USTADZ MENJAWAB

1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | Cari

Ringkas | Rinci
Sudah Melepaskan Hak Waris Ternyata Masih Minta Lagi

Sudah Melepaskan Hak Waris Ternyata Masih Minta Lagi

PERTANYAAN
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Pak Ustadz yth.,

Saya menyukai keterangan-keterangan dalam situs ini. Semoga bermanfaat bagi saya, orang lain dan juga anda sendiri.

Begini, suatu ketika seseorang wafat dan meninggalkan harta kepada 4 ahli waris, yakni 3 anak (2 putra dan 1 putri) serta seorang ibu kandung si mayit. Sebut saja si A,B dan C bagi anak dan D bagi ibu kandung. Hitungannya sebenarnya sederhana dan cukup jelas menurut hukum islam.

Saat ketiga anak, A, B dan C ingin membagikan bagian yang menjadi hak si D (ibu kandung si mayit) yaitu 1/6 harta, maka D telah menolak dan mengikhlaskan bagiannya yang 1/6 untuk dibagi rata pada A, B dan C (masing-masing mendapat 1/3 dari 1/6).

Pertanyaannya : Apakah hal seperti itu boleh ?

Lalu, setahun kemudian ditanyakan lagi oleh A, B dan C melalui perwakilan mereka yaitu B, kepada D bahwa apakah D tidak ingin mengambil bagian yang 1/6 dan benar-benar telah mengikhlaskannya, mengingat jumlahnya yang cukup besar. Sekali lagi D menjawab bahwa beliau telah rela dan mengikhlaskannya karena usianya telah di penghujung jalan (beliau telah berusia lebih dari 80 tahun).

Namun, setahun lagi berikutnya, D meralat kembali keputusannya terdahulu dan bersikukuh meminta bagian 1/6 yang telah menjadi hak beliau.

Tentu saja hal ini membuat A, B dan C kalang kabut sebab harta warisan tersebut ada yang berbuah bentuk menjadi rumah, sawah, infaq, sedekah, atau pun telah habis sebagian untuk kebutuhan sehari-hari.

pertanyaaanya : bagaimana hukum meminta kembali bagian hak waris, sementara dahulu pernah mengikhlaskannya. Ahli waris A, B dan C bernar-benar bingung karena khawatir terhadap azab Allah SWT akibat pembagian waris yang tidak sesuai dengan syariat islam.

demikian, mohon pencerahannya, mohon maaf apabila pertanyaan ini dirasa bertele-tele dan membingungkan.

Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

JAWABAN
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Masalah ini sederhana saja jawabannya, yaitu orang yang sudah melepaskan hak kepemilikannya tentu tidak berhak lagi untuk meminta kembali. Baik melepaskan dengan sukarela tanpa imbalan (hibah, hadiah dan lainnya), ataupun dengan imbalan (jual-beli).

Dalam hal ini, apa yang terlanjur dilakukan oleh ibunda almarhum yaitu melepaskan hak kepemilikannya sudah sah. Artinya, sejak beliau mengikrarkan telah melepaskan haknya, maka terhitung sejak itu beliau sudah tidak berhak lagi.

Maka tidak ada kamusnya tiba-tiba suatu hari berubah pikiran, lantas meminta kembali haknya. Mungkin kalau berubah pikirannya ketika masih dalam majelis serah terima, masih ada kesempatan ralat. Tetapi kalau sudah dilakukan, apalagi ada saksi dan juga ada catatan dokumen yang kuat, maka 100% sudah tidak lagi berhak.

Masalah Klasik


Tetapi biasanya dalam hal-hal seperti ini, kita selalu terjebak masalah klasik, yaitu tidak adanya saksi dan bukti atas apa yang telah dilakukan.

Padahal sesungughnya syariat Islam mewajibkan bahwa setiap akad harus ada saksi dan penulisan dokumen hitam di atas putih. Dan hal ini berlaku buat semua akad muamalah, dan tidak sebatas hanya akad nikah saja yang butuh saksi dan dokumen.

Dan ketentuan harus ada saksi dan pencatatan dokumen pada akad ini juga mencakup akad atas penerimaan suatu harta, serta akad untuk pelepasannya. Menerima harta harus ada saksi dan dokumennya, sebaliknya melepaskan hak atas harta pun demikian juga.

Sayangnya, seringkali ketentuan syariah ini digampangkan begitu saja oleh kebanyakan kita. Padahal akadnya terjadi nilai yang amat besar. Dan meski pun akad lewat lisan sudah sah secara hukum di sisi Allah, tetap saja masih punya banyak kelemahan, ketika tidak ada saksi dan dokumen.

Maka meski kita menganggap sah nikah sirri tanpa kehadiran petugas resmi KUA, tetapi pernikahan ini masih mengandung madharat di kemudian hari. Sehingga pencatatan oleh pihak KUA tetap wajib dilakukan, sebagai saddan li adz-dzari'ah.

Walaupun penolakan dari ibu almarhum secara lisan sudah sah, seharusnya dilengkapi juga dengan ikrar di depan saksi dan dicatat dalam dokmen resmi. Notaris juga perlu dihadirkan, untuk mencatat pernyataan penolakan dari pihak ibu almarhum atas haknya dari harta waris sang putera.

Walau pun kasus seperti ini jarang terjadi, tetapi secara hukum tetap harus dijalankan. Sebab di masa sekarang ini, bisa-bisa saja orang yang awalnya sudah ikhlas tidak mau terima, tiba-tiba berubah pikiran dan dikipas-kipas oleh pihak-pihak yang tidak bertaggung-jawab,

Dalam keadaan seperti itu, bila akad ikrar penolakan tidak mau terima harta waris dari puteranya sendiri tidak ada saksinya, apalagi tidak ada dokumennya, maka bisa saja nanti terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Bisa saja suatu hari muncul sengketa, memang cuma bikin runyam saja. Bahkan kadang bikin rusak hubungan keluarga. Dan kalau sudah begini, barulah mulai bertanya tentang kaitan hukum Islamnya.

Maka kalau sudah jadi sengketa, apa boleh buat, ujung-ujungnya harus diselesaikan di pengadilan, dan main kuat-kuatan saksi dan bukti.

Adakah jalan lain?

Ada tentunya, yaitu damai. Intinya, bagimana caranya agar semua pihak bisa damai. Caranya silakan dipikirkan sendiri.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA