![]() |
USTADZ MENJAWAB1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | CariRingkas | Rinci |
Kapankah Orang Yang Meninggalkan Shalat Itu Menjadi Kafir? |
PERTANYAAN Assalamu 'alaikum wr. wb. Saya pernah mendengar ada hadits yang menyebutkan bahwa batas antara muslim dan kafir itu apabila tidak mengerjakan shalat. Maksudnya bagaimana ya ustadz? Apakah kalau seorang pernah sekali meninggalkan shalat lantas langsung jadi orang kafir? Ataukah bila tidak shalat terus-terusan? Bagaimana pendapat jumhur ulama dalam masalah ini? Mohon penjelasan dari ustadz dan sebelumnya saya ucapkan terima kasih. Wassalam |
JAWABAN Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Memang benar sekali bahwa ada terdapat beberapa hadits seperti yang Anda tanyakan, yaitu batas antara muslim dengan kafir adalah masalah meninggalkan shalat. Di antara hadits-hadits itu sebagai berikut : العَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَركَهَا فَقَدْ كَفَرَ
Perjanjian antara kami dengan mereka adalah shalat. Siapa yang meninggalkan shalat maka telah kafir. (HR. Tirmizy) بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ Antara seseorang dan kekafiran adalah shalat (HR. Muslim) Dan masih banyak lagi hadits-hadits lain yang senada serta kuat isnadnya. Namun meski demikian, ternyata yang disepakati oleh para ulama bahwa kafirnya ketika mengingkari kewajiban shalat. Kalau masih meyakini kewajibannya meski meninggalkan shalat dengan sengaja, umumnya para ulama tetap tidak mengkafirkan. Hanya beberapa kalangan saja yang berpendapat kafir. Jumhur ulama umumnya sepakat mengatakan berpendapat bahwa batas kafirnya adalah ketika seseorang meninggalkan shalat sambil mengingkari kewajiban shalat lima waktu, dan bukan sekedar meninggalkan shalat karena lalai (تهاونا) atau malas (تكاسلا). Dalam bahasa fiqih disebut dengan jahidu ash-shalah (جاحد الصلاة). Itupun tidak otomatis kafir, tetapi harus dilihat terlebih dahulu, apakah orang itu baru saja masuk Islam, atau dia tumbuh di lingkungan yang sama sekali jahil dari agama, sehingga muncul di dalam pemahamannya bahwa shalat itu bukan sebuah kewajiban. Untuk bisa sampai kepada status kafir, menurut jumhur ulama ada beberapa ketentuannya, yaitu : a. MukallafYang dimaksud dengan mukallaf adalah seseorang secara resmi memeluk agama Islam alias muslim, berakal, sudah baligh dan dalam keadaan dari udzur syar'i seperti haidh & nifas. b. Ingkar Kewajiban Shalat Lima WaktuYang menjadi titik kekafirannya adalah ketika dia mengingkari kewajiban shalat lima waktu di dalam agama Islam. Sebab shalat merupakan pokok agama, bila diingkari maka gugurlah keislaman seseorang. Dalam hal ini bukan hanya shalat, tetapi ingkar kepada salah satu rukun Islam yang lainnya pun ikut menggugurkan keislaman. c. Bukan Orang Yang Baru Masuk IslamNamun para ulama sepakat bahwa bila yang ingkar atas kewajiban shalat itu ternyata orang yang baru saja masuk Islam, maka hal itu dimaklumi. Boleh jadi dia memang belum tahu ajaran Islam secara mendalam, sehingga keingkarannya bukan karena semata-mata menentang melainkan karena ketidak-tahuan. Orang seperti ini oleh para ulama tidak dikatakan sebagai kafir kalau meninggalkan shalat walaupun dalam hatinya mengatakan bahwa shalat tidak wajib. d. Tumbuh di Tengah Masyarakat IslamBisa saja dalama kasus-kasus tertentu seseorang sudah menjadi muslim sejak lahir, namun dia tumbuh di tengah lingkungan keluarga atau masyarakat yang jahil dan tidak mengerti agama sama sekali. Ketika dirinya tidak melakukan shalat, lingkungannya sama sekali tidak peduli. Bahkan boleh jadi sampai menganggap bahwa shalat itu bukan kewajiban. Kondisi ini pun dimaklumi oleh para ulama sebagai udzur yang tidak menjadikannya sebagai orang kafir. Bahkan yang menarik untuk digaris-bawahi, meski ada banyak disebut-sebut bahwa mazhab Al-Hanabilah termasuk yang mengkafirkan orang yang tidak shalat, meski masih meyakini kewajibannya, ternyata tidak sepenuhnya benar. Sebut saja misalnya Ibnu Qudamah yang mengatakan tidak kafir. Ibnu Qudamah Al-Maqdisi (w. 620 H) mewakili mazhab Al-Hanbilah menuliskan di dalam kitabnya Al-Mughni sebagai berikut : أن تارك الصلاة لا يخلو؛ إما أن يكون جاحدا لوجوبها أو غير جاحد فإن كان جاحدا لوجوبها نظر فيه فإن كان جاهلا به وهو ممن يجهل ذلك كالحديث الإسلام والناشئ ببادية عرف وجوبها وعلم ذلك ولم يحكم بكفره؛ لأنه معذور. Orang yang tidak shalat punya dua kemungkinan, yaitu dia mengingkari kewajibannya atau masih meyakini kewajibannya. Kalau dia mengingkari kewajibannya, diselidiki dulu, kalau dia jahil misalnya karena baru masuk Islam, atau dibesarkan di