USTADZ MENJAWAB

1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | Cari

Ringkas | Rinci
Benarkah Jumatan di Kantor Tidak Sah Karena Bukan Penduduk Setempat?

Benarkah Jumatan di Kantor Tidak Sah Karena Bukan Penduduk Setempat?

PERTANYAAN
Salah satu bahasan tentang sholat jumat dalam Kitab Fathul Muin, disebutkan orang yang wajib sholat jumat adalah laki-laki, merdeka, mustauthin (penduduk setempat) dan diwajibkan juga bagi orang mukim.

Namun demikian, orang mukim yang tidak mutauthin tidak dapat mengesahkan pelaksanaan sholat Jumat (tidak masuk dalam hitungan jumlah minimal jamaah sholat jumat). Yang ingin saya tanyakan kepada ustad :

1. Apa dan bagaimana batasan mutauthin?

2. Bagaimana batasan negeri (baladul jumat), apakah desa, kecamatan, atau kabupaten?

3. Kalau ada karyawan kerja diluar kota (jarak tempat kerjanya + 20 km),bagaimana status dia ditempat kerjanya, apakah sebagai Mutauthin atau Ghoiru mutauthin?

4. Bagaimana status sholat jumat yang diadakan di kantor-kantor, yang nota bene tidak diikuti oleh penduduk setempat?

Terima kasih atas penjelasan ustad.
JAWABAN
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Pertanyaan Anda ini memang menarik sekali untuk dibahas, yaitu terkait dengan syarat sahnya sebuah pelaksanaan shalat Jumat. Memang banyak ulama khususnya di dalam mazhab Asy-Syafi'iyah yang mensyaratkan bahwa selain harus dihadiri oleh 40 orang mukallaf, ke-40 orang itu harus berstatus mustauthin. Di dalam kitab Fathul Mu'in, ditulis bukan mustauthin melainkan mutauthin.

Walaupun shalat Jumat dihadiri 40 orang lebih, namun kalau dari 40 orang itu ada yang statusnya bukan mustauthin, maka shalat Jumat itu dianggap tidak sah.

Memang yang jadi masalah adalah pengertian mustauthin itu sendiri. Sebab di dalam banyak mengajian, khususnya pengajian kitab kuning, para kiyai sering menterjemahkan kata mustauthin ini dengan terjemahan yang kurang akurat, yaitu penduduk lokal atau penduduk setempat.

Dengan penerjemahan sebagai penduduk lokal, tentu saja shalat Jumat yang diselenggarakan itu menjadi tidak sah, meski jumlah yang hadir itu sudah mencapai 40 orang. Kenapa?

Karena biasanya masjid-masjid di perkantoran itu lebih banyak diikuti oleh pegawai kantor tersebut, yang nota bene rmahnya tidak di sekitaran kantor alias bukan penduduk setempat. Ada yang jaraknya 5-10 km, ada yang 10-20 km, ada juga yang lebih dari 20 km. Sedangkan yang rumahnya di sekitar kantor boleh jadi kurang dari 40 orang.

Dan itulah masalah yang agak mengusik kita terkait dengan penyelenggaraan shalat Jumat di banyak gedung perkantoran di Jakarta ini. Shalat Jumat di masjid-masijd perkantoran umumnya hanya dipenuhi oleh para pegawai yang ternyata rumahnya jauh-jauh. Dan orang yang rumahnya jauh itu dianggap bukan penduduk setempat, atau seperti dalam bahasa kitab fiqih, mereka bukan mustauthin.

Buktinya, kalau hari Jumat jatuh pada hari libur alias tanggal merah, biasanya shalat Jumat diperkantoran itu pun diliburkan, karena tidak ada jamaahnya. Sedangkan penduduk setempat yang tinggal di sekitar perkantoran itu masing-masing shalat Jumat di masjid lingkungannya dan tidak masuk ke masjid-masjid perkantoran.

Yang jadi titik masalah adalah syarat harus mustauthin itu, ketika diterjemahkan menjadi penduduk setempat. Dan menimbulkan kesimpulan bahwa shalat Jumat di masjid perkantoran itu tidak sah.

