USTADZ MENJAWAB

1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | Cari

Ringkas | Rinci
Bingung Halal Haram Asuransi Syariah

Bingung Halal Haram Asuransi Syariah

PERTANYAAN
Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Ustadz, baru-baru ini saya ditawari untuk menjadi agen asuransi syariah. Sebelum-sebelumnya, saya agak cuek terkait masalah asuransi, biarpun ada label syariahnya, karena masih ragu dengan kehalalannya.

Tapi kali ini saya ditawari oleh seorang ustadz yang saya pandang sangat mengetahui tentang syariah, karena lulusan dari LIPIA juga. Kalau menurut ustadz, bagaimana sebenarnya terkait asuransi syariah ini? Apakah memang 100% halal dan aman?

Karena jujur, saya masih ragu walaupun sudah ada fatwa dari DSN MUI terkait kehalalannya. Mohon Penjelasannya.

Semoga ustaz-ustadz di Rumah Fiqih Indonesia senantiasa diberikan kesehatan dan dalam petunjuk Allah SWT.

Terima kasih.

~ Muhammad, di Kaltim~.
JAWABAN
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sebenarnya saya agak bingung dengan tujuan pertanyaan ini. Maksudnya mau menanyakan apa kira-kira. Sebab kalau mau tahu hukum asuransi yang dimaksud, ternyata Dewan Syariah Nasional (DSN) sudah berfatwa menghalalkannya.

Tapi kalau mau mempersoalkan apakah fatwa itu sudah benar atau keliru, tentu kurang tepat kalau ditanyakan ke Rumah Fiqih Indonesia (RFI). Sebab posisi RFI bukan sebagai tandingan atau pembanding dari DSN.

Tetapi kalau pertanyaannya meminta opini lepas tentang hukum asuransi dan perbedaan pandangan para ulama, itu memang sah-sah saja untuk didiskusikan.

Diskusi Syariah

Dalam perbincangan dan diskusi syariah, sesungguhnya fatwa halal atau tidaknya suatu produk keuangan syariah memang bisa saja tidak sama dalam pandangan beberapa pihak. Itu adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri.

Dalam kenyataannya, tidak mentang-mentang suatu pihak berfatwa untuk menghalalkan, otomatis pasti halal 100% menurut pandangan pihak lain. Bisa saja dengan sudut pandang serta argumentasi yang berbeda, produk itu tetap dianggap belum halal.

Maka kita sebagai orang awam memang kadang dibikin terkaget-kaget kalau melihat fenomena perbedaan pandangan ini. Padahal seharusnya kita maklum, bahwa dalam dunia ilmu syariah, yang namanya perbedaan pendapat itu merupakan sesuatu yang lazim dan pasti terjadi.

Maka kalau ada pihak-pihak tertentu, seperti Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, menghalalkan suatu produk, tentu produk itu halal, setidaknya menurut yang menghalalkan.

Namun harus juga dipahami bahwa apa yang telah dihalalkan oleh DSN di atas, namun tetap saja masih ada celah-celah yang terbuka untuk diperdebatkan. Di antara celah-celah itu adalah :

1. Perbedaan Pandangan Karena Khilafiyah

Harus kita ketahui bahwa setiap hukum yang difatwakan di masa sekarang ini, apalagi menyangkut bab-bab muamalat kontemporer, hampir bisa dipastikan selalu ada wilayah khilafiyah.

Sejak awal para ulama sudah berbeda pandangan tentang dua akad yang berbeda dalam satu transaksi, sebagian menghalalkan dan sebagian mengharamkan. Dalam hal ini, mazhab DSN nampaknya cenderung kepada yang menghalalkan. Dan hampir semua produk akad-akad modern versi DSN bertumpu pada kebolehan akad ganda dalam satu transaksi.

Padahal perlu dicatat bahwa di sebelah sana, masih ada para ulama yang mengharamkan dua akad atau lebih dalam satu transaksi. Dan tidak sedikit para fuqaha nasional atau international yang masih berbeda pandangan dengan apa-apa yang dihalalkan oleh DSN.

Bahkan di dalam tubuh DSN sendiri sebelum keputusan final dibuat, masih sangat terbuka kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat di antara sesama anggotanya. Apa yang diputuskan oleh DSN itu tidak ujug-ujug merupakan keputusan bulat yang dibuat dalam tempo lima menit. Sebelum sampai kesana, ada perdebatan alot dan panjang, dimana kalau diperiksa satu per satu, masih banyak tokoh-tokoh di dalamnya yang agak keberatan.

Tetapi karena harus ada satu wajah dalam fatwa, akhirnya palu diketuk, meski masih menyisakan perbedaan pendapat internal yang ekstrim. Cuma kita sebagai orang awam dan orang luar, tentu tidak dikasih bocoran khilafiyah internal DSN.

Maka kalau ada pendapat yang masih mengharamkan, kita bisa mafhum dan maklum. Itu adalah hal yang biasa dan lazim, tidak perlu terkaget-kaget dengan perbedaan istimbath hukum.

