar untuk membeli barang yang akan dijual lagi itu telah mencapai nilai angka seharga 85 gram emas, maka sudah cukup nishabnya. Misalnya, harga emas sekarang ini Rp. 100.000,- per gram. Maka nishab zakat perdagangan adalah 85 gram x Rp. 100.000,- = Rp. 8.500.000,-. d. Haul Perdagangan itu telah berlangsung selama satu tahun hijriyah. Perhitungan haul dalam masalah zakat atau yang dimaksud dengan satu tahun adalah berdasarkan tahun qamariyah atau tahun hijriyah. Bukan dengan tahun syamsiyah atau yang sering dikenal dengan tahun masehi. B. Zakat Perdagangan Era Modern Zakat perdagangan yang kebanyakan ditulis dan dipopulerkan orang di masa sekarang ini bukan zakat yang sudah kita bahas di atas. Tetapi merupakan zakat hasil 'ijtihad baru' di masa sekarang ini. Segala pengertian dan ketentuannya nyaris berbeda 180 derajat dengan zakat urudhu at-tijarah di atas. Kemudian zakat ini mengalami perluasan oleh para ulama, sehingga ketentuannya berubah menjadi zakat atas tiap pemasukan harta (omzet) dari hasil melakukan berbagai transaksi jual-beli. Perluasan ini jelas agak keluar jauh dari asalnya. Dengan adanya perluasan ini, maka siapa pun yang melakukan transaksi jual-beli atas berbagai macam aset, dikenakan zakat. Dalam prakteknya, zakat jual-beli ini sebenarnya lebih mirip dengan pajak penjualan. 1. Zakat Atas Keuntungan Perdagangan Maka dengan perluasan ini, bila ada orang berdagang dan mendapatkan keuntungan dari usaha di berbagai bidang, seperti perusahaan, warung, toko dan lainnya, maka dia wajib menyisihkan hasil itu untuk zakat. Padahal kalau merujuk kepada aslinya, yang wajib dikeluarkan zakatnya bukan keuntungan hasil dagang, melainkan zakat atas kepemilikan benda-benda yang diperdagangkan, bila telah memenuhi nishab dan disimpan selama setahun. 2. Zakat Atas Apapun Uang Dari Hasil Menjual Sesuatu Dan yang semakin jauh lagi perluasan atas zakat ini adalah ketentuan bahwa apa pun uang yang didapat dari hasil menjual suatu aset, asalkan nilai tinggi, maka ada ketentuan zakat dan wajib dikeluarkan. Maka perluasan ini mengabaikan beberapa prinsip mendasar, seperti kekhususan harta yang diperdagangkan. Dengan demikian, apa pun transaksi jual-beli yang terjadi, ada kewajiban zakat atasnya. Misalnya ada orang ingin melaksanakan hajatan, dan karena tidak punya uang, dia menjual tanah atau sawah. Ternyata kalau menurut versi zakat ini, uang hasil jual tanah dan sawah wajib dikeluakan zakatnya. Padahal dalam kententuan zakat yang asli, jual tanah atau sawah tidak mewajibkan zakat. Demikian juga bila ada orang menjual rumahnya, mungkin karena kebutuhan atau membayar hutang, maka dia diwajibkan untuk mengeluarkan zakat atas transaksi jual-beli. Padahal dia bukan pengusaha properti, dia hanya butuh uang untuk membayar hutang, tetapi kena zakat gara-gara jual rumah.Demikian juga yang berlaku apabila ada orang butuh uang dan terpaksa harus menjual kendaraan pribadinya, maka menurut versi perluasan ini, dia wajib menyisihkan sebagian uang hasil penjualan kendaraannya untuk zakat. Walau pun dia bukan pedagang mobil dan motor. Bahkan seorang sales yang kerjanya menjualkan barang orang, bisa juga dikenakan zakat. Padahal barang itu bukan miliknya. Dia hanya sekedar menjadi perantara (broker), tetapi berhubung zakat versi ini punya misi mirip pajak, maka apapun transaksi jual-beli yang dilakukan orang, pasti akan dikenakan zakat. 3. Full Kontroversi Tentu saja zakat perluasan ini mengundang kontroversi besar di kalangan para ulama, setidaknya di level para ulama dan pelajar/mahasiswa syariah yang selama ini mempelajari fiqih zakat secara mendalam. Tetapi lain lagi keadaannya buat mereka yang agak kurang perhatian, apalagi masyarakat awam yang tidak pernah belajar ilmu fiqih. Buat tipologi muslim perkotaan yang miskin tsaqafah islamiyah, buta hukum Islam, tidak mengerti ilmu fiqih dan tidak punya latar belakang ilmu syariah Islam, propaganda zakat perdagangan versi yang diluas-luaskan ini malah dianggap sebagai ketentuan yang baku. Sebab begitu 'melek' matanya pertama kali tentang agama Islam, zakat versi inilah yang dijejalkan pertama kali. Seolah-olah memang zakat seperti itulah yang asli dari Rasulullah SAW. Padahal kenyataannya justru zakat versi itu hanyalah hasil rekaan dan rekayasa terbaru para pencetus zakat di era modern. Sama sekali tidak ada dan tidak pernah ada, kecuali setelah usia umat Islam melewati 14 abad lamanya. Kesimpulan Untuk menjawab pertanyaan anda di atas, ada dua pilihan yang sepenuhnya menjadi hak anda sendiri. Kalau mau pakai zakat perdagangan versi yang asli, berart tidak semua transaksi jual-beli yang Anda lakukan terkena zakat. Zakat perdagangan baru berlaku hanya apabila anda sejak awal membeli suatu barang yang niatnya mau dijual, dimana nilai barang itu minimal seharga 85 gram emas, dan anda menyimpan barang itu selama minimal setahun qamariyah. Maka pada saat itu anda harus mengeluarkan 2,5% dari nilai harga barang yang anda stok dan belum laku dijual. Inilah zakat perdagangan yang selama 14 abad ini berlaku. Sebaliknya, kalau Anda lebih memilih versi yang kedua, maka apapun yang anda lakukan, asalkan ada transaksi jual-belinya, maka anda terkena zakat. Sebagian berpendapat bahwa yang harus dikeluarkan adalah 2.5% dari nilai transaksi. Sebagian lagi menyebutkan bahwa nilainya 2,5% dari nilai keuntungan. Semua kembali kepada anda sendiri.Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc., MA |
1. Aqidah |
2. Al-Quran |
3. Hadits |
4. Ushul Fiqih |
5. Thaharah |
6. Shalat |
7. Zakat |
8. Puasa |
9. Haji |
10. Muamalat |
11. Pernikahan |
12. Mawaris |
13. Kuliner |
14. Qurban Aqiqah |
15. Negara |
16. Kontemporer |
17. Wanita |
18. Dakwah |
19. Jinayat |
20. Umum |