![]() |
USTADZ MENJAWAB1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | CariRingkas | Rinci |
Dalam Keadaan Yang Bagaimana Menunda Shalat Jadi Lebih Utama? |
PERTANYAAN Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Mohon penjelasan dari ustadz terkait dengan hukum menunda shalat. 1. Apakah kita wajib mengerjakan shalat di awal waktu dan haram untuk menundanya? Ataukah boleh menunda shalat asalkan masih di dalam waktunya? 2. Kalau menunda shalat itu boleh, pertanyaannya adalah kapan dan dalam keadaan yang bagaimanakah menunda shalat itu menjadi lebih utama untuk dikerjakan? Demikian pertanyaan ini semoga ustadz selalu diberikan kesehatan dan bisa terus memberikan jawaban-jawaban yang menjelaskan. Wassalam |
JAWABAN Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 1. Menunda Shalat Sebagian ulama berpendapat bahwa shalat di awal waktu hukumnya wajib dan mutlak tidak boleh dilanggar. Maka dalam kesibukan apapun, begitu dengar adzan semua pekerjaaan harus ditinggalkan dan wajib segera melaksanakan shalat. Dalam pandangan mereka, menunda shalat itu dianggap berdosa, haram dan siapa yang melakukannya dianggap termasuk orang yang lalai dan celaka. Dalil yang digunakan adalah ayat Al-Quran : فويل للمصلين الذين هم عن صلاتهم ساهون
Celakalah orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai dari mengerjakan shalatnya. (QS. Al-Ma'un :4-5 ) Rasulullah SAW bersabda : أَوَّلُ الوَقْتِ رِضْوَانُ اللهِ وَوَسَطُهُ رَحْمَةُ اللَّهِ وَآخِرُهُ عَفْوُ اللهِ Shalat di awal waktu akan mendapat keridhaan dari Allah. Shalat di tengah waktu mendapat rahmat dari Allah. Dan shalat di akhir waktu akan mendapatkan maaf dari Allah. (HR. Ad-Daruquthuni) Namun umumnya ulama tidak berpendapat demikian. Mereka mengatakan bahwa shalat yang utama memang dilakukan di awal waktu. Tetapi bila karena satu dan lain hal shalat itu dilaksanakan tidak di awal waktu, hukumnya tetap sah dan tidak berdosa. Namun dari sisi pahala tentu saja nilainya jauh berbeda. Yang disepakati para ulama tentang berdosanya orang yang menunda shalat adalah bila seseorang dengan lalai dan sengaja menunda-nunda pengerjaan shalat, hingga terlewat waktunya. Disitulah para ulama sepakat dia telah berdosa. 2. Lebih Utama Menunda Shalat Terkadang shalat lebih utama untuk ditunda, bila ada hal-hal yang dianggap syar'i untuk menundanya. Bahkan dlaam hal tertentu mengakhirkan shalat justru malah lebih dianjurkan, apabila ada alasan yang syar'i dan dibenarkan secara hukum. Antara lain :1. Tidak Ada AirDalam keadaan kelangkaan air untuk berwudhu, namun masih ada keyakinan dan harapan untuk mendapatkannya di akhir waktu, para ulama sepakat memfatwakan bahwa shalat lebih baik ditunda pelaksanaannya, bahkan meski sampai di bagian akhir dari waktunya.[1] Mazhab Asy-Syafi'iyah menegaskan lebih utama menunda shalat tetapi dengan tetap berwudhu' menggunakan air, dari pada melakukan shalat di awal waktu, tetapi hanya dengan bertayammum dengan tanah.