USTADZ MENJAWAB

1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | Cari

Ringkas | Rinci
Bolehkah Menunda Shalat Berjamaah Menunggu Jamaah Kumpul Semua?

Bolehkah Menunda Shalat Berjamaah Menunggu Jamaah Kumpul Semua?

PERTANYAAN
Assalamu ’alaikum Wr. Wb.

Ustadz yang dimuliakan Allah.

Kami diamanahi untuk menjadi imam resmi di sebuah masjid perusahaan atau perkantoran. Salah satu tugas kami adalah mengumandangkan adzan, iqamah dan memimpin shalat berjamaah rutin setiap hari.

Yang menjadi kendala saat-saat ini adalah waktu shalat Dzuhur di Jakarta dan sekitarnya datang terlalu awal, yaitu pukul 11.38. Padahal jam istirahat siang karyawan baru dimulai pukul 12.00 pas. Perlu diketahui bahwa masjid ini milik perusahaan yang tentu tujuannya utnuk menjadi fasilitas buat peribadatan mereka.

Kalau shalat Dzhur dimulai tepat waktu sesuai dengan jadwal shalat, sudah bisa dipastikan bahwa yang ikut shalat berjamaah sangat sedikit. Paling 5-10 orang saja yang ikut berjamaah. Barulah nanti setelah masuk jam istirahat, para pegawai mulai berdatangan, sementara shalat berjamaah sudah selesai. Sehingga mereka pun berinisiatif untuk membuat jamaah-jamaah baru yang kurang beraturan.

Yang jadi pertanyaan kami sbb :

1. Bolehkah kami sebagai imam masjid menunda pelaksaan shalat berjamaah hingga sesuai dengan jam istirahat para karwayan, misalnya jam 12. 00.

2. Kalau boleh, mohon dalil terkait dengan kebolehannya dari sunnah Rasulullah SAW.

3. Bagaimana dengan keharusan menjalankan shalat di awal waktu? Bukankah menunda-nunda shalat itu termasuk ’lalai’ dan diancam akan celaka seperti yang disebutkan dalam surat Al-Ma’un?

4. Kalau memang boleh ditunda, siapa yang berwenang dan punya kuasa dalam hal ini?

Demikian pertanyaan kami, semoga ustadz berkenan menjawabnya, Amin ya rabbal a’alamin.

Wassalam

Irfan

JAWABAN
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Menunda pelaksanaan shalat bukan termasuk 'lalai'. Sebab Rasulullah SAW dalam banyak kesempatan malah justru menunda shalat berjamaah. Tentu karena ada alasan yang syar'i dan jelas.

A. Keringanan Menunda Pelaksanaan Shalat Berjamaah

Prinsipnya agama Islam diturunkan sebagai bentuk keringanan, dan bukan sebagai agama yang menghukum manusia. Sehingga Allah SWT memberikan kelonggaran buat manusia untuk mengerjakan shalat, bukan pada waktu yang sempit dan terbatas, namun diberikan keluasan untuk mengerjakan shalat fardhu di dalam rentang waktu yang lebar.

Rasulullah SAW bersabda :

أَوَّلُ الوَقْتِ رِضْوَانُ اللهِ وَوَسَطُهُ رَحْمَةُ اللَّهِ وَآخِرُهُ عَفْوُ اللهِ

Shalat di awal waktu akan mendapat keridhaan dari Allah. Shalat di tengah waktu mendapat rahmat dari Allah. Dan shalat di akhir waktu akan mendapatkan maaf dari Allah. (HR. Ad-Daruquthuni)

Namun bila seseorang dengan lalai dan sengaja menunda-nunda pengerjaan shalat, hingga terlewat waktunya, para ulama sepakat dia telah berdosa.

Terkadang mengakhirkan shalat justru malah lebih dianjurkan, apabila ada alasan yang syar'i dan dibenarkan secara hukum. Antara lain :

1. Mengakhirkan karena Tidak Ada Air

Dalam keadaan kelangkaan air untuk berwudhu, namun masih ada keyakinan dan harapan untuk mendapatkannya di akhir waktu, para ulama sepakat memfatwakan bahwa shalat lebih baik ditunda pelaksanaannya, bahkan meski sampai di bagian akhir dari waktunya.[1]

Mazhab Asy-Syafi'iyah menegaskan lebih utama menunda shalat tetapi dengan tetap berwudhu' menggunakan air, dari pada melakukan shalat di awal waktu, tetapi hanya dengan bertayammum dengan tanah.[2]

2. Mengakhirkan Shalat Isya'

Meski shalat di awal waktu itu lebih utama, kenyataaanya hal itu tidak bersifat mutlak. Sebab ternyata Rasulullah SAW sendiri tidak selamanya shalat di awal waktu. Ada kalanya beliau menunda shalat hingga beberapa waktu, namun tetap masih di dalam waktunya.

