![]() |
USTADZ MENJAWAB1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | CariRingkas | Rinci |
Mengapa Tulisan di Situs Ini Tidak Dilengkapi Tarjih dan Kajian Haditsnya? |
PERTANYAAN Assalamu'alaykum |
JAWABAN
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Dan tentu saja terdapat cukup banyak argumen masuk akal dan teramat kuat, yang akan menjawab mengapa tulisan-tulisan kami tidak mencantumkan pendapat mana yang rajih dan mana yang tidak rajih. Jawabannya sebagai berikut : 1. Bukan Untuk Pemula Perlu diketahui bahwa kebanyakan tulisan disini memang bukan tidak diperuntukkan bagi para pemula. Buat para pemula tentu ada banyak situs fiqih yang lebih praktis dan panduan ibadah yang mudah dicerna dengan menampilkan hanya satu mazhab saja, agar tidak membingungkan. Kalau baru belajar ilmu fiqih, silahkan pilih web untuk para pemula terlebih dahulu.Yang penting jangan lantas menyalahkan pendapat lain, pakai saja untuk diri sendiri, sementara pendapat lain tinggalkan tanpa harus menyalahkan. Sementara kajian di situs ini kebanyakan memang diperuntukkan bagi kalangan mereka yang sudah mengerti ilmu perbandingan mazhab, seperti para masyaikh, kyai, ajengan, tuan guru, ustadz, murabbi dan penceramah, malah lebih di atas mereka. Ibaranya mobil, mobil ini bukan angkot atau mobil biasa, tetapi jenis mobil kelas tertentu. Mobil balap Formula 1 yang keren dan bisa berlari dengan kecepatan 300 km / jam ternyata malah tidak dilengkapi dengan motor stater otomatis. Kalau mau membunyikan mesinnya, perlu didorong oleh beberapa orang. Apakah mobil balap F-1 termasuk mobil jelek? Tentu saja tidak, justru mobil itu mobil super yang hanya dipakai oleh para pembalap profesional. Harganya pun tidak masuk akal. Sebuah unit McLaren F1 pernah dijual dengan harga melebihi 3,4 juta Poundsterling atau setara Rp 53,5 miliar. Jelas mobil ini bukan untuk orang awam. Dan orang awam seperti kita memang agak kesulitan mengemudikannya. 2. Kok Tidak Ada Tarjihnya? Kalau dipertanyakan kenapa banyak tulisan yang tidak mencantumkan pendapat mana yang ditarjih, sebenarnya justru karena isinya merupakan hasil tarjih di tiap madrasah fiqhiyah sepanjang zaman. Di titik ini nanti kita akan bisa dengan membedakan antara orang paham dan orang awam. Orang awam memang butuh tarjih, meskipun sekedar tarjih-tarjihan saja. Sebab kapasitas mereka cuma sebagai end user saja, jadi butuh yang praktis dan bisa langsung dipakai. Kita bisa pahami logika sederhana ini. Namun juga penting untuk dipahami bahwa apa yang sering disebut dengan tarjih itu pada hakikatnya pun bukan tarjih, melainkan opini si penulis saja. Dan karena opini, Kalau ada 10 orang menulis masalah yang sama, insyaallah kita akan mendapatkan 10 pendapat yang berbeda. Dan kualitasnya sekedar kualitas opini penulisnya yang sama sekali bukan mujtahid. Di sisi lain, ketika kami menyebutkan suatu pendapat yang resmi dari suatu mazhab, maka pendapat itu tidak lain adalah hasil tarjih yang bersifat final di dalam mazhab itu. Maka apa yang sudah merupakan hasil tarjih tentu sudah tidak bisa ditarjih lagi. Hasil tarjih kok ditarjih lagi? Berarti bukan tarjih namanya. 