[2] 2. Menunggu JamaahMeski shalat di awal waktu itu lebih utama, kenyataaanya hal itu tidak bersifat mutlak. Sebab ternyata Rasulullah SAW sendiri tidak selamanya shalat di awal waktu. Ada kalanya beliau menunda shalat hingga beberapa waktu, namun tetap masih di dalam waktunya. Salah satunya adalah shalat Isya' yang kadang beliau mengakhirkannya, bahkan dikomentari sebagai waktu shalat yang lebih utama. وَكَانَ يَسْتَحِبُّ أَنْ يُؤَخِّرَ مِنْ العِشَاءِ وَكَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَهَا Dari Abi Bazrah Al-Aslami berkata,”Dan Rasulullah suka menunda shalat Isya’, tidak suka tidur sebelumnya dan tidak suka mengobrol sesudahnya. (HR. Bukhari Muslim) Bahkan beliau seringkali memperlambat dimulainya shalat bila melihat jamaah belum berkumpul semuanya. Misalnya dalam shalat Isya', beliau seringkali menunda dimulainya shalat manakala dilihatnya para shahabat belum semua tiba di masjid. وَالْعِشَاءَ أَحْيَانًا وَأَحْيَانًا إِذَا رَآهُمْ اِجْتَمَعُوا عَجَّلَ وَإِذَا رَآهُمْ أَبْطَئُوا أَخَّرَ Dan waktu Isya’ kadang-kadang, bila beliau SAW melihat mereka (para shahabat) telah berkumpul, maka dipercepat. Namun bila beliau melihat mereka berlambat-lambat, maka beliau undurkan. (HR. Bukhari Muslim) 3. TabridTerkadang bila siang hari sedang panas-panasnya, Rasulullah SAW menunda pelaksanaan shalat Dzhuhur. Sehingga para ulama pun mengatakan bahwa hukumnya mustahab bila sedikit diundurkan, khususnya bila siang sedang panas-panasnya, dengan tujuan agar meringankan dan bisa menambah khusyu’[3]. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini : إِذَا اشْتَدَّ البَرْدُ بَكَّرَ بِالصَّلاَةِ وَإِذَا اشْتَدَّ الحَرُّ أَبْرَدَ بِالصَّلاَةِ Dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu berkata bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bila dingin sedang menyengat, menyegerakan shalat. Tapi bila panas sedang menyengat, beliau mengundurkan shalat. (HR. Bukhari) 4. Buka PuasaTerkadang Rasulullah SAW juga menunda pelaksaan shalat Maghrib, khususnya bila beliau sedang berbuka puasa. Padahal waktu Maghrib adalah waktu yang sangat pendek. لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ “Senantiasa manusia dalam kebaikan selama ia menyegerakan berbuka.” (HR. Bukhari dan Muslim) 5. Makanan TerhidangShalat juga lebih utama untuk ditunda atau diakhirkan manakala makanan telah terhidang. Beliau SAW juga menganjurkan untuk menunda shalat manakala seseorang sedang menahan buang hajat. Itulah petunjuk langsung dari Rasulullah SAW dalam hadits shahih : لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ Tidak ada shalat ketika makanan telah terhidang (HR. Muslim) Maka mengakhirkan atau menunda pelaksanaan shalat tidak selamanya buruk, ada kalanya justru lebih baik, karena memang ada 'illat yang mendasarinya. Dalam format shalat berjamaah di masjid, wewenang untuk mengakhirkan pelaksanaan shalat berada sepenuhnya di tangan imam masjid. 6. Menahan Buang Airوَلاَ هُوَ يُدَافِعُهُ الأَخْبَثَانِ (tidak ada shalat) ketika menahan kencing atau buang hajat. (HR. Muslim) Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc., MA [1] Ibnu Abdin, Radd Al-Muhtar ala Ad-Dur Al-Mukhtar, jilid 1 hal. 66 [2] Al-Khatib Asy-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj, jilid 1 hal. 89 [3] As-Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, jilid 1 hal. 95 |
1. Aqidah |
2. Al-Quran |
3. Hadits |
4. Ushul Fiqih |
5. Thaharah |
6. Shalat |
7. Zakat |
8. Puasa |
9. Haji |
10. Muamalat |
11. Pernikahan |
12. Mawaris |
13. Kuliner |
14. Qurban Aqiqah |
15. Negara |
16. Kontemporer |
17. Wanita |
18. Dakwah |
19. Jinayat |
20. Umum |