![]() |
USTADZ MENJAWAB1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | CariRingkas | Rinci |
Janda Berangkat Haji Dalam Masa Iddah, Haramkah? |
PERTANYAAN Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ustadz yang dimuliakan Allah. Perkenankan saya menyampaikan pertanyaan yang mengganjal di hari saya. Alhamdulillah, tahun ini saya dan suami sudah terdaftar dan dipastikan untuk berangkat haji ke tanah suci, dengan ONH Plus. Namun ternyata Allah berkehendak lain. Suami saya meninggal dunia baru-baru ini. Maka sebagai istri yang ditinggalkan suami karena wafat, saya wajib menjalani masa iddah yaitu selama masa 4 bulan 10 hari. Lalu bagaimana dengan perjalanan haji yang tentunya membuat saya harus keluar rumah. Bagaimana kajian syariah dalam hal ini, apakah saya harus batalkan haji atau bolehkah tetap berangkat haji? Adakah masalah haramnya keluar rumah bagi wanita yang beriddah sudah qath'i dan ijma' di antara para ulama, ataukah masih ada celah perbedaan pendapat. Kalau ada pendapat yang membolehkan misalnya, bolehkah saya gunakan pendapat itu? 2. Bagaimana bila seorang wanita sedang menjalankan ibadah haji, kemudian suaminya meninggal dunia. Apakah harus menetap di dalam rumah? Terima kasih ustaz, jazakallah atas pencerahannya. Wassalam |
JAWABAN Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Semoga Allah SWT menerima semua amal suami Anda, mengampuni semua dosa dan kesalahannya, serta menempatkan almarhum di dalam surga-Nya. Dan semoga Allah SWT melipat-gandakan pahala Anda yang bersabar menerima kehendak Allah. Amien ya rabbal 'alamin. Anda sudah benar sekali ketika menyebutkan bahwa seorang wanita yang ditinggal wafat oleh suaminya diwajibkan menjalankan masa iddah. Dan masa iddahnya adalah empat bulan 10 hari. Hal itu memang sudah menjadi ketetapan Allah SWT dan diabadikan di dalam Al-Quran Al-Karim. وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجاً يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْراً
Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan isteri-isteri, maka hendaklah para isteri itu menangguhkan diri nya (ber’iddah) selama empat bulan sepuluh hari.“(QS. Al-Baqarah: 234) A. Kewajiban Menjalani Iddah di dalam Rumah Yang jadi masalah adalah apakah larangan keluar rumah itu merupakan bagian tidak terpisahkan dari ketentuan dalam masa iddah atau bukan? 1. Jumhur Ulama : Haram Keluar Rumah Bagian Dari Ketentuan Iddah Dalam hal ini jumhur ulama umumnya, mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah, semuanya berpendapat sama, yaitu bahwa di antara ketentuan yang wajib dijalankan oleh seorang wanita dalam masa iddahnya adalah kewajiban berada di dalam rumahnya. Dengan kata lain, wanita yang sedang menjalani masa iddah, haram atasnya untuk keluar rumah. Seorang wanita yang sedang menjalani masa iddah diwajibkan melakukan apa yang disebut dengan mulazamtu as-sakan (ملازمة السكن). Artinya adalah selalu berada di dalam rumah, tidak keluar dari dalam rumah, selama masa iddah itu berlangsung. Wanita itu tidak diperkenankan keluar meninggalkan rumah tempat dia dimana menjalani masa iddah itu, kecuali ada udzur-uzdur yang secara syar’i memang telah diperbolehkan, atau ada hajat yang tidak mungkin ditinggalkan. Pelanggaran ini berdampak pada dosa dan kemasiatan. Dan bagi suami yang mentalak istrinya, ada kewajiban untuk menegur dan mencegah istrinya bila keluar dari rumah.
Ketentuan ini didasari dengan banyak dalil, baik dalil Al-Quran ataupun As-Sunnah. a. Dalil Al-Quran لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat lalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru.. (QS. Ath-Thalaq : 1) b. Dalil As-Sunnah Sedangkan dalil dalam As-Sunnah cukup banyak, di antaranya hadits Furai'ah binti Malik bin Sinan, saudari perempuan Abu Said Al-Khudhri radhiyallahuanha. Ketika suaminya wafat, Rasulullah SAW memerintahkannya untuk menetap di dalam rumah mendiang suaminya, hingga selesai masa iddahnya. أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ- أَمَرَهَا أَنْ تَمْكُثَ فِي بَيْتِهَا حَتَّى تَنتَهِيَ عِدّتُهَا Rasulullah SAW memerintahkannya untuk menetap di dalam rumahnya hingga selesai masa iddahnya. (HR. Malik, As-Syafi'i, Ahmad, Abu Daud, An-Nasa'i, At-Tirmizy dan Ibnu Majah) A-Hakim dan Ibnu Hibban menshahihkan hadits ini. Dan oleh karena itulah maka umumnya para ulama sepakat mengharamkan wanita keluar rumah selama masa iddahnya. Dan pendapat inilah yang lebih rajih dan lebih banyak diterima oleh para ulama. Pengecualian Alasannya karena wanita yang telah ditalak seperti itu sudah tidak berhak lagi mendapatkan nafkah dari mantan suaminya. Dan dalam keadaan itu, dia wajib mencari nafkah sendiri dengan kedua tangannya. Maka tidak masuk akal bila wanita itu tidak boleh keluar rumah, sementara tidak ada orang yang berkewajiban untuk menafkahinya. Selain itu memang ada nash yang membolehkan hal itu, sebagaimana hadits berikut ini : عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَال : طَلُقَتْ خَالَتِي ثَلاَثًا فَخَرَجَتْ تَجِدُّ نَخْلاً لَهَا فَلَقِيَهَا رَجُلٌ فَنَهَاهَا فَأَتَتِ النَّبِيَّ فَقَالَتْ ذَلِكَ لَهُ فَقَال لَهَا : اخْرُجِي فَجُدِّي نَخْلَكِ لَعَلَّكِ أَنْ تَصَدَّقِي مِنْهُ أَوْ تَفْعَلِي خَيْرًا Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahuanhu, dia berkata,”Bibiku ditalak yang ketiga oleh suaminya. Namun beliau tetap keluar rumah untuk mendapatkan kurma (nafkah), hingga beliau bertemu dengan seseorang yang kemudian melarangnya. Maka bibiku mendatangi Rasulullah SAW sambil bertanya tentang hal itu. Dan Rasululah SAW berkata,”Silahkan keluar rumah dan dapatkan nafkahmu, barangkali saja kamu bisa bersedekah dan mengerjakan kebaikan. (HR. Muslim). Dalam hal ini yang menjadi ‘illat atas kebolehannya semata-mata karena wanita itu tidak ada yang memberinya nafkah untuk menyambung hidup. Sedangkan bila ada yang memberinya nafkah, atau dia adalah wanita yang punya harta, yang dengan hartanya itu cukup untuk menyambung hidup tanpa harus bekerja keluar rumah, maka kebolehan keluar rumah itu tidak berlaku. Selain itu juga ada hadits yang membolehkan para wanita untuk berkunjung ke rumah tetangga pada saat-saat menjalani masa ‘iddah, dan hal itu atas seizin dan sepengetahuan Rasulullah SAW. اسْتَشْهَدَ رِجَالٌ يَوْمَ أُحُدٍ فَآمَ نِسَاؤُهُمْ وَكُنَّ مُتَجَاوِرَاتٍ فِي دَارٍ فَجِئْنَ النَّبِيَّ فَقُلْنَ : يَا رَسُول اللَّهِ إِنَّا نَسْتَوْحِشُ بِاللَّيْل فَنَبِيتُ عِنْدَ إِحْدَانَا فَإِذَا أَصْبَحْنَا تَبَدَّرْنَا إِلَى بُيُوتِنَا فَقَال النَّبِيُّ : تَحَدَّثْنَ عِنْدَ إِحْدَاكُنَّ مَا بَدَا لَكُنَّ فَإِذَا أَرَدْتُنَّ النَّوْمَ فَلْتَؤُبْ كُل امْرَأَةٍ مِنْكُنَّ إِلَى بَيْتِهَا Beberapa laki-laki telah gugur dalam perang Uhud, maka para istri mereka yang saling bertetangga berkumpul di rumah salah seorang mereka. Mereka pun mendatangi Rasulullah SAW dan bertanya,”Ya Rasulullah, kami merasa khawatir di malam hari dan kami tidur bersama di rumah salah seorang dari kami. Bila hari telah pagi, maka kami kembali ke rumah masing-masing”. Nabi SAW bersabda,”Kalian saling menghibur di rumah salah seorang kalian. Bila kalian akan tidur, maka kembali masing-masing ke rumahnya. (HR. Al-Bahaqi) Mengomentari hadits ini, para ulama mengatakan bahwa hal itu termasuk dibolehkan, asalkan kondisinya amanat dan pada saat menjelang tidur, mereka kembali ke rumah mereka masing-masing. 