![]() |
USTADZ MENJAWAB1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | CariRingkas | Rinci |
Masalah Khilafiyah, Bagaimana Harus Bersikap? |
PERTANYAAN Assalamu'alaikum wr. wb. Dalam bermasyarakat, sering kita temui perbedaan pendapat ustadz. Tidak terkecuali di tempat saya. Misalnya dalam shalat, menjaharkan basmalah atau tidak, memakai qunut atau tidak, dan lain-lain. Kadang masalah ini bisa menjadi masalah yang besar jika tidak secara arif menanggapi. Masing-masing pihak saling mempertahankan pendapatnya sendiri-sendiri. Karena masing-masing mempunyai dalil sendiri-sendiri yang sama-sama kuat. Sering saya dengar bahwa ini adalah masalah khilafiyah, tidak perlu dibesar-besarkan. Yang ingin saya tanyakan ustadz: 1. Apa yang dimaksud dengan khilafiyah? 2. Apa saja yang termasuk masalah-masalah khilafiyah ini? 3. Bagaimana cara kita bersikat dalam menghadapi masalah-masalah khilafiyah yang ada? Demikian ustadz yang ingin saya tanyakan. Atas jawabannya diucapkan. Jazakumullah khoiron katsiro. Wassalamu'alaikum wr. wb. |
JAWABAN Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Masalah khilafiyah adalah masalah yang hukumnya tidak disepakati para ulama. Terkadang ketidaksepakatan itu hanya pada tataran yang sempit, bahkan seringkali hanya perbedaan penggunaan istilah. Tapi tidak jarang pula tataran perbedaannya luas, yaitu antara halal dan haram. Munculnya perbedaan pendapat tentang hukum suatu masalah sebenarnya hak para ulama saja. Sebab mereka itulah yang punya alat dan otoritas untuk menyimpulkan sebuah hukum agama. Kita sebagai orang awam, tentu tidak punya perangkat dan alatnya, juga tidak punya spesifikasi yang minimal untuk melakukan pengambilan kesimpulan hukum. Sayangnya, seringkali perbedaan pendapat itu justru dilakukan oleh mereka yang tidak punya kapasitas keilmuwan khusus dalam istimbath hukum. Seringkali orang yang tidak mengerti ilmu kecuali hanya sekedar bertaklid kepada seorang tokoh, tiba-tiba dengan beraninya mencaci-maki para ulama sambil menuduh mereka ahli bid'ah. Padahal dia sendiri tidak paham apa yang sedang dikatakannya. Tidak jarang orang-orang awam itu hanya punya ilmu sebatas apa yang gurunya sampaikan, akan tetapi seolah-olah dia berlagak seperti ulama betulan, sambil menyalahkan semua hal yang sekiranya tidak sama dengan pendapat gurunya. Orang seperti ini tidak lain adalah muqallid yang jahil serta tidak punya tata adab sebagai ulama. Bahkan perlu diketahui, tidak semua orang yang pernah belajar agama, memiliki kapasitas di bidang menarik kesimpulan hukum. Orang yang sekedar mempelajari ilmu tafsir misalnya, tentu punya ilmu yang luas dalam masalah makna ayat-ayat Al-Quran, namun bukan berarti dia punya kemampuan dalam menarik kesimpulan hukum. Demikian juga orang yang mendalami ilmu kritik hadits, tentu piawai untuk menilai keshahihan suatu hadits, akan tetapi kepiawaiannya itu bukan pada bidang metode pengambilan kesimpulan hukum. Apalagi orang yang belajar sastra arab dan bidang tata bahasa (ilmu nahwu), tentu bukan bidangnya bila harus menarik kesimpulan hukum dari Al-Quran dan As-Sunnah. Ilmu dan metodologi dalam menarik kesimpulan hukum itu adalah ilmu yang dipelajari oleh mereka yang belajar di fakultas syariah. Dengan berbagai disiplin ilmu pendukung seperti ilmu fiqih sendiri sebagai dasar, ilmu ushul fiqih sebagai metodologi, ilmu mantiq sebagai logika, ilmu qawa'id fiqhiyah sebagai penunjang. Selain itu mereka pun harus memahami ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu lughah arabiyah dengan beragam cabangnya. Sebab tugas mereka adalah menelusuri semua dalil dan berserakan lalu membangunnya menjadi sebuah hujjah dan menarik kesimpulan hukumnya. Jadi memang perlu memiliki banyak cabang disiplin ilmu yang menunjang tugasnya. Sayangnya, seringkali orang yang bukan pada kapasitasnya itu berdebat tentang masalah yang mereka tidak menguasainya. Akibatnya mudah diterka, masalah akan semakin rumit di tangan orang yang tidak paham. Sebaliknya, kita bila saksikan bagaimana indahnya para ulama di masa lalu memperbincangkan perbedaan pendapat. Tidak ada caci maki, apalagi saling ejek atau saling tuduh ahli bid'ah. Sebab masing-masing sadar bahwa argumen temannya itu tidak bisa dipatahkan begitu saja. Meski dirinya lebih yakin dengan kekuatan argemumentasi sendiri, tapi tetap saja menaruh hormat yang tinggi kepada pendapat orang lain. Rupanya, semakin tinggi ilmu mereka, semakin tawadhhu' jiwa mereka. Yang Termasuk Masalah Khilafiyah Biasanya perkara yang masuk kategori khilafiyah adalah masalah furu' atau cabang-cabang agama. Adapun masalah pokok, seperti aqidah yang paling dasar, tauhid yang esensial serta konsep ketuhanan yang fundamental, tidak pernah terjadi perbedaan pendapat. Demikian juga dengan kerangka dasar ibadah, umumnya para ulama sepakat. Ketidak-sepakatan baru muncul manakala mereka mulai memasuki wilayah teknis dan operational yang tidak prinsipil. Di antara sebab mengapa suatu perkara bisa menjadi masalah yang tidak disepakati hukumnya antara lain:
Sikap kita dalam masalah khilafiyah Sikap terhadap masalah khilafiyah adalah:
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc. |
1. Aqidah |
2. Al-Quran |
3. Hadits |
4. Ushul Fiqih |
5. Thaharah |
6. Shalat |
7. Zakat |
8. Puasa |
9. Haji |
10. Muamalat |
11. Pernikahan |
12. Mawaris |
13. Kuliner |
14. Qurban Aqiqah |
15. Negara |
16. Kontemporer |
17. Wanita |
18. Dakwah |
19. Jinayat |
20. Umum |