Salah satunya adalah shalat Isya' yang kadang beliau mengakhirkannya, bahkan dikomentari sebagai waktu shalat yang lebih utama.

عَنْ أَبِي بَرْزَةَ الأَسْلَمِيِّ  قَالَ: وَكَانَ يَسْتَحِبُّ أَنْ يُؤَخِّرَ مِنْ العِشَاءِ وَكَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَهَا

Dari Abi Bazrah Al-Aslami berkata,”Dan Rasulullah suka menunda shalat Isya’, tidak suka tidur sebelumnya dan tidak suka mengobrol sesudahnya. (HR. Bukhari Muslim)

3. Menunda Shalat Dzhuhur

Terkadang bila siang hari sedang panas-panasnya, Rasulullah SAW menunda pelaksanaan shalat Dzhuhur. Sehingga para ulama pun mengatakan bahwa hukumnya mustahab bila sedikit diundurkan, khususnya bila siang sedang panas-panasnya, dengan tujuan agar meringankan dan bisa menambah khusyu’[3].

Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini :

إِذَا اشْتَدَّ البَرْدُ بَكَّرَ بِالصَّلاَةِ وَإِذَا اشْتَدَّ الحَرُّ أَبْرَدَ بِالصَّلاَةِ

Dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu berkata bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bila dingin sedang menyengat, menyegerakan shalat. Tapi bila panas sedang menyengat, beliau mengundurkan shalat. (HR. Bukhari)

4. Menunda Shalat Maghrib Mendahulukan Berbuka

Terkadang Rasulullah SAW juga menunda pelaksaan shalat Maghrib, khususnya bila beliau sedang berbuka puasa. Padahal waktu Maghrib adalah waktu yang sangat pendek.

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ

“Senantiasa manusia dalam kebaikan selama ia menyegerakan berbuka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

5. Menunda Shalat Agar Jamaah Berkumpul

Bahkan beliau seringkali memperlambat dimulainya shalat bila melihat jamaah belum berkumpul semuanya. Misalnya dalam shalat Isya', beliau seringkali menunda dimulainya shalat manakala dilihatnya para shahabat belum semua tiba di masjid.

عن جَابِرٍ  قال: وَالْعِشَاءَ أَحْيَانًا وَأَحْيَانًا إِذَا رَآهُمْ اِجْتَمَعُوا عَجَّلَ وَإِذَا رَآهُمْ أَبْطَئُوا أَخَّرَ

Dan waktu Isya’ kadang-kadang, bila beliau SAW melihat mereka (para shahabat) telah berkumpul, maka dipercepat. Namun bila beliau melihat mereka berlambat-lambat, maka beliau undurkan. (HR. Bukhari Muslim)

6. Menunda Shalat Bila Makanan Telah Terhidang

Shalat juga lebih utama untuk ditunda atau diakhirkan manakala makanan telah terhidang. Beliau SAW juga menganjurkan untuk menunda shalat manakala seseorang sedang menahan buang hajat.

Itulah petunjuk langsung dari Rasulullah SAW dalam hadits shahih :

لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ وَلاَ هُوَ يُدَافِعُهُ الأَخْبَثَانِ

Tidak ada shalat ketika makanan telah terhidang atau menahan kencing atau buang hajat. (HR. Muslim)

Maka mengakhirkan atau menunda pelaksanaan shalat tidak selamanya buruk, ada kalanya justru lebih baik, karena memang ada 'illat yang mendasarinya.

Dalam format shalat berjamaah di masjid, wewenang untuk mengakhirkan pelaksanaan shalat berada sepenuhnya di tangan imam masjid.

Maka dengan dalil-dalil di atas, kalau imam memandang bahwa jamaah belum bisa berkumpul pada jam 11.38, sebaiknya dia menunda dulu pelaksanaan shalat berjamaah, hingga jam 12.00. Tidak mengapa menunda sekian menit, karena lebih baik semua mendapatkan shalat berjamaah bersama imam rawatib meskipun waktunya agak mundur, dari pada shalat di awal waktu tetapi jamaahnya hanya 5-10 orang.