lingkungan terasing, maka diberitahu kewajibannya dan diajarkan tentang shalat, dan tidak dikafirkan karena dia termasuk orang yang punya udzur. وإن لم يكن ممن يجهل ذلك كالناشئ من المسلمين في الأمصار والقرى لم يعذر ولم يقبل منه ادعاء الجهل وحكم بكفره؛ لأن أدلة الوجوب ظاهرة في الكتاب والسنة Namun bila dia bukan orang yang jahil atas kewajiban shalat, misalnya dibesarkan di tengah orang Islam di kota atau desa, maka dia tidak punya alasan dan tidak diterima pengakuan bahwa dirinya tidak tahu kewajiban shalat, maka orang itu dihukumi kafir. Karena dalil-dalil kewajiban sudah nampak nyata di dalam Kitab dan Sunnah. [1] Kalau kita perhatikan apa yang disampaikan Ibnu Qudamah di atas, bahkan yang mengingkari kewajiban shalat pun belum tentu kafir juga. Harus dilihat dulu, apakah dia baru masuk Islam atau tumbuh di lingkungan yang sama sekali tidak ada informasi tentang perintah agama. Kalau memang seperti kasusnya, masih dianggap belum kafir. Apalagi mereka yang masih mengakui kewajiban shalat, tentu saja tidak kafir hanya gara-gara meninggalkan shalat dengan sengaja. Nampaknya Ibnu Qudamah sendiri sependapat dengan umumnya jumhur ulama yang dalam maslah ini. Agak berbeda dengan pendapat jumhur ulama di atas, Al-Utsaimin berpendapat bahwa meski seseorang tidak ingkar atas kewajiban shalat dan masih meyakininya sebagai kewajiban shalat, namun apabila dia selalu meninggalkan shalat sepanjang hidupnya, maka dia sudah bisa dianggap kafir. Al-Utsaimin (w. 1421 H) menuliskan dalam kitab kumpulan fatwanya, Fatwa Arkan Al-Islam sebagai berikut : إذا كان هؤلاء الأهل لايصلون أبداً فإنهم كفارمرتدون خارجون عن الإسلام، ولا يجوز أن يسكن معهم ولكن يجب عليه أن يدعوهم ويلح ويكرر لعل الله أن يهديهم، لأن تارك الصلاة كافر - العياذ بالله- بدليل الكتاب، والسنة، وأقوال الصحابة، والنظر الصحيح Apabila keluarga itu tidak shalat selamanyamaka merkea kafir murtad keluar dari Islam. Tidak boleh tinggal bersama mereka tetapi wajib atasnya untuk mengajak shalat, bahkan memaksa dan memintanya berulang-ulang agar Allah SWT memberi hidayah. Karena orang yang meninggalkan shalat itu kafir - wal'iyadzu billah - dengan dalil Kitab dan Sunnah, serta pendapat para shahabat dan logika yang benar.[2] Dari yang kita baca, nampaknya Syeikh Utsaimin sendiri juga tidak langsung mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat, kalau cuma sekali atau beberapa kali. Yang beliau katakan kafir kalau sepanjang hidupnya orang itu tidak pernah shalat. Sedangkan yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat langsung kafir adalah Syeikh Bin Baz. Menurut belliau walaupun hanya sekali meninggalkannya, tetapi kalau dilakukan dengan sengaja tanpa udzur syar'i, hingga waktunya habis, maka otomatis dia menjadi kafir. Syeikh Bin Baz (w. 1420 H) yang pernah menjadi mufti Kerajaan Saudi Arabia di dalam kitabnya Nur 'ala Ad-Darbi menuliskan sebagai berikut : وهذا يدل على أن تارك الصلاة يسمى كافرا ويسمى مشركا، وهذا هو الحق وهو المعروف عن الصحابة رضي الله عنهم، وهذا يدل على أن ترك الصلاة عند الصحابة رضي الله عنهم يعتبر كفرا أكبر، ويسمى تاركها كافرا مشركا، وهذا هو أصح قولي العلماء إذا لم يجحد وجوبها. أما من جحد وجوبها فإنه كافر عند الجميع Dalil ini menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu disebut kafir dan disebut musyrik. Itulah yang benar dan yang makruf di kalangan shahabat radhiyallahunahum. Dan ini menunjukkan bahwa meninggalkan shalat itu di kalangan shahabat dianggap kafir akbar. Pelakunya adalah kafir dan musyrik. Dan pendapat ini yang lebih shahih di antar dua pendapat ulama yang mensyaratkan iingkar atas kewajibannya. Sedangkan ingkar atas kewajibanya memang kafir menurut semua pihak.[3] Pendapat beliau ini kalau dibandingkan dengan pendapat jumhur ulama memang agak berbeda jauh. Jumhur ulama berada pada posisi bahwa seseorang tidak lantas menjadi kafir kecuali ingkar atas kewajiban shalat. Sedangkan Syeikh BIn Baz memang tegas memvonis kafir. Disitulah letak perbedaannya. Demikian kajian singkat tentang hukum meninggalkan shalat dengan sengaja tanpa udzur dengan ancaman kafir. Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc., MA [1] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 2 hal. 329 [2] Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Fatawa Arkan Al-Islam, hal. 277 [3] Syeikh Bin Baz, Nur 'ala Ad-Darbi, hal. 232 |
1. Aqidah |
2. Al-Quran |
3. Hadits |
4. Ushul Fiqih |
5. Thaharah |
6. Shalat |
7. Zakat |
8. Puasa |
9. Haji |
10. Muamalat |
11. Pernikahan |
12. Mawaris |
13. Kuliner |
14. Qurban Aqiqah |
15. Negara |
16. Kontemporer |
17. Wanita |
18. Dakwah |
19. Jinayat |
20. Umum |