Benarkah Mustauthin Berarti Yang Rumahnya Dekat Masjid?

Bukti ketidak-akuratan penerjemahan ini adalah kebingungan para santri yang belajar kitab kuning. Kalau mustauthin diterjemahkan menjadi jamaah yang rumahnya dekat masjid atau penduduk setempat, lalu apa batas yang membedakan antara pruamh dekat dan rumah jauh? Mana batas penduduk setempat dengan bukan penduduk setempat? Apakah batasannya desa, kecamatan, atau kabupaten? Berapa jarak minimal seseorang dianggap sebagai penduduk setempat atau bukan penduduk setempat?

Sayangnya di kitab-kitab kuning itu sendiri kita malah tidak mendapatkan informasi apa batasnya. Ini menarik untuk dibahas, kenapa kitab fiqih yang seharusnya menjeaskan sangat detail malah tidak memberikan penjelasan yang cukup?

Kalau kita telaah lebih lanjut, boleh jadi karena pengertian mustauthin bukanlah orang yang rumanya dekat dengan masjid, juga bukan berarti penduduk setempat atau penduduk lokal. Yang terjadi hanyalah kekurang akuratan dalam membuat terjemahan, yang mana seharusnya memang tidak usah diterjemahkan saja. Sebab dalam heman Penulis, istilah mustauthin ini tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia.

Tahqiq Atas Pengertian Mustauthin

Mari kita lakukan tahqiq atas pengertian istilah mustauthin ini terlebih dahulu. Sudah akuratkah cara menerjemahkannya? Dan apa definisi yang cocok atas istilah itu agar tidak menimbulkan kebingungan?

1. Pengertian Bahasa

Secara bahasa, istilah mustauthin berasal dari kata wathan (وطن) yang artinya adalah manzilul iqamah (منزل الإقامة).

Jadi kalau kita bisa tarik kesimpulan, istilah mustauthin ini maksudnya kurang lebih adalah orang yang bukan cuma sekedar tinggal di suatu tempat untuk sementara, melinkan berniat tinggal di tempat itu untuk selamanya. Saya kira semua kita pasti sependapat dengan satu hal ini.

Tetapi ketika istilah mustauthin ini diterjemahkan menjadi 'penduduk setempat', maka akan timbul masalah. Apa batasannya?

Seharusnya istilah mustauthin ini diterjemahkan menjadi 'penduduk tetap', dan bukan diterjemahkan menjadi 'penduduk setempat' seperti yang selama ini diajarkan. Kalau diterjemahkan menjadi 'penduduk tetap', maka masalahnya selesai. Penduduk tetap itu kebalikan dari penduduk tidak tetap, dan penduduk tidak tetap itu ada dua, yaitu musafir dan muqim.

Musafir atau muqim ini punya persamaan dan perbedaan. Namun dalam kalau disandingkan dengan mustauthin, musafir dan muqim lebih punya banyak persamaan.

Musafir adalah orang yang dalam perjalanan sejauh masafatul qashr (jarak dibolehkannya mengqashar shalat). Rumah seorang musafir melebihi jarak qashar, yaitu 4 burud atau 16 farsakh. Dalam hitungan kita zaman sekarang adalah 88,407 km. Kalau dibulatkan menjadi 89 atau 90 km.

Muqim dalam pengertian fiqih tidak lain musafir yang menetap lebih dari 4 hari. Bila seorang musafir memutuskan untuk sementara waktu menetap di suatu tempat, sehingga melebihi batas waktu 4 hari, maka status kemusafirannya hilang dan berganti menjadi muqim. Orang muqim ini secara hukum syariah sudah tidak boleh mengqashar dan menjama' shalatnya. Dan bila bertemu dengan hari Jumat, dia wajib menghadirinya.

Namun eksistensi kehadiran para muqimin pada shalat Jumat ini mirip eksistensi kedudukan para wanita, yaitu keberadaan mereka tidak dihitung sebagai syarat 40 orang. Bedanya wanita tidak wajib mengerjakan shalat Jumat, sedangkan muqimin wajib. Tetapi meski muqimin ini hadir, kehadiran mereka tidak dihitung sebagai 'anggota tetap' yang 40 orang itu.