3. Meninggalkan Umat Dalam Kegelapan? Kalau dituduhkan bahwa tanpa dilengkapi dengan tarjih dituduh sebagai 'meninggalkan umat dalam kegelapan', maka sama saja kita menuduh bahwa Rasulullah SAW adalah biang kegelapan juga. Kenapa? Sebab kalau kita cermati dan teliti, sebenarnya tidak sedikit dari hadits-hadits shahih Rasulullah SAW itu yang saling bertentangan juga dan tidak ada tarjihnya. Beliau SAW tidak pernah mentarjihnya. Adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama justru karena adanya hadits-hadits yang saling bertentangan. Dan kalau begitu, sama saja kita menuduh beliau SAW sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas kegelapan itu sendiri. Bahkan malah kita telah menuduh Allah SWT sebagai tuhan kegelapan. Sebab ayat-ayat Al-Quran itu sendiri justru banyak yang saling bertentangan satu dengan yang lain. 4. Mentarjih = Talfiq Pada dasarnya tarjih antara pendapat mazhab-mazhab yang dilakukan oleh orang awam yang bukan mujtahid bukan tarjih yang sesungguhnya. Tindakan itu lebih tepat disebut sebagai 'talfiq' atau pencampur-adukan antara berbagai pendapat mazhab tanpa lewat prosedur ijtihad dan meninggalkan konsep dasar ijtihad yang baku. Yang sering disebut tarjih itu pada hakikatnya cuma mencomot sana dan mencomot sini, yang dilakukan seenaknya tanpa nalar yang benar dan meninggalkan hujjah yang sebenarnya. Mentarjih versi orang awam itu sekedar pilah pilih berdasarkan 'like and dislike'. Sungguh merupakan tindakan yang jauh dari keadilan. 5. Kualitas Tarjih Yang Lemah Banyak orang yang mengira dirinya yang sebenarnya awam atas ilmu-ilmu syariah, sebagai orang yang berhak untuk berijtihad. Lalu merasa dirinya sudah berhak menjadi murajjih (ahli tarjih). Padahal dengan kapasitas sebagai orang awam, maka jelas sekali bahwa kualitas tarjih kita ini bisa dengan mudah dipatahkan oleh sesama kita. Tarjih macam apa yang bisa dipatahkan dengan mudah? Seharusnya tarjih itu harus lebih kuat posisinya dari yang ditarjih. Tarjih itu seharusnya bisa membuat semua terdiam dan tidak bisa menjatuhkan. Ibarat ilmu bela diri, tarjih itu tehnik kuncian. Kalau sudah dikunci seharusnya lawan tidak berkutik. Tetapi ketika lawannya bisa dengan mudah melepaskan diri dan balik mengunci, maka jelas sudah bahwa ini cuma mengaku ahli tarjih tetapi sama sekali bukan tarjih. 7. Pelecehan Terhadap Ulama Buat orang awam yang tidak punya ilmu, bila dia merasa berhak melakukan tarjih atas berbagai pendapat para ulama, sama saja dirinya telah melecehkan ilmu para ulama. Orang yang bukan penyanyi tentu amat tidak layak kalau menjadi juri lomba menyanyi. Padahal pesertanya para penyanyi profesional dan ternama. Apa yang dilakukan oleh juri yang awam ini sama saja dengan melecehkan mereka, bukan? Orang yang tidak pernah berpidato di muka umum, tentu amat tidak layak untuk menjadi juri lomba pidato, bukan? Sebab akan jadi sebuah pelecehan buat para peserta, dinilai oleh mereka yang bukan ahli pidato Orang yang pernah lihat pertandingan sepak-bola, dan belum pernah turun menjadi pemain bola, tentu amat tidak layak untuk berprofesi sebagai pelatih bola, bukan? Kalau sampai orang macam ini jadi pelatih bola, para pemainnya pasti keluar dari klub, karena merasa dilecehkan oleh orang yang bukan ahlinya. Demikian pula kelakuan orang-orang jahil dan awam di negeri kita, yang merasa tinggi hati dan sok menjadi ulama, padahal levelnya masih belajar mengeja huruf. Kalau dengan kecongkakannya