![]() |
USTADZ MENJAWAB1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | CariRingkas | Rinci |
Haruskah Memilih Satu Jama'ah Tertentu? |
PERTANYAAN Assalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakatuh. Ustadz, ana mau bertanya, 1. Apakah kita ini memiliki suatu keharusan untuk memilih dan konsisten terhadap salah satu jama`ah minal muslimin yang ada saat ini, misal: tarbiyah, salafi dan lainnya? Menurut hemat ana, sah-sah saja kita mengikuti beberapa jamaah karena kita bisa mengambil manfaat dan ilmu sebanyak-banyaknya, karena masing-masing jamaah memiliki karakteristik, kelebihan, kekurangan sendiri. Toh pada dasarnya tujuan kitakan berdakwah untuk menyampaikan kebenaran tentang Islam. Kalau boleh cerita sedikit, ana dalam mengambil ilmu banyak berasal dari jamaah salafi dan ana hampir tidak pernah mengkaji keilmuan/buku-buku yang berasal dari tokoh-tokoh harakah (bukan karena tidak suka/membenci). Namun dalam proses gerakan dakwah ana ikut dalam Tarbiyah. Karena pengorganisasian dakwahnya lebih terstruktur dan disana ana dapat menyampaikan ilmu yang saya miliki dari jamaah salafi. Walaupun antara kedua jama`ah itu sering terjadi "serang-menyerang", ana berusaha bersikap netral dan lebih bersikap diam saja walaupun terkadang ana suka marah bila salah satu teman ana (Tarbiyah) menghujat teman ana yang lain (Salafi), begitu pula sebaliknya. Menurut ana masih banyak hal yang lebih urgen dalam berdakwah dari pada sekedar menghujat untuk menunjukkan diri bahwa jama`ahnyalah yang paling benar. Namun demikian banyak yang kurang sependapat dengan ana karena banyak yang mengatakan bahwa ana harus konsisten di tarbiyah atau salafi, dan sejujurnya ana tidak bisa seperti itu. Bagaimana menurut pandangan ustadz? 2. Bagaimana sikap terbaik kita khususnya ana, terhadap ikhwah-ikhwah kita yang saling menghujat antar satu dengan lainnya padahal kitakan sama-sama kaum muslimin? Jazakallah... Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakatuh. |
JAWABAN Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Kalau tujuan utama anda ingin belajar ilmu-ilmu ke-Islaman, sebenarnya pilihannya bukan dengan memilih jamaah yang mana, tetapi mencari guru yang punya kapasitas ilmu-ilmu syariah itu sendiri. Lepas dari pertanyaan dari pihak manakah si guru itu berasal, dari salafikah, atau dari tarbiyah-kah atau dari apapun latar belakangnya. Sebab perintah Allah SWT dan Rasulullah SAW kepada kita untuk bertanya tidak diarahkan kepada salafi atau bukan, melainkan kepada ahli ilmu (ahluz zikr). Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (QS An-Nahl: 43) Siapapun gurunya, apakah dari Salafi atau dari Tarbiyah atau dari mana pun, yang penting dia punya kapasitas keilmuan yang mumpuni, mahir berbahasa Arab dan bicara sesuai dengan kadar dan kapasitas ilmunya. Bila yang dibicarakan masalah syariah dan fiqih, tentu akan lebih tepat kalau sang guru itu orang yang pernah mendalami masalah tersebut. Misalnya pernah kuliah di fakultas syariah, atau seorang doktor di bidang ilmu syariah. Agar tidak terjadi keterpelesetan ilmu. Atau kalau bicara tentang hadits dan kritik sanadnya, akan lebih baik kalau seorang yang pernah belajar ilmu hadits secara mendalam. Bukan sekedar seorang pembaca makalah atau buku orang lain. Atau dia adalah doktor di bidang ilmu hadits. Demikian juga bila yang dibicarakan masalah tafsir Al-Quran, bisa kita serahkan kepada para guru yang pernah mendalami ilmu-ilmu Al-Quran, paling tidak pernah duduk di fakultas yang secara khusus mempejarinya. Dengan demikian, kita telah menjalankan perintah Allah SWT untuk bertanya kepada ahlinya, bukan hanya sekedar ikut-ikutan dalam suatu jamaah belaka. Para ahli syariah, ahli tafsir atau ahli hadits memang kadang ada yang ikutan dalam satu jamaah tertentu. Namun bukan berarti semua orang di masing-masing jamaah itu adalah para ahli syariah, ahli tafsir dan ahli hadits. Justru yang lebih banyak malah orang awamnya ketimbang para ahli ilmunya. Maka pilihan anda atas suatu jamaah tertentu, sama sekali tidak nyambung dengan niat dan tujuan anda sendiri, yang ingin belajar suatu cabang ilmu. Ketahuilah bahwa sebuah jamaah itu tidak didirikan di atas landasan bidang ilmu tertentu. Dan nampaknya, konsentrasi masing-masing jamaah itu juga bukan ke arah bagaimana melahirkan para ulama dan ahli ilmu. Seratus persen tidak, dan memilih jamaah dengan tujuan mencari ilmu adalah sebuah kekeliruan fatal. Yang harus anda lakukan adalah masuk kuliah sesuai dengan fakultas dan disiplin ilmu yang diajarkan. Khususnya dalam hal ini pada kampus-kampus yang memang berkualitas, bukan macam UIN dan turunannya yang sudah mengalami distorsi sejak tahun 70-an. Misalnya, anda kuliah syariah di Universitas Damaskus di Syria, lulus S-1 teruskan ke S-2, lulus S-2 teruskan ke