![]() |
USTADZ MENJAWAB1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | CariRingkas | Rinci |
Bolehkah Musafir Bermakmum Kepada Bukan Musafir? |
PERTANYAAN Assalamualaikum ustadz, Saya mau bertanya kepada ustadz tentang sholat jama'. Misalnya kita akan melakukan perjalanan yg jaraknya sudah lebih dari 90km, kemudian akan berangkat setelah shalat zhuhur, jadi mau jama' shalat zhuhur dan ashar dgn jama' taqdim, saat sampai di mesjid akan dilaksanakan shalat zhuhur berjamaah. Yang ingin saya tanyakan adalah :
Mohon penjelasannya ustadz.. |
JAWABAN Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Sebenarnya tanya jawab tentang ketentuan shalat jama' dan qashar sudah seringkali dibahas di situs ini. Sehingga kalau dilakukan pencarian, semua yang ditanyakan akan ditemukan jawabannya lewat tanya jawab sebelumnya.Namun tidak mengapa pertanyaan ini saya jawab, setidaknya agar dapat menyegarkan kembali ingatan kita. Pertanyaan anda ada dua : Pertama, tentang kebolehan musafir bermakmum kepada imam yang bukan musafir. Kedua, tentang bagaimana niatnya. 1. Bolehkah Musafir Bermakmum Kepada Imam Yang Bukan Musafir Dalam hal kesamaan niat dan wujud shalat antara imam dan makmum, ada perbedaan pendapat antara jumhur ulama dengan mazhab Asy-Syafi'iyah. a. Jumhur : Tidak Boleh Kalau menurut jumhur ulama, diantaranya mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah, shalat yang dilakukan antara imam dan makmum harus sebuah shalat yang sama, baik judulnya, bentuknya ataupun jumlah rakaatnya. Maka dalam pandangan jumhur ulama, bila seorang makmum melakukan shalat jama' sedangkan imamnya tidak berniat melakukannya, walaupun secara jumlah rakaatnya sama. Tetapi ketidak-samaan niat membuat hal itu tidak diperkenankan. Dalil yang mereka kemukakan adalah dalil yang bersifat umum, diantaranya sabda Rasulullah SAW : إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا صَلَّى قَاعِدًا فَصَلُّوا قُعُودًا أَجْمَعُونَ – رواه مسلم Sesungguhnya seseorang dijadikan imam untuk diikuti. Bila imam bertakbir, maka bertakbirlah kalian. Bila imam sujud maka sujudlah kalian. Bila imam bangun dari sujud maka kalian bangunlah dari sujud. Bila imam mengucap sami'allahuliman hamidah, maka ucapkanlah rabbana wa lakal hamdu. Bila imam shalat sambil duduk, maka shalatlah kalian semua sambil duduk. (HR. Muslim) b. Mazhab Asy-Syafi'iyah : Boleh Sedangkan dalam pandangan mazhab Asy-Syafi'iyah, dibolehkan bagi orang yang berniat shalat jama' untuk bermakmum kepada imam yang bukan musafir atau tidak berniat jama'. Mazhab Asy-Syafi'iyah memahami hadits di atas bukan seperti apa yang dipahami jumhur ulama. Sehingga dalam pandangan mazhab ini, syarat kesamaan shalat imam dan makmum itu tidak pada keseluruhan sisi shalat, namun hanya pada sisi kerangka dan bentuknya secara umum. Madzhab Asy-Syaf'iyah tidak mengharuskan kesamaan pada sebab, gerakan dan sifat shalat, cukup hanya kesamaan dalam bentuk dasar dan posisi utama. Maka dalam mazhab ini hal-hal berikut ini dibenarkan dan dianggap sah :
Namun harus diingat bahwa makmum tidak boleh mengqashar shalatnya menjadi dua rakaat, sedangkan imam mengerjakan empat rakaat. Makmum dalam hal ini hanya boleh menjama' tetapi tidak boleh mengqashar. 