Ibaratnya ada shalat Jumat dilaksanakan di suatu desa dimana jamaahnya 60 orang. Tetapi jumlah penduduk tetap hanya ada 30 orang, yang 30 orang lagi berstatus muqim, maka shalat itu tidak sah. Karena belum memenuhi 'quorum' 40 orang yang berstatus penduduk tetap.

Tetapi harus diperhatikan bahwa 30 orang berstatus muqim itu pada hakikatnya adalah musafir plus, yaitu orang-orang yang rumahnya berjarak sejauh 90-an km dari desa tersebut, namun berniat singgah agak lama melebihi batas 4 hari. Misalnya mereka adalah para mahasiswa yang sedang mengadakan kuliah kerja nyata (KKN) di desa itu. Lamanya lebih dari 4 hari tetapi maksimal hanya sebulan atau dua bulan. Itu yang dimaksud dengan muqim bukan mustauthin.

Sedangkan kalau ada salah satu mahasiswa yang sedang KKN itu kecantol gadis desa setempat lalu menikahnya dan memutuskan untuk tinggal di desa itu meski hanya untuk sementara waktu, statusnya berubah dari muqim menjadi mustauthin alias penduduk tetap. Walau pun di dalam hatinya ada keinginan bahwa suatu ketika ingin tinggal di kota, tetapi niat saja belum bisa membuatnya berubah status menjadi musafir atau muqim.

Masjid Perkantoran dan Syarat Mustauthin

Masjid perkantoran bila menyelenggarakan shalat Jumat sudah sah dan tidak perlu khawatir. Karena jumlah jamaahnya sudah pasti melebihi 40 orang. Dan tidak perlu meributkan status mereka apakah rumahnya dekat masjid atau jauh dari masjid. Karena jauh atau dekat tidak ada kaitannya dengan status mustauhin itu sendiri.

Karena sudah bisa dipastikan bahwa para pegawai kantor itu 100% berstatus mustauthin, walaupun rumahnya tidak disekitar masjid. Karena pengertian mustauthin itu memang bukan orang yang rumahnya dekat masjid. Tetapi pengertian mustauthin adalah orang yang bukan musafir juga bukan muqim.

Sekali lagi, yang dimaksud dengan mustauthin adalah orang yang menjadi penduduk tetap di Jakarta ini. Apa buktinya? Buktinya dia kerja di Jakarta, ma'isyahnya di Jakarta ini. Anak dan istrinya pun tinggal di Jakarta. Bahkan punya rumah walau pun ngontrak atau nyicil di Jakarta.

Kalau pun di lubuk hatinya ada keinginan nanti kalau sudah pensiun mau pulang ke kampung, sama sekali tidak membuatnya statusnya berubah sebagai muqim. Sebab pengertian muqim itu bukan sekedar orang yang tinggal sementara dan punya niat entah kapan suatu waktu nanti mau pulang kampung. Bukan itu pengertiannya.

Muqim adalah musafir yang menetap lebih dari 4 hari di suatu tempat. Bepergian seminnggu dari luar kota ke Jakarta, masanya tinggalnya lebih dari 4 hari, itu namanya muqim. Tapi kalau di Jakarta bekerja di suatu kantor, anak istrinya juga dibawa serta, punya rumah di Jakarta,meski jarak rumah ke kantor itu 80 km, tetap saja statusnya 100% adalah mustauthin. Dia wajib shalat Jumat di masjid kantor dan kehadirannya terhitung sah sebagai syarat 40 orang.

Maka pegawai kantor yang rumahnya berjarak 20 hingga 80 km masih terbilang mustauthin, karena mereka memang merupakan penduduk tetap di Jakarta ini. Mereka bukan muqim juga bukan musafir. Mereka tidak berstatus muqim yang datang ke Jakarta hanya singkat meski lebih dari 4 hari, karena punya rumah dan anak istri di Jakarta. Dan mereka juga bukan musafir yang lewat di Jakarta kurang dari 4 hari.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., M