S-3. Nah, itu baru namanya belajar agama yang benar. Disana anda berkenalan dengan para ulama betulan, timbalah ilmu dari mereka, dan wariskan apa yang telah menjadi 'harta' peninggalan Rasulullah SAW. Sudah bukan masanya lagi kita belajar ilmu agama dari kelompok-kelompok lokal yang miskin ulama. Apalagi masing-masing kelompok itu hanya memikirkan kemenangan dan kemenangan saja, tidak memikirkan kapan mau mencetak dan mengkader pada calon ulama. Jangan sampai ilmu kita hanya sebatas apa yang dibicarakan tokoh pergerakan lokal yang ilmunya cetek dan hanya diakui sebatas komunitasnya. Saling Serang Antar Kelompok Pemandangan seperti ini memang sangat memalukan bahkan memilukan. Yaitu adanya kelompok-kelompok di dalam tatanan umat Islam yang merasa benar sendiri, sambil menyalahkan orang lain yang tidak sependapat dengannya. Masih untung kalau yang berbeda pendapat adalah para pakar di bidangnya. Yang seringkali terjadi adalah orang-orang yang bukan ahlinya, lalu memperdebatkan hal-hal di luar kemampuannya. Sambil mengutip sana dan menukil sini, seorang telah merasa dirinya menjadi hakim yang bertugas menjatuhkan vonis. Lalu masing-masing membawa bendera kelompoknya sehingga terjadi perang antar kelompok. Lagi pula, issu yang sering diangkat pun seringkali seputar masalah furu'iyah (cabang syariah), di mana para ulama kibar memang tidak menyepakatinya. Masalah-masalah itu akan tetap selamanya menjadi khilaf di tengah umat Islam, lantaran adanya dalil-dalil yang sekian banyak dan saling berbeda. Kalau dari sumbernya saja sudah memberikan kemungkinan perbedaan pendapat, bagaimana mungkin kita mengunci masalah itu dengan memvonis orang lain yang tidak sesuai kesimpulannya dengan pendapat kita sebagai sesat atau ahli maksiat atau ahli bid'ah? Sementara perbuatan saling tuding, saling caci dan saling menjelekkan itu sendiri sebenarnya sudah keluar dari sunnah Rasulullah SAW dan manhaj salafunash-shalih. Bahkan Al-Quran Al-Kariem membenci sikap-sikap mencari-cari kesalahan saudara sendiri. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka, karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS Al-Hujurat: 12) Posisi anda memang agak menyulitkan, karena biasanya masing-masing pihak akan meminta anda memberikan wala` (loyalitas) yang bersifat total. Biasanya anda akan dihadapkan kepada pilihan, pilih kami atau mereka. Padahal pastilah anda tidak ingin bersikap demikian. Buat anda, yang manapun asalkan sama-sama muslim, tentu merupakan saudara anda juga. Tidak ada istilah pilih salah satu dan tinggalkan yang lain. Karena itu sebaiknya memang anda tetap menjalin hubungan baik dengan keduanya. Sebab kelompok manapun dalam Islam pada hakikatnya bersaudara. Tetapi anda harus mahir dan pandai-pandai menempatkan diri. Dan yang penting jangan salah ucap, karena anda malah bisa jadi dianggap sebagai inturder (penyusup) olah masing-masing pihak. Kalaupun anda ingin memberikan loyalitas kepada salah satu pihak -dan itu hak anda-, tidak harus anda merubah sikap baik anda kepada pihak yang lain. Apalagi sampai memutus tali silaturrahim. Sebab loyal kepada suatu jamaah bukan berarti bermusuhan dan harus mencaci-maki jamaah lain. Baik secara internal atau pun secara terbuka. Seharusnya loyal pada suatu jamaah itu justru melahirkan sikap sopan dan santun kepada jamaah lain. Toh yang membedakannya bukan masalah aqidah yang mendasar. Lebih sering hanya sebatas masalah khilafiyah dan cabang-cabang permasahalan fiqhiyah. Bukan berarti hal-hal seperti itu tidak penting, tetapi jangan sampai perbedaan itu melahirkan sebuah pertikaian antar kelompok. Kalau mau diikuti terus, bisa jadi umat Islam akan terus menerus bergelimang dengan perpecahan di dalam. Mengapa kita tidak bersahabat saja, saling menguatkan dan saling menutupi aib sesama? Mengapa kita tidak menundukkan diri di depan sesama muslim dan tegak sangar di depan orang kafir yang memerangiumat Islam? Mengapa kita tega membuat hubungan sesama muslim menjadi centang perenang sementara kekuatan umat Islam semakin hari semakin digerogoti oleh kekuatan asing? Tidak bisakah kita berlapang dada atas semua perbedaan pandangan yang ada? Tidak mampukah kita menerima keberadaansaudara kita yang berbeda pahamnya? Haruskah semua perbedaan itu diakhiri dengan vonis sesat, bid'ah atau fasik? Semoga Allah SWT melapangkan hati kita dan menjadikan hati-hati ini berhimpun dalam cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Amien. Wallahu a'lam bishshawab wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh |
1. Aqidah |
2. Al-Quran |
3. Hadits |
4. Ushul Fiqih |
5. Thaharah |
6. Shalat |
7. Zakat |
8. Puasa |
9. Haji |
10. Muamalat |
11. Pernikahan |
12. Mawaris |
13. Kuliner |
14. Qurban Aqiqah |
15. Negara |
16. Kontemporer |
17. Wanita |
18. Dakwah |
19. Jinayat |
20. Umum |