![]() |
USTADZ MENJAWAB1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | CariRingkas | Rinci |
Sejak Lahir Belum Diaqiqahkan Orang Tua, Haruskah Mengaqiqahkan Diri Sendiri? |
PERTANYAAN Assalamu 'alaikum wr. wb. Semoga segala kebaikan dan keberkahan selalu Allah SWT curahkan kepada ustadz dan keluarga. Menjelang datangnya hari Idul Adha kami berencana untuk menyembelih qurban. Tetapi ada yang bilang apabila belum menyembelih aqiqah, seharusnya jagan dulu berqurban. Pertanyaan saya, apabila ketika masih bayi dulu orang tua kita belum sempat menyembelihkan aqiqah untuk kita, apakah hari ini ketika kita sudah besar dan mandiri, kita disyariatkan untuk melakukan penyembelihan aqiqah untuk diri kita sendiri atau gugur kewajibannya? Demikian pertanyaan saya ustadz. Mohon pencerahan dan terima kasih. Wassalam |
JAWABAN Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Umumnya para ulama menegaskan bahwa mereka yang disembelihkan aqiqah adalah bayi yang baru lahir, dengan maksimal sampai dia mengalami musia baligh. Sedangkan menyembelih aqiqah untuk orang yang sudah baligh, apalagi yang sudah mencapai usia dewasa, maka dalam hal ini pendapat para ulama terpecah. Setidaknya memang ada dua pendapat dalam hal ini, dimana para ulama, yang levelnya sudah sampai ke tingkat mujtahid betulan, masih berbeda pendapat. Kalau kita buka kitab fiqih, maka kita akan mendapatkan rincian perbedaan pendapat itu. 1. Masyru' Sebagian ulama memandang bahwa mengaqiqahi diri sendiri adalah hal yang dibenarkan dalam syariat Islam. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ar-Rafi’i, Al-Qaffal, Muhammad bin Sirin, Atha’ dan Al-Hasan Al-Bashri. Ar-Rafi'i, ulama dari kalangan mazhab Asy-yafi'iyah mengatakan apabila seseorang mengakhirkan dari menyembelihkan aqiqah untuk anaknya hingga anaknya telah baligh, maka telah gugurlah kesunnahan dari ibadah itu. Namun bila anak itu sendiri yang berkeinginan untuk melakukan penyembelihan aqiqah bagi dirinya sendiri, tidak mengapa. Pendapat Ar-Rafi’i ini juga dikuatkan oleh pendapat Al-Qaffal, yang juga merupakan salah seorang dari fuqaha mazhab Asy-Syafi'iyah. Beliau ikut membenarkan hal itu meski tidak mewajibkan.[1] Diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri bahwa beliau berfatwa : apabila seorang ayah belum menyembelihkan hewan aqiqah bagi anaknya yang laki-laki, maka bila nanti anaknya itu dewasa dan punya rejeki, dipersilahkan bila ingin menyembelih hewan aqiqah yang diniatkan untuk dirinya sendiri. Fatwa ini bisa kita temukan tertulis di dalam kitab Al-Muhalla.[2] Di dalam kitab Fathul Bari karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani diriwayatkan bahwa Muhammad Ibnu Sirin pernah berfatwa : Seandainya saya tahu bahwa saya belum disembelihkan aqiqah, maka saya akan melakukannya sendiri.[3] 'Atha' berkata bahwa tidak mengapa bila seseorang melakukan penyembelihan aqiqah untuk dirinya sendiri, sebab dirinya menjadi jaminan (rahn). Di antara dasar kebolehannya adalah hadits berikut ini : أَنَّ النَّبِيَّ عَقَّ بِنَفْسِهِ بَعْدَ النُّبُوَّةِ Bahwa Nabi SAW menyembelih hewan aqiqah untuk dirinya sendiri setelah diangkat menjadi nabi. (HR. Al-Bazzar) 2. Tidak Masyru' Ketika Al-Imam Ahmad bin Hanbal ditanya tentang masalah ini, yaitu bolehkah seseorang melakukan penyembelihan aqiqah untuk dirinya sendiri, lantaran dahulu orang tuanya tidak melakukan untuknya, beliau menjawab bahwa hal itu tidak perlu dilakukan hal itu. Alasannya, karena syariat dan perintah untuk menyembelih hewan aqiqah itu berada di pundak orang tuanya, bukan berada di pundak si anak. Sehingga si anak tidak perlu mengerjakannya meski dirinya mampu ketika sudah dewasa. Salah satu ulama pengikut mazhab Hanbali, Ibnu Qudamah berkata, "Menurut kami, penyembelihan itu disyariatkan sebagai beban bagi orang tua dan orang lain tidak dibebankan untuk melakukannya, seperti shadaqah fithr. [4] Di antara dasar pendapat mereka adalah bahwa Rasulullah SAW sendiri tidak pernah menyembelih aqiqah untuk diri beliau, meski sejak kecil tidak pernah disembelihkan aqiqah. Begitu juga beliau tidak pernah memerintahkan para shahabat yang waktu kecilnya belum pernah disembelihkan aqiqah agar masing-masing menyembelih aqiqah untuk diri mereka. Sedangkan hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah menyembelih hewan aqiqah untuk dirinya sendiri, setelah beliau diangkat menjadi utusan Allah, oleh para kritikus hadits dianggap sebagai hadits yang lemah dan menuai hujan kritik. Titik masalahnya ada pada perawi yang bernama Abdullah bin Muharrar. Ibnu Hajar Al-Asqalani Al-Hafidz Ibnu Hajah Al-Asqalani menyebutkan hadits ini matruk. As-Syaukani berpendapat boleh saja seseorang menyembelih aqiqah untuk dirinya sendiri, asalkan hadits itu shahih. Masalahnya, menurut beliau, hadits itu sendiri bermasalah. Asy-Syaukani menyebutkan hadits itu mungkar. Al-Imam An-Nawawi Al-Imam An-Nawawi di dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab menyebutkan bahwa hadits ini batil. وأما الحديث الذي ذكره في عق النبي صلى الله عليه وسلم عن نفسه فرواه البيهقي باسناده عن عبد الله ابن محرر بالحاء المهملة والراء المكررة عن قتادة عن أنس ان النبي صلى الله عليه وسلم (عق عننفسه بعد النبوة) وهذا حديث باطل قال البيهقي هو حديث منكر Namun mereka yang membela pendapat dibolehkannya menyembelih hewan aqiqah untuk diri sendiri punya jawaban yang tidak kalah kuatnya. Mereka menyebutkan bahwa hadits yang dipermasalahkan tetap shahih, karena ada periwayatan lewat jalur lain yang dishahihkan oleh para ulama. Dalam hal ini, Al-Haitsami menyebutkan di dalam kitab Majma’ Az-Zawaid, bahwa hadits ini memang punya dua jalur periwayatan. Pertama adalah jalur yang banyak didhaifkan oleh para ulama, yaitu lewat jalur Abdullah bin Al-Muharrar, dari Qatadah, dari Anas yang diriwayatkan secara marfu. Kedua, adalah jalur yang shahih dan tersambung kepada Anas, dari Al-Haitsam bin Jamil, dari Abdillah bin Al-Mutsanna, dari Tsumamah, dan Anas.[5] Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, [1] Syarah Al-Asqalani li Shahih Al-Bukhari jilid 9 hal. 594-595 [2] Ibnu Hazm, Al-Muhalla bin Atsar, jilid 6 hal. 240 [3] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, jilid 9 hal. 489 [4] Ibnu Qudamah, Al-Mughni jilid 8 hal. 646 [5] Al-Haitsami, Majma’ Az-Zawaid, jilid 4 hal. 59 |
1. Aqidah |
2. Al-Quran |
3. Hadits |
4. Ushul Fiqih |
5. Thaharah |
6. Shalat |
7. Zakat |
8. Puasa |
9. Haji |
10. Muamalat |
11. Pernikahan |
12. Mawaris |
13. Kuliner |
14. Qurban Aqiqah |
15. Negara |
16. Kontemporer |
17. Wanita |
18. Dakwah |
19. Jinayat |
20. Umum |