2. Pendapat Marjuh Namun di luar pendapat jumhur yang sudah menjadi pendapat yang masyhur di tengah masyarakat, kalau kita mau telusuri lebih jauh, ternyata ada juga pendapat yang berbeda dan menyalahi pendapat jumhur. Pendapat itu menyebutkan bahwa menetap di dalam rumah bukan termasuk bagian dari ketentuan menjalani masa iddah. Sehingga para wanita yang sedang menjalani masa iddah diperkenankan keluar rumah, bahkan termasuk bepergian jauh menjalani ritual ibadah haji dan umrah. Tentu saja pendapat ini termasuk dalam kategori marjuh yang ditinggalkan, karena bertentangan dengan dalil-dalil qath'i yang melarang wanita keluar rumah dalam masa iddah. Pertanyaannya, siapa yang berpendapat seperti ini dan apa dasar pendapat mereka? Di antara yang berpendapat seperti ini adalah mazhab Adz-Dzahiriyah. Dasarnya bahwa di dalam Al-Quran tidak ada larangan bagi wanita yang sedang menjalani masa iddah untuk keluar rumah. Perintahnya sebatas menjalani masa iddah, tetapi tidak ada larangan keluar rumah. Sedangkan hadits di atas yang melarang menyebutkan bahwa Nabi SAW melarang Furai'ah keluar rumah, oleh kalangan ahli Dzhahir dituduh sebagai hadits lemah (dhaif). Konon menurut riwayat, yang juga membolehkan wanita sedang beriddah keluar rumah di kalangan shahabat antara lain Ali, Ibnu Abbas, Aisyah dan Jabir bin Abdillah. Di kalangan tabi'in antara lain Al-Hasan Al-Bashri, Jabir bin Zaid dan Atha' bin Abi Rabah. Tentu validitas riwayat ini masih perlu ditahkik lebih dalam, karena masih berupa informasi awal, yang disebutkan dalam fatwa Darul-Ifta' Al-Mashriyah. B. Sedang Haji Suami Meninggal Kasus kedua yang anda tanyakan adalah apa yang harus dilakukan oleh seorang istri yang sedang melaksanakan ibadah haji, lalu suaminya meninggal dunia. Apakah tetap wajib menjalani masa iddah di dalam rumah atau meneruskan hajinya? Jawabnya bahwa para ulama agak sedikit berbeda pendapat. Karena ada beberapa kasus di masa lalu, para shahabat Nabi SAW juga pernah mengalami hal seperti yang anda tanyakan. Ada beberapa wanita yang ikut dalam rombongan haji, lalu suami mereka meninggal dunia. Maka Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu memulangkan mereka dari Dzul-Hulaifah, agar mereka dapat menyelesaikan masa iddah mereka di dalam rumah. (lihat Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, jilid 9 hal. 184). Apabila seorang wanita yang sedang dalam perjalanan haji, tiba-tiba suaminya meninggal, maka ada dua kemungkinan. Bila perjalanan itu belum lagi mencapai jarak dibolehkannya qashar shalat, maka wanita itu diminta pulang kembali. Begitu tiba di rumah, dia hanya tinggal meneruskan sisa masa iddahnya saja. (lihat Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, jilid 17 hal. 164). Namun bila perjalanan sudah menempuh jarak yang jauh melewati batas jarak qashar, tidak mungkin diminta untuk pulang kembali, karena justru malah jadi dharah atau masalah baru. Sehingga tidak perlu diminta pulang tetapi dibiarkan mengikuti perjalanan bersama rombongan haji. Perbedaan Pendapat di Kalangan Mazhab Fiqih Kalau kita telusuri kitab-kitab fiqih dari masing-masing mazhab, kita akan menemukan perbedaan pendapat dalam kasus ini : 1. Mazhab Al-Hanafiyah Dalam mazhab Al-Hanafiyah, wanita yang suaminya meninggal pada saat di sedang menjalankan ibadah haji, maka lebih utama untuk segera pulang secepatnya, agar dapat menjalani massa iddah di rumahnya. Dan tidak boleh dia meneruskan hajinya, baik dengan mahram atau tanpa mahram. Dalilnya bahwa di masa shahabat, ada wanita-wanita yang suaminya wafat ketika mereka mengerjakan haji. Maka para wanita itu dipulangkan oleh Abdullah bin Masud radhiyallahuanhu. Padahal perjalanan mereka sudah sampai di Qashr Najf. (lihat Al-Mabsuth li As-Sarakhsy, jilid 6 hal. 36) 2. Mazhab Al-Malikiyah Berbeda dengan pendapat Al-Hanafiyah, mazhab Al-Malikiyah dalam masalah ini berfatwa bahwa wanita itu tidak perlu pulang. Dia tetap harus meneruskan perjalanan haji atau umrahnya. Alasannya, karena perintah haji dan umrah datang duluan, sedangkan kejadian wafatnya suami terjadi belakangan. Maka baginya harus menyelesaikan dulu perintah yang pertama, baru setelah itu mengerjakan perintah yang kedua. (lihat Hasyiyatu Ad-Dasuqi, jilid 2 hal. 486) 3. Mazhab As-Syafi'iyah Sedangkan mazhab Asy-Syafi'iyah mengatakan bahwa wanita itu boleh memilih di antara keduanya. Dia boleh pulang atau meneruskan perjalanan. (lihat Fathul Qadir jilid 3 hal. 99) Demikian sekilas pendapat para ulama dalam kasus wanita yang dalam perjalanan haji lalu suaminya wafat. Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,Ahmad Sarwat, Lc., MA |
1. Aqidah |
2. Al-Quran |
3. Hadits |
4. Ushul Fiqih |
5. Thaharah |
6. Shalat |
7. Zakat |
8. Puasa |
9. Haji |
10. Muamalat |
11. Pernikahan |
12. Mawaris |
13. Kuliner |
14. Qurban Aqiqah |
15. Negara |
16. Kontemporer |
17. Wanita |
18. Dakwah |
19. Jinayat |
20. Umum |