merasa berhak untuk mengadili fatwa para ulama besar, maka wajar kalau yang sedang dia lakukan tidak lain hanyalah menghina dan melecehkan para ulama. Tentu kita tidak ingin menjadi sosok-sosok yang menghina para ulama kita sendiri. Sebab para ulama adalah ahli waris Nabi, dimana keberadaan mereka berposisi sebagai pemimpin umat. 8. Tidak Ada Kajian Haditsnya Kajian hadits buat orang awam itu ada baiknya, yaitu mengenal metodelogi yang digunakan oleh para ulama dalam melakukan kritik (naqd) atas keshahihan jalur periwayatan hadits. Namun di balik kajian suatu hadits, seringkali pula tersembunyi agenda yang kurang terpuji, yaitu ingin menjatuhkan pendapat para ulama yang tidak disukainya. Lalu dengan cara itu dia ingin agar orang-orang tidak lagi memakai pendapat ulama tersebut. Ini seperti filsafat perang dalam pewayangan, yaitu menusukkan keris ke tubuh lawan dari arah belakang. Di depan berpura-pura ramah dan memuji, tetapi di belakang ada keris karatan yang siap ditancapkan untuk membunuh lawan. Salah satu cara licik yang sering dijadikan modus ketika 'menyerang' pendapat ulama yang dibencinya padahal termasuk ulama muktamad adalah lewat jalur pendhaifan hadits secara sepihak dan subjektif. Cara ini memang khas dilakukan oleh mereka yang ngotot selalu ingin merasa dirinya benar dan ingin memenangkan pertandingan dengan cara yang kurang beradab. Maksudnya bagaimana? Dunia sudah tahu bahwa baik Al-Imam Ahmad bin Hanbal maupun dan Al-Imam Asy-Syafi'i, keduanya adalah para ulama ahli hadits yang nomor satu, dimana kehandalan ilmu hadits mereka sudah tidak ada lagi tandingannya. Ketika ada masalah dimana keduanya berbeda pendapat, lalu ada upaya dari kalangan yang fanatik untuk mejatuhkan satu pendapat dan memenangkan pendapat yang lain. Dia tidak rela kalau ada dua pendapat dalam satu masalah. Maunya dia, pendapat ulama yang dicintainya harus dibela mati-matian, lalu ulama yang dibencinya harus dihabisi dengan cara apapun. Padahal Imam Ahmad bin Hanbal itu murid Al-Imam Asy-Syafi'i, dimana setiap hari beliau mendoakan gurunya meski sudah meninggal dunia. Asy-Syafi'i tidak pernah membenci muridnya tidak pernah menyalah-nyalahkan pendapat muridnya itu. Tidak pernah Asy-syafi'i bilang bahwa hadits-hadits yang dipakai muridnya itu dhaif, sehingga pendapatnya harus dibuang. Dan sebaliknya, Al-Imam Ahmad sebagai murid yang berakhlaq dan beradab, beliau sama sekali tidak pernah memusuhi gurunya. Belum pernah beliau mengkritik gurunya dengan mengatakan bahwa hadits-hadits Al-Imam Asy-Syafi'i itu dhaif. Namun pendapat keduanya memang banyak berbeda, dan ini tidak bisa dipungkiri. Semua orang juga sudah tahu. Tetapi yang penting untuk dicatat, mereka tidak pernah mereka saling menghabisi satu dengan yang lain, apalagi mengkritisi hadits masing-masingnya. Al-Imam Ahmad bin Hanbal dipastikan ketika berpendapat dan berfatwa selalu menggunakan hadits yang diyakininya shahih. Demikian pula Al-Imam Asy-Syafi'i, beliau bergelar Nashiru As-Sunnah (sang pembela sunnah), mustahul dalam berfatwa menggunakan hadits lemah atau palsu. Pastilah beliau hanya menggunakan hadits-hadits yang diyakininya shahih ketika mendasari pendapat. Tapi segelintir pendukung awam dan fanatik seringkali melakukan tindakan tidak terpuji, baik dengan cara sadar atau tidak