B. Wewang Imam Rawatib

Jabatan imam masjid khususnya imam tetap adalah jabatan yang cukup tinggi dalam pandangan syariat Islam. Di antara wewenang seorang imam masjid adalah menunda dilaksanakannya shalat berjamaah karena menunggu masbuk, dan juga imam itulah yang berwenang mengizinkan muaddzin untuk melantunkan adzan dan iqamah.

1. Menunggu Masbuk

Seorang imam dianjurkan untuk dapat memberi kesempatan kepada para makmum agar bisa mendapatkan keutamaan shalat berjamaah. Salah satu caranya adalah anjuran bagi imam agar memberi kesempatan makmum yang tertinggal (masbuk) agar mendapatkan rakaat.

Misalnya, bila imam merasakan ada orang yang sedang berupaya untuk mendapatkan satu rakaat bersama imam, maka imam dianjurkan untuk memperlama hingga makmum yang tertinggal itu bisa mendapatkan rakaat itu. Batasnya adalah ruku', dimana imam dibenarkan untuk sedikit lebih memperlama panjang ruku'nya demi agar makmum bisa mengejarnya.

Hal itulah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, dimana beliau agak memperlama rakaat pertama dan tidak segera ruku dan sujud, hingga beliau tidak lagi mendengar langkah-langkah kaki dari makmumnya yang sedang berjalan menuju barisan shalat.

Bahkan beliau seringkali memperlambat dimulainya shalat bila melihat jamaah belum berkumpul semuanya. Misalnya dalam shalat Isya', beliau seringkali menunda dimulainya shalat manakala dilihatnya para shahabat belum semua tiba di masjid.

وَعَنْ أَبِي بَرْزَةَ الأَسْلَمِيِّ  قَالَ: وَكَانَ يَسْتَحِبُّ أَنْ يُؤَخِّرَ مِنْ العِشَاءِ وَكَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَهَا

Dari Abi Bazrah Al-Aslami berkata,”Dan Rasulullah SAW suka menunda shalat Isya’, tidak suka tidur sebelumnya dan tidak suka mengobrol sesudahnya. (HR. Bukhari Muslim)

عن جَابِرٍ  قال: وَالْعِشَاءَ أَحْيَانًا وَأَحْيَانًا إِذَا رَآهُمْ اِجْتَمَعُوا عَجَّلَ وَإِذَا رَآهُمْ أَبْطَئُوا أَخَّرَ وَالصُّبْحَ: كَانَ النَّبِيَّ  يُصَلِّيهَا بِغَلَسٍ

Dan waktu Isya’ kadang-kadang, bila beliau SAW melihat mereka (para shahabat) telah berkumpul, maka dipercepat. Namun bila beliau melihat mereka berlambat-lambat, maka beliau undurkan. (HR. Bukhari Muslim)

Semua ini dalam pandangan mazhab Asy-syafi'iyah dan Al-Hanabilah merupakan anjuran, namun sebaliknya mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanafiyah tidak menganjurkannya.[4]

2. Memberi Izin Adzan dan Iqamah

Adzan dan iqamah adalah tugas muadzdzin, namun kapan dibolehkan bagi muadzdzin untuk menjalankan tugasnya, komandonya berada di tangan imam.

Dalam hal shalat berjamaah di masjid, imam masjid punya wewenang untuk mengundurkan jadwal shalat berjamaah, sehingga sebelum mengumandangkan adzan, seorang muadzdzin meminta izin terlebih dahulu kepada imam. Bila izin diberikan, tugas dijalankan. Sebaliknya, bila izin tidak diberikan, maka muadzdzin harus tunduk kepada ketetapan imam.

Dasar dari wewenang ini adalah tindakan Bilal bin Rabah radhiyallahuanhu ketika menjadi muadzdzin Rasulullah SAW. Beliau selalu meminta izin terlebih dahulu bila akan mengerjakan tugasnya sebagai muadzdzin, baik untuk adzan maupun iqamah. Dan tidak akan melantunkan iqamah manakala beliau belum mendapat izin dari Rasulullah SAW.

Perhatikan bahwa istilah muadzdzin melekat dengan nama Rasulullah SAW, menjadi muadzdzin Rasulullah. Ini menandakan bahwa Bilal selalu berkoordinasi dengan Rasulullah SAW dalam menjalankan tugasnya.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA

[1] Hasyiyatu Ibnu Abidin jilid 1 hal. 66, Kasysyaf Al-Qinaa' jilid 1 hal. 178

[2] Ibnu Qudamah, Mughni Al-Muhtaj, jilid 1 hal. 89

[3] As-Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, jilid 1 hal. 95

[4] Al-Muhadzdzab jilid 1 hal. 102