![]() | Tanya Jawab Fiqih Dr. Ahmad Sarwat., Lc.,MA : |
Darah Apa Saja Yang Hukumnya Tidak Najis? |
PERTANYAAN Assalamu 'alaikum wr. wb. Kalau tubuh manusia itu suci, mengapa darah yang keluar dari tubuh manusia itu najis? Apa dalil atas najisnya darah? Adakah darah yang hukumnya tidak najis? Wassalam |
JAWABAN Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Tubuh manusia memang suci, baik manusia muslim atau kafir. Namun tidak demikian halnya dengan benda-benda yang keluar dari tubuh manusia, sebagiannya dan bukan semuanya, adalah benda-benda yang hukumnya najis. Di antara sebagian benda yang keluar dari tubuh manusia dan hukumnya najis adalah darah, nanah, muntah, kotoran, air kecing, mani, mazi, wadi dan lai-lainnya. Darah manusia itu najis hukumnya, yaitu darah yang mengalir keluar dalam jumlah yang besar dari dalam tubuh. Dan dasarnya adalah firman Allah SWT : إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai dan darah (QS. An-Nahl : 115). Selain itu juga ada hadits Nabi yang menyebutkan bahwa pakaian yang terkena darah dan benda-benda najis lainnya harus dicuci. إِنَّمَا يُغْسَل الثَّوْبُ مِنَ الْمَنِيِّ وَالْبَوْل وَالدَّمِ Dari Ammar bin Yasir radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya pakaian itu harus dicuci bila terkena mani, air kencing dan darah”. (HR. Ad-Daruquthny) جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ فَقَالَتْ : أَرَأَيْتَ إِحْدَانَا تَحِيضُ فِي الثَّوْبِ كَيْفَ تَصْنَعُ ؟ قَال : " تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ وَتَنْضَحُهُ وَتُصَلِّي فِيهِ Dari Asma’ binti Abu Bakar radhiyallahuanha berkata bahwa ada seorang wanita mendatangi Nabi SAW dan bertanya,”Aku mendapati pakaian salah seorang kami terkena darah haidh, apa yang harus dia lakukan?”. Rasulullah SAW menjawab,” ia kupas dan lepaskan darah itu lalu ia kerok dengan ujung jari dan kuku sambil dibilas air kemudian ia cuci kemudian ia shalat dengannya”. (HR. Bukhari) 1. Bukan Najis : Darah Dalam Tubuh Darah yang mengalir di dalam tubuh hukumnya tidak najis, yang najis adalah darah yang mengalir keluar dari tubuh, sebagaimana firman Allah SWT : أَوْ دَماً مَسْفُوحًا … atau darah yang mengalir. (QS. Al-An'am : 145) Termasuk yang menjadi pengecualian adalah organ-organ yang terbentuk atau menjadi pusat berkumpulnya darah seperti hati, jantung dan limpa dan lainnya. Semua organ itu tidak termasuk najis, karena bukan berbentuk darah yang mengalir. Maka orang yang menerima sumbangan donor darah dari luar, ketika darah itu masih berada di dalam kantung, hukumnya najis dan tidak boleh shalat sambil membawa kantung berisi darah. Tetapi bila darah itu sudah disuntikkan ke dalam tubuh seseorang, maka darah yang sudah masuk ke dalam tubuh itu tidak terhitung sebagai benda najis. Kalau masih tetap dianggap najis, maka seluruh manusia pun pasti mengandung darah juga. Apakah tubuh manusia itu najis karena di dalamnya ada darahnya? Jawabannya tentu saja tidak najis, karena darah yang najis hanyalah darah yang keluar dari tubuh seseorang. 2. Bukan Najis : Darah Syuhada’ Darah yang juga hukumnya bukan darah najis adalah darah yang mengalir keluar dari tubuh muslim yang mati syahid (syuhada’). Umumnya para ulama sepakat mengatakan bahwa darah orang yang mati syahid itu hukumnya tidak termasuk najis. Dasar dari kesucian darah para syuhada adalah sabda Rasulullah SAW : زَمِّلُوهُمْ بِدِمَائِهِمْ فَإِنَّهُ لَيْسَ كَلْمٌ يُكْلَمُ فِي اللَّهِ إِلاَّ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَدْمَى لَوْنُهُ لَوْنُ الدَّمِ وَرِيحُهُ رِيحُ الْمِسْكِ Bungkuslah jasad mereka (syuhada’) sekalian dengan darah-darahnya juga. Sesungguhnya mereka akan datang di hari kiamat dengan berdarah-darah, warnanya warna darah namun aromanya seharum kesturi. (HR. An-Nasai dan Ahmad) Namun para ulama mengatakan darah syuhada yang suci itu hanya bila darah itu masih menempel di tubuh mereka. Sedangkan bila darah itu terlepas atau tercecer dari tubuh, hukumnya tetap hukum darah seperti umumnya, yaitu najis. 3. Bukan Najis : Darah Yang Dimaafkan Para ulama juga mengenal istilah kenajisan darah yang dimaafkan. Artinya meskipun wujudnya memang darah, namun karena jumlahnya sedikit sekali, kenajisannya dianggap tidak berlaku. Namun mereka berbeda pendapat tentang batasan dari sedikitnya darah yang dimaafkan kenajisannya itu. a. Al-Hanafiyah Al-Hanafiyah mengatakan bahwa batasannya adalah darah itu tidak terlalu besar mengalir ke luar tubuh melebihi lebarnya lubang tempat keluarnya darah itu. Mazhab ini juga memaafkan najis darah dari kecoak dan kutu busuk, karena dianggap sulit seseorang untuk bisa terhindar dari keduanya.[1] Terkait dengan darah, hewan air atau hewan yang hidup di laut yang keluar darah dari tubuhnya secara banyak tidak najis. Hal itu disebabkan karena ikan itu hukumnya tidak najis meski sudah mati. b. Al-Malikiyah Dalam pandangan mazhab Al-Malikiyah, darah yang kenajisannya dimaafkan adalah darah yang keluar dari tubuh, tapi ukurannya tidak melebihi ukuran uang dirham, bila terlepas dari tubuh. [2] c. Asy-Syafi’iyah Mazhab Asy-Syafi’iyah mengatakan bahwa darah yang kenajisannya dimaafkan adalah darah yang jumlahnya sangat sedikit. Namun mazhab ini tidak menyebutkan ukurannya secara tepat. Ukurannya menurut ‘urf masing-masing saja. Selain itu yang juga termasuk dimaafkan adalah darah yang keluar dari tubuh seseorang karena lecet atau sisa pengeluaran darah dalam donor darah. Demikian juga darah kecoak dan kutu busuk, termasuk yang dimaafkan. Juga darah yang tidak nampak oleh mata kita, bila terjadi pendarahan pada bagian tubuh tertentu, termasuk yang dimaafkan.[3] Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, [1] Al-Ikhtiyar Syarah Al-Mukhtar, jilid 1 hal. 30-31 [2] Al-Kharasyi ala Mukhtashar Khalil, jilid 1 hal. 87 [3] Al-Iqna’ li Asy-Syarbini Al-Khatib, jilid 1 hal. 82-83 |