2. Niat Shalat Jama' Apa Harus Sejak Shalat Yang Pertama? a. Niat Sejak Shalat Yang Pertama Misalnya kita menjama’ shalat Zhuhur dengan shalat Ashjar di waktu Zhuhur, maka sejak berniat shalat Zhuhur kita juga harus sudah berniat untuk menjama’ dengan Ashar. Niat untuk menjama’ ini masih dibolehkan selama shalat Zhuhur belum selesai. Jadi batas kebolehan berniatnya hingga sebelum mengucapkan salam dari shalat Zhuhur. Bila selesai salam kita baru berniat untuk menjama', jama taqdim tidak boleh dilakukan. Sehingga shalat Ashar hanya boleh dilakukan nanti bila waktu Ashar telah tiba. b. Berurutan Misalnya kita menjama’ shalat Maghrib dengan shalat Isya' dengan taqdim, yaitu di waktu Maghrib, maka keduanya harus dilakukan sesuai dengan urutan waktunya. Harus shalat Maghrib dulu yang dikerjakan baru kemudian shalat Isya'. Bila shalat Isya' yang dikerjakan terlebih dahulu, maka tidak sah hukumnya. Namun bila bukan jama’ taqdim, dimungkinkan untuk melakukannnya dengan terbalik, yaitu shalat Isya' dulu baru shalat Maghrib. Meski pun tetap lebih utama bila dilakukan dengan tertib urutan waktunya. c. Al-Muwalat Maksudnya antara shalat yang awal dengan shalat kedua tidak boleh terpaut waktu yang lama. Boleh diselingi sekadar lama waktu orang melakukan shalat dua rakaat yang ringan. Juga boleh diselingi dengan mengambil wudhu'. Tapi tidak boleh bila diselingi pekerjaan lain dalam waktu yang terlalu lama. Disunnahkan di antara jeda waktu itu untuk mengulangi iqamah, tapi bukan shalat sunnah. Sebab pada hakikatnya kedua shalat ini disatukan. Ketiga syarat ini berlaku mutlak untuk jama’ taqdim namun untuk jama’ ta'khir bukan menjadi syarat, hanya menjadi sunnah saja. d. Masih Berlangsungnya Safar Masih berlangsungnya safar hingga takbiratul ihram shalat yang kedua. Misalnya kita menjama’ taqdim shalat Maghrib dengan Isya' di waktu Maghrib, maka pada saat Isya' kita harus masih dalam keadaan safar atau perjalanan. Paling tidak pada saat takbiratul ihram shalat Isya'. Hal itu terbayang kalau kita melakukannya di kapal laut misalnya. Kapal itu harus masih dalam pelayaran pada saat kita takbiratul ihram shalat Isya. Tidak mengapa bila selama shalat Isya itu, kapal sudah merapat ke pelabuhan negeri kita. Sedangkan kalau baru sekedar merencanakan perjalanan, padahal kita belum lagi memulai perjalanan itu, maka secara status kita masih belum menjadi musafir, tetapi baru sekedar kandidat musafir. Sebagai orang yang belum menjadi musafir, logika nalar kita yang sederhana akan mengatakan bahwa kita belum diperbolehkan untuk melakukan shalat jama' dan qashar. Lalu kapan status kita sebagai musafir mulai berlaku? Ya, tentunya ketika perjalanan itu sudah dimulai. Setidaknya ketika kita sudah mulai meninggalkan rumah, bahkan para ulama memberi batasan yaitu minimal ketika kita sudah meninggalkan tembok batas kota, desa, atau negeri tempat kita tinggal. Dan hal yang sama juga berlaku pada jama' ta'khir. Misalnya ketika kita dalam status sebagai musafir diperjalanan, kita boleh melakukan shalat Dzhuhur dan Ashar di waktu Ashar, atau shalat Maghrib dan Isya' di waktu Isya. Syaratnya adalah safar atau perjalanan masih berlangsung hingga selesainya shalat yang kedua. Kita masih harus berada di dalam perjalanan hingga selesai shalat Maghrib dan Isya'. Tidak boleh jama’ ta'khir itu dilakukan di rumah setelah safar sudah selesai. Sebab syarat menjama’ shalat adalah safar, maka bila safar telah selesai, tidak boleh lagi melakukan jama'. Bila kita menjama’ ta'khir, jangan lakukan di rumah, tetapi lakukanlah ketika masih di perjalanan, yaitu sebelum sampai ke rumah atau selama masih dalam kondisi perjalanan. Ahmad Sarwat, Lc., MA |
1. Aqidah |
2. Al-Quran |
3. Hadits |
4. Ushul Fiqih |
5. Thaharah |
6. Shalat |
7. Zakat |
8. Puasa |
9. Haji |
10. Muamalat |
11. Pernikahan |
12. Mawaris |
13. Kuliner |
14. Qurban Aqiqah |
15. Negara |
16. Kontemporer |
17. Wanita |
18. Dakwah |
19. Jinayat |
20. Umum |