Kurang lebih duduk perkaranya mirip dengan status zakat-zakat kontemporer hasil karangan ulama masa kini. Dahulu para fuqaha tidak pernah bicara tentang zakat profesi, zakat perusahaan, zakat transaksi jual-beli dan sejenisnya. Saat ini, zakat-zakat itu tiba-tiba seperti kewajiban yang turun dari langit sebagaimana turunnya wahyu. Padahal cuma produk ijtihad segelintir orang, dimana belum tentu seluruh pihak setuju dengan keberadaannya.

Jadi meski sudah difatwakan oleh lembaga sekelas DSN, atau tokoh ustadz selevel 'ELCE' jebolan fakultas syariah LIPIA, tetap saja pintu khilafiyah masih terbuka lebar. Ijtihad mujtaihd profesional selevel Al-Imam Asy-Syafi'i saja masih meninggalkan perbedaan, apalagi cuma Lc LIPIA.

Padahal Al-Imam Asy-Syafi'i itu berstatus mujatahid mutlaq mustaqil, di atas beliau sudah tidak ada lagi hirarki mujtahid yang lebih tinggi. Karena beliau memang sudah yang paling tinggi. Walau pun begitu, beliau tidak memaksakan pendapatnya dan masih juga membuka lebar-lebar kepada setiap orang untuk menyelisihinya.

2. Ketidak-sesuaian Teori dengan Praktek

Di sisi lain, kasus yang terjadi bukan karena faktor perbedaan pendapat fiqhiyah, melainkan terjadinya 'penyimpangan' antara fatwa DSN dengan praktek langung di lapangan.

Misalnya, DSN memfatwakan halal dengan syarat kalau begini dan begini. Ternyata di lapangan yang dipakai cuma fatwa halalnya, sedangkan syarat-syaratnya tidak dipenuhi. Maka jadilah kasus pemelintiran fatwa yang fatal.

Dan sayangnya, belum ada perangkat pengawasan praktek syariah yang bersifat profesional dan independen, serta mengetahui dengan detail bentuk-bentuk pelanggaran dalam prakteknya.

Meskipun setiap bentuk produk disyaratkan harus ada Dewan Pengawas Syariah (DPS), sayangnya masih belum optimal dalam pelaksanaannya. Sebab seringkali sisi profeionalitas dan independensi pihak DPS sendiri masih juga dipertanyakan.

Maka jangan kaget kalau banyak masyarakat yang tetap saja masih ragu dengan kehalalan berbagai produk keuangan syariah.

3. Lulusan LIPIA Bukan Mujtahid

Lulusan LIPIA itu ada banyak jenisnya, ada yang cuma lulus program i'dad lughawi, ada juga yang takmili dan ada yang lulus fakultas syariah. Lulusan fakultas syariah itu sendiri tidak secara otomatis menjadi sosok yang paling mengerti syariah. Sebab tidak sedikit dari alumni syariah yang bekerja justru jauh di luar wilayah keilmuan yang pernah dipelajarinya.

Sepanjang yang saya perhatikan, justru sangat sedikit lulusan syariah LIPIA yang secara tekun mendalami dunia syariah. Walau pun tetap bergelar lulusan LIPIA, tetapi belum tentu menjalani kehidupan sebagaimana layaknya seorang mujtahid.

Walaupun lulusan syariah LIPIA sedikit banyak tahu masalah hukum-hukum fiqih, karena memang belajar fiqih selama minimal 4 tahun, tetapi jelas kedudukannya bukan mujtahid.

Kami rata-rata yang ada di Rumah Fiqih Indonesia adalah para alumni lulusan LIPIA. Bahkan sebagiannya sudah menyelesaikan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tetapi kami semua ini sama sekali tidak ada potongan sebagai mujtahid, sebab sejak awal sudah tidak lulus syarat paling dasar, yaitu hafal 500 ribu hadits, sebagaimana yang disyaratkan oleh Al-Imam Ahmad.

Kalau bukan mujtahid, lalu apa statusnya?

Statusnya cuma muqallid alias tukang taklid saja. Kalau mau sedikit diperhalus, istilahnya muttabi'. Tetapi tetap saja muttabi' itu bukan mujtahid. Muttabi' itu tetap masih di wilayah kalangan tukang taklid.

Dan sebagai orang yang bisanya cuma taklid, fatwanya jelas-jelas tidak bisa dipegang. Begitu juga fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh mereka yang melabelkan dirinya sebagai ulama, padahal tidak hafal 500 ribu hadits. Jelas sekali status ulama dicatut begitu saja tanpa memenuhi kriteria yang sesungguhnya.

Maka tugas kami sebagai orang yang berkesempatan belajar sedikit ilmu syariah, sebatas meriwayatkan apa-apa yang pernah diijtihadkan oleh para mujtahid yang asli. Kami tidak memproduksi fatwa sendiri, karena kami bukan mujtahid.

Tugas kami adalah belajar apa-apa yang telah difatwakan oleh banyak ulama, dimana seringkali kami menemukan begitu banyak hasil fatwa yang satu dengan yang lain saling berbeda.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA