USTADZ MENJAWAB

1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | Cari

Ringkas | Rinci
Shalat Jum'at di Aula

Shalat Jum'at di Aula

PERTANYAAN

Assalaamualaikum wr. wb.

Ada beberapa pertanyaan:

1. Di kantor saya diselenggarakan shalat Jum'at di ruangan serba guna, sebagian ada yang tidak setuju karena alasan ini adalah bid'ah (shalat Jum'at harus dilakukan di masjid jami'), bagaimana pandangan yang benar?

2. Di mushalla kantor ba'da shalat zhuhur dibacakan dan dibahas kitab terjemah Riyadusholihin, ketika akan dilaksanakan pembacaan tersebut tidak jarang banyak yang masih melakukan shalat karena masbuk, apa sebaiknya yang harus dilakukan: tetap dibacakan tanpa peduli ada yang shalat, atau menunggu selesai semua.

Terkadang jika rakaat yang kurang dari masbuk masih banyak, beberapa jamaah ada yang keluar mushalla karena menunggu lama, sedangkan untuk kami (pengurus musholla) ini adalah saat yang baik untuk berinteraksi dan menyebarkan Islam di tengah kerontangnya dakwah di kantor kami. Bagaimana pandangan ustadz?

Jazakumullah khoiron katsiron atas jawabannya.

Wassalaamualaikum wr. wb.

JAWABAN

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sebenarnya tidak ada ketentuan yang mewajibkan shalat Jum'at harus di masjid, apalagi di masjid jami'. Lantaran tidak ada keterangan yang mengharuskan hal itu.

Yang menjadi syarat dari penyelenggaraan shalat jumat harus dilakukan di wilayah yang dihuni atau di tempat manusia. Sehingga tidak boleh dilakukan di padang pasir atau di hutan atau di daerah terpencil yang tidak di tempati manusia.

Di dalam kitab fiqih sering disebutkan dengan beberapa istilah, di antaranya mashr atau khuttatil bilad, atau istilah lainnya. Dan semua bermakna satu, yaitu di tempat yang ada dihuni oleh manusia.

Sehingga masjid tidaklah menjadi tempat untuk dilakukannya shalat jumat. Sebaliknya, boleh saja dilakukan di ruangan yang luas seperti aula, ballroom, ruang pertemuan, bahkan bila terpaksa, bisa saja dilakukan di basement dan lapangan parkir. Tidak ada ketentuan yang menyebutkan harus dilakukan di masjid.

Mazhab Al-Hanafiyah

Mazhab ini menyatakan bahwa tempat yang disyaratkan untuk shalat Jumat adalah mashr (kota). Dan batasannya adalah bahwa di wilayah itu harus ada qadhi (hakim) yang berwenang menjalankan hukum hudud, atau adanya sultan (penguasa yang sah) yang menjalankan roda pemerintahan.

Ketentuan ini sebagaimana yang dapat kita baca dari kitab mu'tabar dalam mazhab Al-Hanafiyah, misalnya kitab Al-Mabsuth jilid 2 halaman 23.

Dengan demikian, orang yang tinggal di kampung terpencil pada dasarnya tidak wajib untuk melaksanakan shalat Jumat. Bahkan kalau pun mereka seturuan mengadakan shalat Jumat sendiri, tetap tidak sah.

Mazhab Asy-Syafi'i

Sedangkan dalam mazhab Asy-Syafi'i, syarat tempat pelaksanaan shalat Jumat adalah dilaksanakan di suatu bangunan. Terserah apakah bangunan itu di desa terpencil atau pun di tengah kota besar seperti Jakarta.

Dalam pandangan mazhan ini, yang penting shalat Jumat dilaksanakan oleh setidaknya 40 orang penduduk asli, bukan musafir yang kebetulan lewat.

Pandangan ini bisa kita lihat dalam salah satu kitab mu'tabar dari mazhab ini seperti kitab Karya Al-Imam An-Nawawi, Al-Majmu' Syarah Al-Muhazzab jilid 4 halaman 501.

Yang Mensyaratkan Masjid

Kalau kita rujuk ke dalam kitab fiqih, memang ada sebagian ulama yang mengharuskan shalat Jumat itu dikerjakan di masjid.

Ibnu Rusydi ulama bermazhab Maliki penyusun kitab fiqih fenomenal Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, menulikan bahwa mazhab Maliki mensyaratkan shalat Jumat di masjid.

Bahkan sebagian ulama dalam mazhab ini sampai mengharuskan bahwa masjid itu harus yang ada atapnya. Atau ada juga yang mengharuskan shalat Jumat di dalam masjid itu dilakukan secara rutin.

Namun sebagai bagian dari fuqaha Maliki, Ibnu Rusydi sendiri justru mengkritik pendapat dari imam mazhabnya dan para ulamanya sendiri. Beliau menjelaskan bahwa semua ketentuan itu terlalu mengada-ada, padahal agama Allah itu mudah. (Lihat Kitab Bidayatul Mujtahid bab shalat Jumat).

Masbuk Terganggu

Kami sendiri juga seringkali mendapati masalah seperti itu. Kalau yang masbuk satu atau dua orang, mungkin masih bisa diterima. Tapi kalau jumlah masbuknya sampai beberapa shaf, rasanya memang agak mengganggu bila setelah selesai shalat digelar pengajian.

Ada beberapa jalan keluar. Pertama, kita berikan ruang khusus buat mereka yang masbuk untuk tidak shalat di ruang shalat utama. Karena di ruang shalat utama setelah shalat jamaah yang asli, akan digelar pengajian. Jadi mereka yang masbuk bisa dipersilahkan untuk shalat di ruangan lain. Misalnya di lantai 2 atau di bagian belakang masjid.

Kedua, jamaah pengajian yang mengalah dengan cara menunggu sebentar agar jamaah yang masbuk itu selesai dari shalat mereka. Kalau ada beberapa orang yang tidak sabar menunggu, yang kita jadi tahu memang baru seperti itulah mentalitasnya.

Sebab kalau tidak mengalah, maka sudah bisa dipastikan bahwa shalat para masbuk itu akan terganggu dengan suara ceramah. Walau pun kalau mau dicari siapa yang salah, tentunya yang masbuk itu. Karena seharusnya mereka datang tepat waktu.

Sayangnya jumlah masbuk ini ternyata seringkali cukup besar, yah sudah telat, menghambat pengajian pula.

Ketiga, yang bisa juga dijadikan alternatif adalah memundurkan waktu iqamah. Ini yang biasanya terjadi di masjid perkantoran di mana jamaahnya memang semata-mata karyawan kantor. Kalau waktu Dzhuhurnya agak cepat, misalnya jam 11.45, sudah bisa dipastikan banyak masbuknya. Karena jam istirahat baru dimulai jam 12.00.

Tidak ada salahnya kalau DKM masjid di perkantoran menunda sebentar pelaksanaan shalat Jamaah sampai benar-benar semua karyawan punya kesempatan untuk ikut takbiratul ihram bersama dengan imam.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.