sadar. Seringkali mereka malah 'menghakimi' secara sepihak hadits-hadits yang digunakan oleh ulama lainnya. Semua hadits dari ulama yang dibencinya lantas dikritisi dan dicari-cari kelemahannya. Kadang dengan cara licik, yaitu dicarikan jalur-jalur yang sekiranya para perawinya bermasalah. Lalu dengan entengnya mereka membuat vonis-vonis mematikan, seperti bahwa pendapat Al-Imam Asy-Syafi'i itu salah, marjuh, keliru, lemah dan tidak sah. Alasannya, karena hadits-haditsnya lemah dan perawinya bermasalah. Jelas sekali letak kekeliruan logika ini. Mana mungkin seorang Nashiru As-Sunnah malah mendasarkan fatwanya dengan hadits lemah. Haditsnya pasti shahih 100%, tidak mungkin dhaif. Kalau sampai ada yang menuduhnya sebagai hadits dhaif, silahkan saja. Sebab shahih dan dhaifnya suatu hadits semata-mata hasil ijtihad. Boleh saja Al-Imam Ahmad berijtihad bahwa suatu hadits itu dhaif, dan pada saat yang sama Asy-Syafi'i berijtihad bahwa hadits itu shahih. Dalam ilmu hadits, kondisi seperti ini sah-sah saja dan tidak ada masalah. Toh shahih tidaknya suatu hadits bukan wahyu yang turun dari langit. Sayangnya, para pendukung mazhab Al-Imam Asy-Syafi'i yang terbatas ilmu haditsnya seringkali dibuat terbengong-bengong dengan mulut ternganga. Mereka tidak pernah menduga bahwa pendapat yang selama ini dipakai ternyata haditsnya lemah. Padahal sebenarnya itu cuma trik licik saja dari pendukung kelompok lain. Seandainya pendukung Al-Imam Asy-Syafi'i sedikit lebih mendalami ilmu hadits, mereka tidak akan dengan mudah menyerah kalah.Secara logika sederhana dengan mudah mereka patahkan tudingan keliru. Sejak awal sudah disebutkan bahwa Al-Imam Asy-Syafi'i itu seorang pakar hadits nomor wahid. Mustahil dia tidak tahu mana hadits shahih dan mana hadits dhaif. Tapi liciknya di masa sekarang, ada kitab hadits yang ditulis oleh ulama mazhab Asy-Syafi'i, misalnya kitab Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-Asqalani. Lucunya kitab itu diterbitkan oleh pihak-pihak yang anti dengan mazhab Asy-syafi'i. Semua hadits yang sekiranya mendukung mazhab justru dikritisi dan didhaif-dhaifkan. Walhasil, selesai membaca kitab itu, orang-orang keluar dari mazhab Asy-syafi'i. Alasannya karena semua haditsnya dhaif dan lemah. Beginilah trik licik yang sering digunakan, dengan bermodalkan ilmu hadits secuil mereka berani-beraninya mendhaif-dhaifkan hadits yang telah dishahihkan oleh pakar hadits sekelas Ibnu Hajar Al-Asqalani. Ditambah lagi dengan kalimat Asy-Syafi'i yang diplintir-plintir,"Bila suatu hadits itu shahih maka itulah mazhabku". Seolah-olah Al-Imam Asy-Syafi'i itu makhluk idiot yang sok bikin mazhab tapi tidak mengerti hadits shahih. Sehingga mau berfatwa saja tidak tahu haditsnya shahih atau tidak. Lalu digantungkan isi fatwanya itu kepada pihak lain, yaitu kepada 'pakar hadits' yang hidupnya 1200 tahun kemudian. Nanti si 'pakar hadits' itulah yang akan menjadi juru dan hakim, apakah Asy-Syafi'i itu benar atau salah. Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc., MA |
1. Aqidah |
2. Al-Quran |
3. Hadits |
4. Ushul Fiqih |
5. Thaharah |
6. Shalat |
7. Zakat |
8. Puasa |
9. Haji |
10. Muamalat |
11. Pernikahan |
12. Mawaris |
13. Kuliner |
14. Qurban Aqiqah |
15. Negara |
16. Kontemporer |
17. Wanita |
18. Dakwah |
19. Jinayat |
20. Umum |