JAWABAN
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Apa yang Anda tanyakan memang termasuk konflik internal keluarga ahli waris yang paling sering terjadi. Ketika masih hidup, orang tua menghibahkan harta tertentu kepada salah satu ahli waris. Lalu ketika wafat, dalam pembagian waris ditetapkan bahwa harta yang telah dihibahkan sebelumnya kepada salah satu ahli waris itu dianggap sebagai harta waris. Maka ahli waris itu tidak lagi menerima pembagian waris.
Padahal kalau kita telusuri kitab-kitab fiqih, khususnya dalam bab hibah, hukumnya justru tidak demikian. Harta yang dihibahkan itu tidak boleh dianggap sebagai harta waris. Sebab harta yang dihibahkan itu sejak awal bukan harta waris dan tidak bisa diubah akadnya begitu saja menjadi harta warisan.
Maka bila dalam masa hidupnya orang tua pernah menghibahkan hartanya kepada seseorang, otomatis harta itu sudah jadi milik orang yang menerimanya. Dan penerima bisa saja masih termasuk calon ahli warisnya, tetapi bisa juga orang lain yang bukan termasuk calon ahli waris.
Pendeknya, hibah itu adalah pelepasan hak milik dari pemberi hibah kepada penerimanya. Dan bila pemilik suatu ketika wafat, apa-apa yang pernah dihibahkan sudah tidak bisa lagi dibagi waris. Karena harta itu sudah bukan lagi miliknya, tetapi sudah jadi milik orang lain.
Begitulah ketentuan dalam syariat Islam terkait dengan masalah hibah dan waris.
Sayangnya di negeri kita umat Islam tidak hanya merujuk kepada Al-Quran dan Sunnah dalam masalah ini. Tetapi juga merujuk kepada hukum-hukum buatan manusia, baik hukum yang datang dari tradisi nenek moyang atau pun hukum yang datang dari hukum kolonial penjajah Belanda. Sehingga apa yang sudah Allah tetapkan dalam urusan hibah dan waris ini kemudian diselewengkan jauh melenceng.
Maka ketika orang tua pernah menghibahkan harta kepada salah seorang anaknya, bila dia wafat dan terjadi pembagian waris, harta yang dulunya berstatus hibah itu kemudian dianggap sebagai harta waris. Maka anaknya itu pun kehilangan haknya dalam pembagian waris.
Sayangnya, tradisi jahilyah ini yang bertentangan dengan syariat Islam ini dianggap sebagai kelaziman yang boleh dimaklumi. Bahkan tidak sedikit tokoh agama yang tahu hukum syariah, entah bagaimana kemudian pura-pura tidak tahu kekeliruan serius ini. Sehingga malah membolehkan praktek penentangan syariat Islam ini terjadi di depan matanya.
Lebhi parah lagi, apa-apa yang sudah melenceng ini kemudian dijadikan hukum tertulis di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sehingga banyak orang jadi tersesat dan menganggap memang begitulah syariat Islam mengatur urusan hibah dan wasiat.
Padahal ketentuan ini murni hasil copy paste dari hukum-hukum di luar syariat Islam. Coba perhatikan Pasal 211 KHI yang berbunyi :
Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan.
Letak Kekeliruan
Cara pembagian hibah waris di atas itu menyalahi beberapa ketentuan dalam syariat Islam. Kalau kita ringkas, di antara titik kekelirusannya adalah :
1. Tidak Boleh Mengubah Akad
Apa-apa yang telah diakadkan oleh orang tua atas hibah hartanya, tidak boleh tiba-tiba diubah begitu saja oleh anak-anak dan ahli warisnya. Kalau niat orang tua memang ingin menghibahkan harta, lalu akadnya pun hibah, maka haram bagi siapa pun untuk mengubah akad hibah itu menjadi akad yang lain.
Akad hibah tidak boleh diubah menjadi akad pinjam sementara, dan juga tidak bisa diubah menjadi akad waris. Maka kalau sampai hibah dari orang tua 'dapat diperhitungkan' sebagai warisan, sama saja kita menganggap uang untuk membayar wanita pelacur sebagai sedekah kepada fakir miskin, sehingga dosa zina jadi agak ringan.
Tentu cara berpikir seperti ini keliru besar.
2. Perbedaan Nilai Hak Waris dengan Hibah
Kalau apa yang pernah dihibahkan orang tua dapat diperhitungkan sebagai warisan, maka juga akan menimbulkan kerancuan dalam nilainya. Bisa saja apa yang dihibahkan itu lebih besar dari haknya dalam warisan, atau sebaliknya malah lebih kecil.
Pengecualian
Meski demikian, sebenarnya bisa saja apa-apa yang dulu sudah dihibahkan kepada anak, memang bisa dianggap dan diperhitungkan sebagai warisan, dengan beberapa persyaratan.
1. Dipastikan Akadnya Bukan Hibah Tetapi Pinjaman
Harus ada kepastian bahwa ketika orang tua menghibahkan rumah kepada anaknya sejak masih hidup, akadnya ditetapkan bukan hibah atas 'ain dari rumah itu, melainkan hibah atas manfaat rumah selama masa waktu tertentu.
Jadi rumah itu tidak langsung pindah kepemilikan kepada anak, melainkan sekedar rumah yang dipinjamkan orang tua kepada anaknya, hingga orang tua itu wafat. Begitu orang tua wafat, maka rumah itu tetap masih milik almarhum yang kemudian akan dibagi waris.
Mungkin boleh jadi maksud orang tua memang bukan memberi rumah itu secara putus. Bisa saja niatnya sekedar memberikan tempat tumpangan hidup kepada anaknya, dari pada ngontrak rumah malah, mendingan menempati rumah orang tuanya sendiri. Lalu hal itu dianggap sebagai hibah padahal bukan.
Maka yang perlu ditegaskan dalam hal ini adalah kepastian status pemberian rumah, apakah maksudnya hibah 100% sebagaimana pengertiannya dalam syariat Islam, ataukah maksudnya bukan hibah tetapi cuma sekedar pinjaman sementara.
2. Nilai Rumah Harus Setara Dengan Hak Waris
Ketika terjadi pembagian waris, rumah yang manfaatnya pernah dihibahkan itu perlu dinilai atau ditaksir nilainya dan dibandingkan dengan hak-hak waris penghuni rumah selama ini. Apabila nilainya setara, bisa saja rumah itu kemudian dijadikan harta waris.
Tetapi kalau nilainya tidak setara, maka harus ditambahi atau dikurangi. Misalnya, nilai rumah itu 100 juta. Sementara hak warisnya cuma 50 juta, maka dia harus membayar 50 juta atas kelebihan nilai rumah itu kepada para ahli waris yang lain, kalau masih mau menempati rumah itu.
Dan sebaliknya, bila nilai rumah itu 100 juta sementara haknya dalam warisan 150 juta, maka saudara-saudaranya harus memberikan kekurangan nilai hak warisnya. Di luar rumah itu, dia tetap berhak menerima sisa kekurangannya.
Demikan semoga bermanfaat.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA |