![]() |
USTADZ MENJAWAB1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | CariRingkas | Rinci |
Istri Hamil Dengan Laki-laki Lain, Dicerai Lalu Menikah Dengan Yang Menghamilinya |
PERTANYAAN Paijo merantau ke Malaysia, 1 tahun di Malaysia Paijo pulang ke Bawean, ternyata istrinya (Painem) mengaku bahwa dia telah hamil empat bulan dengan pria lain bernama Atang, spontanitas Paijo langsung mengucapkan kepada Painem “La Etellak bekna ka Eson”. Setelah empat bulan dari ucapan talaknya Paijo, keluarga Painem menuntut Atang untuk segera menikahi Painem. Dan terjadilah pernikahan antara Atang dengan Painem. Pertanyaan :
|
JAWABAN Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Titik pangkal masalah yang Anda tanyakan ini adalah perbuatan zina yang dilakukan oleh seorang istri yang sudah bersuami. Suaminya meninggalkannya merantau ke luar negeri dalam jangka waktu yang lama, sehingga beresiko terjadinya perselingkuhan. Dan malangnya, zina itu berbuah kehamilan yang amat memalukan. Pantas saja suami kecewa dan marah besar, sehingga langsung menjatuhkan talak. Maka otomatis talak jatuh begitu kata cerai diucapkan. Hanya saja yang menjadikan masalah ini tambah runyam, empat bulan setelah itu yang mana sebenarnya belum selesai masa iddah si istri, dia sudah dinikahkan dengan pasangan zinanya. Kalau dihitung-hitung bayinya masih belum lahir. Padahal masa iddah yang harus dilewati oleh seorang wanita yang sedang hamil itu adalah hingga dia melahirkan bayi. Dari sinilah kemudian masalah akan kita mulai, yaitu dari urusan masa iddah si istri yang sedang hamil. 1. Iddah Apa Yang Harus Dilakukan Painem Dari Talaknya Paijo? Di dalam Al-Quran Al-Karim kita mengenal ada empat macam masa iddah, yaitu 3 kali quru', 3 bulan, 4 bulan 10 hari dan hingga melahirkan bayi. a. Tiga Kali Quru' : Wanita Aktif Haidh dan Dicerai Suaminya Jenis masa iddah yang pertama adalah selama tiga kali quru'. Para ulama berbeda pendapat tentang makna quru', sebagian mengatakan tiga kali quru' itu adalah tiga kali masa suci dari haidh. Dan sebagian lagi mengatakan bahwa maksudnya adalah tiga kali mendapat haidh. Masa iddah seperti ini berlaku untuk wanita yang masih aktif haidh. Maksudnya bukan wanita yang sedang haidh, namun maksudnya adalah wanita yang masih rutin mendapat darah haidh. Dasarnya adalah firman Allah SWT : وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' . (QS. Al-Baqarah : 228) Jenis masa iddah yang kedua adalah selama tiga bulan. Masa iddah ini juga berlaku bagi wanita yang diceraikan oleh suaminya, namun kondisinya sudah tidak bisa haidh, entah karena sudah memasuki masa menopouse, atau sebab penyakit atau sebab-sebab lainnya. Pendeknya, wanita yang semacam ini tidak menjalani masa haidh seperti umumnya yaitu tiga kali quru', tetapi cukup dengan tenggat waktu tiga bulan. Dalilnya adalah firman Allah SWT berikut ini : وَاللآئِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللآئِي لَمْ يَحِضْنَ Wanita-wanita yang tidak haid lagi (monopause) di antara wanita-wanita kalian jika kalian ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya), maka ‘iddah mereka adalah tiga bulan. Begitupula wanita-wanita yang tidak haid. (QS. Ath-Talak: 4) Jenis masa iddah yang ketiga adalah selama empat bulan 10 hari. Masa iddah ini berlaku buat wanita yang suaminya wafat. Dasarnya adalah firman Allah SWT berikut ini : وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجاً يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْراً فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan isteri-isteri, maka hendaklah para isteri itu menangguhkan diri nya (ber’iddah) selama empat bulan sepuluh hari.“(QS. Al-Baqarah: 234) d. Sampai Kelahiran Bayi : Wanita Yang Sedang Hamil dan Dicerai Suaminya Atau Suaminya Wafat Jenis masa iddah yang keempat adalah selama masa kehamilan hingga bayi dalam kandungan dilahirkan. Jenis ini berlaku buat wanita yang sedang dalam keadaan hamil dan diceraikan oleh suaminya, atau suaminya meninggal dunia. Dasarnya adalah firman Allah SWT berikut ini : وَأُوْلاتُ الأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ Perempuan-perempuan yang hamil masa iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan (QS. Ath-Talak : 4) Jelas sekali dari keempat jenis masa iddah di atas, kasus yang Anda tanyakan ini lebih sesuai masuk dalam kasus yang keempat, yaitu wanita yang sedang hamil dan dicerai oleh suaminya. Maka masa iddahnya tetap masih berjalan hingga bayi di dalam kandungan dilahirkan. 2. Bagaimana Status Pernikahan di Atas? Dengan hitungan sederhana, berarti saat menikah lagi itu, bayi masih belum lahir. Dan kalau belum lahir, berarti wanita itu masih dalam masa iddah, dimana hukumnya haram untuk menikah di dalam masa iddah. Lain halnya bila bayi itu lahir prematur, misalnya di usia kandungan 7 bulan sudah lahir. Maka begitu bayinya lahir, wanita itu sudah selesai dari masa iddah dan sudah boleh menikah lagi. Jadi status pernikahannya tergantung dari kapan pernikahan itu dilaksanakan. Kalau dilaksanakan pada saat bayi masih di dalam kandungan, maka pernikahan itu tidak sah. Sebaliknya, kalau pernikahan itu dilakukan setelah bayi lahir, maka pernikahan itu sah. Adapun dalil haramnya wanita yang masih menjalani masa iddah untuk menikah, di antaranya firman Allah SWT : وَلاَ تَعْزِمُواْ عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىَ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. (QS. Al-Baqarah : 235) Sekilas ayat ini memang tidak menyebutkan haramnya pernikahan itu, tetapi hanya menyebutkan bahwa laki-laki diharamkan untuk berazam atau bertekad untuk menikahi wanita yang masih dalam masa iddah. Namun tentu mafhumnya jelas, yaitu kalau sekedar bertekad untuk menikahinya saja sudah haram, apalagi kalau sampai benar-benar menikahinya, tentu hukumnya lebih haram lagi. 3. Apa Konsekwensinya Bila Tidak Sah? Ada beberapa konsekuensi dari kasus di atas, yaitu fasakh atau diharamkan selamanya. a. Fasakh Konsekuensi dari sebuah pernikahan yang tidak sah adaalh membatalkan ikatan pernikahan, alias fasakh. Sebab dalam kaca mata hukum syariah, mereka 100% bukan pasangan suami istri. Mereka harus dipisah dengan fasakh, sebab akad nikah mereka tidak sah secara hukum. Pernikahan mereka dianggap tidak pernah terjadi, karena sejak awal sudah tidak terpenuhi syarat-syaratnya. Maka haram hukumnya bila mereka bersikap sebagaimana layaknya suami istri. Tidak boleh tinggal serumah, dan tentunya juga haram untuk melakukan persetubuhan. Kalau pun mereka mau tetap menikah, maka masa iddah dari suami sebelumnya harus dijalani dulu, yaitu hingga bayi lahir ke muka bumi. Setelah itu, mereka berdua boleh menikah secara sah, karena halangan atau mawani' nikah sudah tidak ada lagi. b. Dicambuk Dalam kitab Al-Fawakih Ad-Dawani karya An-Nafarawi (w. 1126 H) pada jilid 2 halaman 34, muallifnya menukil dari kitab Al-Muwaththa' menyebutkan bahwa Umar bin Al-Khattab pernah mencambuk pasangan yang menikah ketika masih dalam masa iddah. وَفِي الْمُوَطَّإِ أَيْضًا : أَنَّ صُلَيْحَةَ الأَسَدِيَّةَ كَانَتْ زَوْجَةَ رَشِيدٍ الثَّقَفِيِّ وَطَلَّقَهَا فَنَكَحَتْ فِي عِدَّتِهَا فَضَرَبَهَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَضَرَبَ زَوْجَهَا بِالْمِخْفَقَةِ ضَرَبَاتٍ وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا c. Boleh Menikah Atau Haram Selamanya? Masih dalam sikap dan pendapat Umar, beliau berpandangan bila belum terjadi dukhul, pasangan itu masih boleh menikah, asalkan selesaikan dulu masa iddah dengan suami pertama. Tetapi kalau sudah terlanjur dukhul, justru pasangan itu malah haram menikah selamanya, sementara yang perempuan wajib menjalani dua kali masa iddah. ثُمَّ قَالَ : أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ فِي عِدَّتِهَا فَإِنْ كَانَ زَوْجُهَا الَّذِي تَزَوَّجَهَا لَمْ يَدْخُلْ بِهَا فُرِّقَ بَيْنَهُمَا ثُمَّ اعْتَدَّتْ عِدَّتَهَا مِنْ زَوْجِهَا الأَوَّلِ وَكَانَ الآخَرُ خَاطِبًا مِنْ الْخُطَّابِ Bila belum terjadi dukhul, keduanya dipisahkan dulu untuk perempuan itu menyelesaikan dulu masa iddah dari suami pertama. Begitu selesai iddah, barulah suami kedua itu boleh melamarnya. Namun bila sudah terlanjur terjadi dukhul, maka keduanya justru harus dipisah selamanya. Dan perempuan itu harus menjalani dua kali masa iddah. Iddah yang pertama adalah iddah dari suami pertama, lalu iddah yang kedua dari suami yang kedua. وَإِنْ كَانَ دَخَلَ بِهَا فُرِّقَ بَيْنَهُمَا ثُمَّ اعْتَدَّتْ بَقِيَّةَ عِدَّتِهَا مِنْ الأَوَّلِ ثُمَّ اعْتَدَّتْ مِنْ الآخَرِ ثُمَّ لا يَجْتَمِعَانِ أَبَدًا
Namun bila suami kedua itu sempat dukhul dengannya, keduanya dipisahkan, lantas perempuan itu menjalani masa iddah dari suami pertama, dilanjutkan dengan masa iddah dari suami kedua. Setelah itu keduanya tidak boleh menikah selamanya". 4. Adakah dari Imam Madzhab Yang Memperbolehkan Menikahi Wanita Yang Sedang Melakukan Iddah? Namun khusus dalam masalah haramnya wanita yang sedang menjalani masa iddah untuk menikah, nampaknya seluruh ulama mazhab yang empat sepakat mengharamkannya. Sebab memang tidak ditemukan dalil satu pun yang membolehkannya. |
1. Aqidah |
2. Al-Quran |
3. Hadits |
4. Ushul Fiqih |
5. Thaharah |
6. Shalat |
7. Zakat |
8. Puasa |
9. Haji |
10. Muamalat |
11. Pernikahan |
12. Mawaris |
13. Kuliner |
14. Qurban Aqiqah |
15. Negara |
16. Kontemporer |
17. Wanita |
18. Dakwah |
19. Jinayat |
20. Umum |